04. Pria Dari Masa Lalu

81 3 0
                                    

Pria itu hanya bungkam, sama denganku. Mungkin di lubuk hati kami ada rindu yang sulit sekali tersampaikan selain bisu, penuh keegoisan. Ketika memperhatikan matanya, aku masih menemukan kilatan yang sama.

"Bisa langsung saja? Jika perihal kepergianmu ke Jepang, aku telah memaafkannya." Sesak yang sedari tadi menggerogoti dada, kuempas melalui hidung.

Willis terkekeh. Pelipisnya basah karena keringat. Darah naik ke bibirnya yang tampak merah jambu. "Tiga hari lagi aku kembali ke Jepang." Ia menatapku serius.

"Jadi?" Kutebak, Willis ingin diantar ke bandara.

"Kau tidak pernah berubah." Pria itu tersenyum sebelum menunduk. "Masih membenci hubungan jarak jauh?"

Aku mengangguk tanpa ragu. Itu fakta yang sedari lama bibir ini utarakan penuh keengganan dan Willis membahasnya lagi.

"Kupikir setelah kau mengakhiri hubungan kita, aku akan cepat lupa." Netranya menerawang, mengikis nyaliku untuk berbicara. "Namun, lamanya hampir tiga tahun dan rasaku padamu masih sama."

Pengakuan seperti ini yang membuatku selalu menghindar jika Willis mengajak bertemu. Tak ada gunanya membahas masa lalu, dan tak ada guna pula kami bersama jika harus terpisah oleh benua dan samudra. Aku benci jarak yang pada akhirnya memaksa jiwa ini untuk percaya sementara peluang remuk menganga lebar kapan saja.

"Aku masih mencintaimu, Rhea." Bibirnya mengutarakan pengakuan yang amat menyesakkan dada.

Sama halnya denganku, tapi jarak mampu mengikis keinginan untuk menjalin hubungan jarak jauh yang makin lama merampas rasa. Aku sangat mencintai Willis, dan melepasnya demi pendidikan adalah rela yang amat diusahakan detik itu. Namun, jika ia menuntut hubungan jarak jauh, aku tidak mampu.

Punggungku bersandar pada kursi. "Willis Herion mengejar mimpi ke negeri orang dan Krysrhea tidak mampu menjalin hubungan jarak jauh. Itu pertanda bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersatu." Aku menunduk karena tidak sanggup menatap matanya. "Aku takut kepercayaan yang sedari lama terbangun, amblas hanya karena status dan jarak."

"Rhea, ak—"

Aku mengangkat wajah. "Aku percaya padamu bukan karena kau kekasihku, tapi karena kau Willis. Hubungan jarak jauh yang kuhindari mampu menghancurkan segalanya jika hal tersebut benar terjadi."

"Aku tahu kau akan sulit berkata 'iya' meskipun raga ini berlutut." Jakunnya naik turun, kentara sekali tengah meneguk liur.

Aku mengangguk pelan. "Aku takut kau melepas kepercayaan setelah diberi peluang untuk melakukannya."

"Aku tidak akan melakukannya." Willis mengelak.

"Namun, kau tetap berpeluang mengkhianati kepercayaanku." Pipi dalamku tergigit spontan, upaya untuk menahan sakit.

"Tidak akan, Rhea." Suaranya terdengar putus asa.

Andai semudah itu, maka menjalin hubungan dengan Willis kuakui amat memabukkan. Kami sangat cocok. Pertengkaran kecil maupun adu mulut tak pernah kuanggap berarti.

"Kepercayaanku masih sama. Hanya status hubungan kita yang berbeda." Aku berusaha memberinya ketenangan.

Willis masih menunggu bibir ini berucap.

"Seperti ini lebih baik. Jika sewaktu-waktu kau tidak mampu mengalahkan ego untuk memiliki yang lain karena kita berjauhan, setidaknya kepercayaanku padamu masih sama karena status kita memang hanya teman biasa," tandasku pada akhirnya.

Kami terdiam. Willis tampak lelah mendebatku. Ya, pria itu takkan menang.

"Aku tidak menyukai perselingkuhan. Karena aku mencintaimu, lebih baik kita berpisah agar dapat memutus peluang tersebut."

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang