12. Mekarnya Kuncup Bunga

39 0 0
                                    

Aku hanya perlu bersikap seolah biasa hingga rasa itu tiba. Waktu akan mengalir, sama halnya dengan cinta yang Tuhan ciptakan untuk insan-Nya. Jiwa ini perlu menunggu, percaya, dan bersabar.

Menikah dengannya adalah titik yang tak pernah terlintas sedikit pun di benakku. Dahulu kami hanya rekan berseteru tanpa memikirkan ke mana perasaan akan berlabuh, berlebih bersatu. Mister Ares terlampau dewasa dan aku lebih senang menjalin hubungan dengan pria seumuran di mana tidak satu pun dari kami berpikir bahwa dirinya lebih berhak melindungi.

Menyelisik wajah tampan, gagah, dan karismatik nan melebur dalam satu waktu, mampu menohok jantungku hingga makin cepat berdebar. Alunan janji suci dari bibir sang pastur pun bak lonceng kematian karena menyebabkan napas ini berembus tak keruan. Bagiku kalimat suci itu amat membosankan karena harus diulang, selain kami yang bak bertekuk lutut pada ketololan dan mengaku bahwa jiwa ini kalah di medan perang. Pria itu terperosok, dan aku nyaris karam bersamanya.

"Kau cantik, tapi wajah linglungmu tampak aneh."

Aku terkekeh sinis. "Setelah menjadi sepasang suami istri, kau masih berani mengajakku adu mulut?"

"Apakah itu pertanda bahwa aku tidak akan mendapat malam pertama?" Ia menohok untuk yang kesekian kali, dan mampu membuatku tercenung bercampur geram sebelum membenturkan ikatan mata.

Embun bahagia dan sedih membasahi kehangatan pagi menjelang siang ini ketika ia membuka kain transparan penutup wajahku. Pria itu menoleh ke kanan ketika bocah mungil mengantar sepasang cincin permata. Setelah menyematkannya, dunia bak milik berdua. Bahkan, riuh tepuk tangan tidak mampu merusak jantungku yang berdetak egois karena gugup—tenggelam dalam suasana.

"Aku akan menciummu di sini." Pria itu berbisik lembut sebelum tersenyum, menampilkan lesung pipi samar.

Kelopak ini menyatu sempurna sebagai jawaban. Gugupku makin menjadi ketika bibirnya menempel di dahi, meninggalkan jejak basah. Sekujur tubuh pun menghangat ketika Mister Ares mencium punggung tanganku.

Ia beralih menyorot tamu undangan.

"Ini terlalu mengejutkan." Aku bergumam.

"Berdamailah dengan keadaan." Pria itu tersenyum setelah berbisik, seperti geram padaku.

"Kita hanya dua insan penuh perseteruan."

"Kau benar, tapi aku mencintaimu." Ia mendekat karena paham bahwa gaun mengembangku agak sulit diajak kompromi.

Aku menggeleng, melerai ketidakpercayaan. Ini adalah keputusan tergila yang kami ambil karena menggelar pesta pernikahan secara diam-diam tidak pernah menjadi mimpiku, berlebih mimpinya. Namun, aku berharap bahwa iming-iming hidup bahagia kelak mampu membayar lunas keketiran. Tak peduli hati ini baru menyukai dan analogi sederhananya mengenai tanaman di pekarangan rumah mampu kupahami.

Universitas tidak mengizinkan mahasiswa menjalin hubungan dengan dosen, tapi Mister Ares sudi membuka peluang risiko tanpa memikirkan reputasi. Itu sebabnya tak ada siapa pun selain Alexia dan keluarga yang tidak sampai dua puluh orang. Ia pun tidak bersanak saudara selain Emeline, sang adik.

Alexia mendekat dengan senyuman. Wajah campurannya masih membuatku tenggelam. "Rhea, selamat ...." Gadis itu mendekap tubuhku erat. "Kau memang cerdik, Mister." Tungkainya mundur beberapa langkah, kemudian menyilangkan lengan di dada.

Pangeran di sampingku mengedikkan bahu.

"Dari sekian banyak mahasiswi kampus, kau memang cerdas memilih bibit unggul."

Aku terkekeh santai tanpa rasa takut, percaya bahwa Alexia amat tulus dan akan tutup mulut perihal pernikahan kami. Ketika ia dan Mister Ares berbincang, netraku beralih ke depan dengan dada menghangat karena menemukan ibu dan ibu Claire yang saling menyapa dalam kecanggungan. Ia dan Kaarle pun telah berdamai, meskipun dengan keengganan, karena aku yang meminta.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang