Garis Merah: Keturunan

56 0 0
                                    

Lembar di genggaman makin lusuh ketika cengkeraman itu mengetat. Dua dimensi yang sekian lama terselip di sela tumpukan buku usang, kini kembali ia cari karena ingin. Ada sesuatu yang menggerakkan, tapi pria itu tak paham bahwa alam bawah sadarnya adalah ambisi paling mengerikan.

Wajah yang tercetak di lembar tipis amat jelita. Gigi-gigi balita itu ia akui tak semungil mimpi sang empunya. Hingga detik ini, potret itu pun mampu membuatnya mengulas senyum bodoh.

"Dad, aku ingin menjadi laut karena seluruh partikelnya bermanfaat bagi ciptaan Tuhan. Terkadang tenang, tak jarang berdebur kesetanan. Namun, yang terpenting ...." Kala itu, sang putri meliriknya datar.

"Apa?" Sebagai seorang ayah, tentunya ia amat penasaran.

"Manusia tidak tahu bahwa di kedalaman laut, terdapat harta melimpah untuk sebuah peradaban. Mereka berpikir bahwa kedalaman laut itu bahaya. Namun, kedalaman sesungguhnya adalah perlindungan. Aku percaya Tuhan. Ia tak akan menciptakan sesuatu untuk sekadar menyebabkan insan mati dengan percuma."

Pemikiran menakjubkan untuk insan yang masih sangat belia. Semenjak itu ia menyadari bahwa sang putri istimewa dalam konotasi sesungguhnya. Lantas, apa yang mendasari pria itu melempar kata tolol tak berperi? Gengsi dan amarah yang meluap entah dari mana.

Ibu jari pria itu mengusap pipi mungil dalam foto. "Lama tak bertemu, Manisku." Udara segar dini hari menyusup ke celah hidungnya, membawa aroma debu yang ia isap kuat dan mampu memecahkan kerinduan-kerinduan tak kasatmata sebelum lenyap karena keegoisan.

Berbelas-belas tahun mereka berupaya memisahkan benang abstrak yang Tuhan takdirkan. Namun, darah tetap kental. Kasih sayang pun masih nyata sebelum tertutup gradasi-gradasi kelam berisi ambisi dan harapan.

Kala itu, sang putra mati dengan keji. Tubuh mungilnya tergilas ban tronton hingga tercerai-berai di jalan raya. Bertepatan dengan tragedi, mimpi nan mengepul ke udara pun lenyap. Kemudian, tergantikan dengan harapan baru di tengah amarah hebat.

Baginya, meskipun besi mampu menembus langit atau gedung bertingkat dapat mengudara, insan akan renta. Kematian pasti menjemput. Kesuksesan yang mampu diraih hanya tinggal bangkai jika tidak berpenerus.

"Aku bersumpah akan datang, kemudian mencengkerammu." Senyum liciknya tercetak. Kemudian langkah tegas itu memecah kesunyian, menerobos partikel-partikel kecil bernama paradoks. Pria itu beralih mengulas senyum hangat ketika menemukan pemuda yang tengah duduk santai di seberang singgasananya.

"Tuan ...." Luc membenahi posisi duduk sebelum menunduk sejenak. Ia kembali santai ketika Leexter menitahkan.

"Bagaimana hasilnya, Luc?" Amat cepat, menuntut, dan sangat tidak sabaran. "Terakhir kali, kami bertemu ketika ia di Sekolah Menengah Atas tahun pertama. Aku menemukan kebencian yang mengalir deras di sorotnya."

Luc benar-benar menyandarkan tubuh santai, seolah pria berbahaya di hadapannya hanya teman sepantaran. "Jadi, apakah niat Tuan masih sama?" Alis pemuda itu terangkat, amat penasaran. Jika ada julukan terparah selain manusia berjiwa setan, Luc akan memberinya untuk sosok yang kini tengah menyulut cerutu dengan santai.

"Semenjak adiknya mati, aku kehilangan penerus." Pria itu menyorot Luc yang tampak amat penasaran. "Ia incaranku. Apa yang kau temukan ketika melihatnya?"

Tanpa pikir panjang, Luc meraih rokok di meja karena titahan sang penguasa. "Aku menemukan kekejian dan kekejamanmu." Pemuda itu mengangguk. "Ya, kalian bak pinang dibelah dua."

Mungkin awan pekat telah membiru, berlomba-lomba agar segera tiba di ufuk timur. Namun, ruangan maskulin ini masih kelam dan menguarkan anyir kejahatan.

"Kupikir anak angkatmu yang lebih pantas mendapatkan ini karena ia laki-laki. Mengapa tidak berpikir ulang, Tuan?" Luc merinci wajah karismatik di hadapannya.

"Yang kucari bukan seseorang yang dianggap mampu, tapi sosok yang sama sepertiku. Kau bisa saja mampu mengerjakan A, tapi jika kepribadian mengatakan tidak, maka keahlian pun perlu dipertanyakan." Pria itu menjelaskan, amat pelan dan rinci.

"Aku mengerti." Luc mantuk-mantuk. "Pekerjaan harus sesuai dengan kepribadian." Ia tergelak mengingat mata kuliah tempo dulu.

"Jika kepribadian mengatakan iya, keahlian hanya perlu diasah. Bertahun-tahun mengamati, aku berani menaruhkan dunia memabukkan ini untuk ia miliki karena tahu bahwa darahku mengalir deras di jiwanya." Leexter selalu menggunakan teori dan logika di hidupnya. Selama ini, tak satu pun meleset.

Andai benda di sekeliling tak mati, maka mereka telah meremang gamang karena kengerian.

"Aku akan menarik dan mengikatnya." Dagu yang dipenuhi rambut-rambut halus pertanda dimakan usia mengedik ke pintu. "Karena ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan putra angkatku, pergilah ke ruang eksekusi. Letuskan kepala Eres. Pengkhianat sampah sepertinya tak pantas mengotori bumi." Jemarinya memutih, menandakan minim darah karena tekanan.

Akhirnya, Luc merunduk sebelum berlalu. Baru lima puluh meter pria itu menjauh dari pintu ruangan sang penguasa, ia kembali dikejutkan oleh sosok yang tengah melangkah tergesa. "Lama tidak bertemu. Sepertinya, kau telah ditunggu."

"Terima kasih, Luc." Ares makin mengayun langkah dengan sunggingan penuh makna. Setibanya di hadapan sang ayah, pria itu menyapa hangat. "Kau merindukan seseorang, Dad?"

"Kau." Tawa menggelegar memenuhi dini hari. "Bagaimana kesepakatan akhir kalian?"

Bokongnya mendarat pelan. "Aku akan memasok senjata ke Keena untuk memerangi Nevillena. Hitam di atas putih." Amat santai, bak menggilas semut tanah.

"Bagus. Aku akan mengadakan pesta perayaan. Kau bisa mengajak menantu kesayanganku kemari." Tubuh atletis berbalut kaos hitam itu beranjak, meraih botol anggur di sisi kiri meja kerjanya. "Apakah aku perlu mengundangnya secara langsung?"

Tak senang, Ares beralih mengetatkan rahang karena tersulut emosi. Secuil pun tak akan pria itu biarkan keluarganya terlibat meskipun sekadar mengikuti pesta. "Aku tidak ingin Emeline terlibat, berlebih tahu secara nyata mengenai dunia gilaku." Jemarinya memijat pelipis. "Ia sedang hamil."

Leexter beranjak senang sebelum menepuk pundak Ares pelan, kemudian memberi usapan sayang sebagai penguat kehidupan. "Semoga calon cucu ketigaku dapat lahir ke dunia."

Ares mengangguk samar, menyimpan putus asa. Ini janin ketiga yang Emeline kandung karena dua janin sebelumnya keguguran. Mungkin, pria itu sangat sukses di bisnis gelapnya. Namun, perihal keturunan, ia masih belum diberi kepercayaan oleh Tuhan.

To be continue ....

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang