28. Manis dan Kelam

39 3 0
                                    

Kami bertengkar hebat setibanya di rumah. Perihal gadis di masa lalu Ares yang kini menjadi mucikari adalah kenyataan pahit yang tak sudi kuterima, berlebih pria sialan itu aku temukan di tengah kenikmatan dunia. Namun, lagi-lagi ia memberi penjelasan yang amat mengejutkan. Jika upaya untuk bertahan mampu mengupas kejanggalan, mari bermain dan bertahan bersama.

Saat itu, wajah Ares tampak jujur. Namun, sorotnya amat gelisah. Ada sesuatu yang pria itu tutupi, tapi tak sudi diakui.

Aku terkesiap dan tergagap ketika Ares berdehem. "Su-sudah menyiapkan nama untuk anak pertama kita?"

Pria itu tergelak setelah meniup-niup Ares kecil dari luar yang kuperhatikan dengan senyuman. Wajahnya mendongak. "Kau mengatakan ini anak pertama. Apakah itu pertanda bahwa istri kecilku akan memberikan anak kedua dan seterusnya?" Alisnya terangkat sebelah.

Andai aku mampu memprediksi jalan hidup. Tanpa pikir panjang, bibir ini akan berucap "iya". Namun, masa depan rumah tangga kami terlampau abstrak. Itu sebabnya hanya senyuman yang kuberi sebagai jawaban.

"Berapa anak yang kau ingin?" Kubenahi posisi duduk agar lebih tegap, yang Ares bantu dengan lengan kukuhnya. "Tolong ambilkan bantal di punggungmu dan letakkan benda itu di belakang pinggulku," pintaku sebelum melentingkan tubuh ketika ia melakukan perintah.

Pria itu mengusap perutku memutar. "Sudah nyaman?" Ia melirik frustrasi ketika aku mengangguk dengan bibir tergigit. Makhluk mungil itu sedang hobi melentingkan diri hingga perut sang ibu mengencang nyeri, terasa hendak meletus.

"Berapa?" Aku bertanya lagi.

Ia yang sedari tadi agak merunduk, beralih duduk tegap. Kemudian, meraih tubuh lemasku ke rengkuhan sebelum menghela napas khawatir dan kembali sibuk bermain dengan calon bayi kami.

Aku menemukan ketulusan dari harapan yang per detiknya ia utarakan kepada Tuhan. Namun, aku kerap berpikir, dari sekian banyak makhluk di bumi, mengapa Ares yang kudapat? Pria itu berhasil membuat jiwa ini terjebak dalam paradoks kebencian dan cinta.

Lenganku Ares lingkarkan pada punggungnya. "Wajahmu pucat sekali. Aku pindahkan ke kamar, ya?" Pria itu mengusap-usap pipiku yang hangat. "Kau kelelahan." Ia mengubah posisi agar aku berselonjor, membiarkan punggung ini bersandar pada lengan sofa.

Keindahan ketika Ares menyorot dengan lirikan sayang adalah mimpi memabukkan yang selalu kudamba. Sentuhan jemarinya memberi keyakinan bahwa pria itu menyayangi kami. Namun, mengapa ia masih terasa ... jauh?

"Perempuan, atau laki-laki?"

Ia mendongak, kemudian tersenyum karismatik. "Berhenti mencairkan suasana dan berupaya membuktikan bahwa kau tidak sedang demam." Napas beratnya terhela sebelum membopong tubuhku paksa.

"Aku tidak ingin ke kamar, Ares!" protesku ketika tubuh kami nyaris terbenam di balik pintu. Kemejanya kutarik karena nyaris mendarat di ranjang. "Aku ingin digendong keliling rumah," rengekku manja, makin membenamkan wajah pada dadanya.

Ini keinginan bayi. Jika tidak, aku tak akan berpikir bahwa Ares cukup kuat menggendong tubuh ini untuk mengitari Melbourne sekalipun.

Ia membenahi posisiku. "Apakah ini keinginan anakku?" tanyanya sembari menyorot Ares kecil sebelum tergelak sinting ketika aku berdehem sebagai jawaban. "Bukan akal- akalanmu yang ingin selalu dimanja, bukan?" godanya.

"Aku bukan wanita manja yang sudi merengek jika sedang tidak butuh." Kupukul dadanya. "Turunkan aku, sekarang!"

Tak ada jawaban selain kekehan teredam. Setelahnya, Ares sungguhan membawaku mengitari rumah. Terkadang pria itu berlari kecil, tak jarang melakukan senam paha dengan tubuhku yang ia angkat ke atas dan bawah. Lengan ini hanya mampu terkalung sebagai bentuk pertahanan karena takut terempas.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang