27. Pelacurnya

70 4 0
                                    

Aku baru saja mengusir Robert agar terbebas dari pengawasan—memintanya mencari buah matoa—mengatasnamakan rasa mengidam. Namun, hingga mati pun, pria itu tidak akan mendapatkannya karena malam makin tinggi. Jika siang hari pun, ia harus impor dari Indonesia.

Bibir ini melengkung samar.

Sekian banyak waktu berlalu menyisakan kepingan tragedi, ia tampak dekat. Namun, jauh dalam konotasi sesungguhnya. Semenjak pembatas penuh kejanggalan terbuka, berulang kali kukatakan bahwa Ares adalah kerangka dari ribuan misteri yang tersimpan.

"Kau hebat menyembunyikan banyak hal. Namun, tetap aku yang terhebat." Aku bergumam setelah melirik beberapa pesan dari Willis dengan bibir tersungging penuh makna.

Baru hendak berkemas, benda pipih itu bergetar.

"Percayalah padaku." Aku menunduk frustrasi karena helaan napas Willis mampu menggetarkan jiwa. "Paman, kau sangat jauh untuk membantu kami. Jadi, biarkan aku membantu mommy. Aku bisa melakukannya," racauku, menirukan suara balita sebelum memutus panggilan.

Keterdiaman Ares membawaku ke dunianya tanpa pria itu sadari. Ia pintar mengalihkan keadaan dan aku terjebak dalam hidup yang kelabu. Namun, yang tidak mampu terbaca adalah rencanaku lebih logis dan masuk akal daripada kebisuannya.

Kantukku beberapa jam lalu tak terasa lagi karena keresahan-keresahan lebih dominan menyelimuti. Ia pamit ke Rusia, menjadi pemateri pelatihan selama beberapa hari. Namun, tidak ada penerbangan ke negara terkait atas nama Ares. GPS-nya pun berada di sekitar tanah ini. Informasi itu yang Willis beri.

Di tengah malam pekat, pepohonan hanya mampu menambah kesan mencekam. Belum lagi jurang terjal yang membuat instingku kesulitan menerka karena harus fokus menyusuri jalan. Hingga kuda besi yang raga ini tumpangi berhenti di depan pagar menjulang, napasku berembus lega.

Aku mengetatkan jaket dengan dada bergemuruh. Hal lebih gila dari wanita hamil yang berani mengemudi di tengah malam pekat adalah keberadaan mobil Ares. Kuda besi itu mengolokku sakit jiwa karena bibir ini tertawa kecil tanpa diminta. Benar, ia tidak ke Rusia!

Langkahku terhenti karena menginjak kartu identitas yang tergeletak di tanah. Kuraih benda itu sebelum mengalungkannya ke leher karena refleks ketika dua pria berotot mendekat dan menyelisik nama.

"Siapa yang kau cari?" Nada suaranya dingin dan penuh intimidasi, seolah tak percaya bahwa wanita berpenampilan sederhana—yang mungkin menurut mereka tidak layak— berada di tempat ini.

Akal sehatku masih berupaya tenang, agar tidak salah langkah. "Felli," ucap salah satu dari mereka.

Alisku menyatu. Siapa Felli?

"Felli—pelacur yang bekerja di sini." Pria itu menjelaskan, amat gamblang yang kubalas dengan senyuman. "Namun—"

"Ah, aku kemari hendak mengambil dompet yang tertinggal." Mataku berputar santai. "Sebenarnya, aku sedang cuti."

Mereka mengangguk, kemudian melepasku.

Tempat yang kupijaki adalah tempat pelacuran. Kartu identitas yang kukalungkan di leher adalah milik seorang jalang. Menyadarinya, emosi jiwa hendak memekik dan mencekik. Namun, hanya genangan air mata dalam kelam yang kudapat.

Pria itu memberi keyakinan, kata-kata manis, dan ketenangan agar aku tunduk menunggunya di rumah. Namun, kenyataan yang kuhadapi sama mengerikannya dengan tragedi. Sungguh, rupa tak mampu menjamin perilaku. Ya, Ares membohongiku lagi.

***

Pintu megah itu terbuka, mendorongku memasukinya sebelum menyusuri lorong redup. Setibanya di pinggir terang, kaki ini melemas. Cairan sialan yang sedari tadi bertahan di sudut kelopak, tak mampu lagi dicegah karena luka.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang