Menatap mutiara birunya aku seolah berkaca. Meskipun tak sudi mengakui bahwa hidup ini hadir karena hidupnya, sorot Leexter nan tajam adalah milikku. Rambut-rambut halus pada dagunya menguarkan rindu yang ingin sekali kukelupas sedikit demi sedikit setelah sekian lama. Ada cinta di sana, tapi tidak pernah kudapat.
"Akhirnya, kita bertemu lagi." Pria itu menyapa lembut dengan lengan bersilang di dada ketika aku mendarat santai pada sofa apartemennya. "Kau tumbuh menjadi gadis yang amat penurut pada ibu." Ia berdecak kagum. Mungkin ini pujian, tapi terdengar bak hinaan.
Aku melempar kekehan sinis. "Bahkan, Rhea tumbuh lebih baik dari itu," kakiku bersilang, "hingga ia berpikir bahwa kau bukan lagi saingannya."
Leexter memutar vodka di genggamannya dengan sunggingan bodoh. Dalam hangat bercampur beku, sorot teduh itu menyiramku.
"Jelaskan tujuanmu memintaku kemari."
Pria itu terkekeh sumbang. "Aku dengar, Madina berselingkuh dari suami keduanya. Tidakkah kau merasa bahwa aku lebih baik darinya?" Alis Leexter terangkat sembari menatapku.
"Seburuk apa pun ibuku, Bryan Leexter tetap manusia terkeparat di muka bumi ini." Aku tidak takut meski tangannya mengepal dengan rahang mengeras. Bagiku tak ada kata "lebih bajingan" daripada ayah kandung yang sengaja menelantarkan anak dan istri, berlebih karena kematian Cleo—jalan Tuhan.
"Rhea!"
"Jika ibuku tidak memiliki hati," bibir ini tersenyum sinis, "kau tak pantas lagi disebut manusia." Aku tersentak karena Leexter menggebrak meja.
"Kau tidak pernah diajari sopan santun!" amuknya, yang kubalas dengan tatapan santai.
Kepalanku mengetat. "Apakah sebentar lagi kau akan mengatakan bahwa Madina tidak becus mendidikku?" Aku tersenyum sinis sebelum beranjak. "Jika kau datang hanya untuk memancing emosi atau bertanya siapa yang terbaik di antara kalian, seharusnya otak gilamu berpikir lebih dulu."
Giginya beradu geram.
"Keparat sepertimu, tak pantas menerima hormatku!" Aku melangkah tergesa, tak sudi terjebak di tatapan kejamnya. Namun, baru hendak keluar, lengan ini terseret.
"Madina benar-benar tidak becus mendidikmu." Ia tersenyum remeh.
Jika tidak becus, apakah keparat ini ingin aku menyembahnya? Ulah biadab pria itu lebih dari buruk sekadar kuingat. Moralnya terlampau rusak untuk kupuja meskipun hanya setitik tinta warna.
Jariku menunjuk dadanya. "Setidaknya, ibuku masih diciptakan sebagai manusia!"
Wajah ini berpaling ketika Leexter menampar, sontak membuat tawa nyaringku menggema. "Siapa kau yang berani menamparku?!" geramku dengan sorot menantang. "Kau satu-satunya makhluk yang tidak berhak menyentuh kulitku setitik pun!"
Giginya beradu. "Kalian memang pantas pergi dari hidupku."
Rasanya, hatiku tersiram bara api—panas dan perih. Tak ada gunanya ia kembali jika untuk menghina kami.
Tungkaiku berlalu, menyusuri lorong dengan sunggingan pada bibir. Mengapa ia mencari jika pada akhirnya hanya kalimat hinaan yang kudapat? Aku menaiki lift ke lantai dasar dengan wajah menunduk. Ketika pintunya terbuka, tungkai ini melangkah tergesa ke lobi sebelum tersungkur karena menabrak dada seseorang.
"Rhea?"
Suara itu membuatku mendongak cepat. Mengapa harus bertemu pria itu di sini?!
"Kau menangis?" Ia membantuku berdiri, panik. "Mengapa kau ada di sini?"
Aku menyengir kuda. "Ada sedikit keperluan, Mister. Aku permisi." Tungkai ini berlari, meninggalkan kebekuannya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
CIMMERIAN (Terbit)
Storie d'amore⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! BlURB Aku pikir, ia berselingkuh. Rupanya, akulah yang pantas disebut orang ketiga. Tidak sesederhana kami yang saling mencinta. Tak setolol istrinya yang rela berbagi. Bahkan, lebih rumit dari aku yang penuh suka memberin...