11. Keju Mozarella

53 0 0
                                    

Terhitung dua bulan sedari pria itu mengungkapkan perasaan, tak pernah terpikir bahwa rasa ini akan jatuh pada pesonanya. Ia membuka permainan, dan aku hanya pemain amatiran yang tertarik karena memabukkannya penawaran. Belum lagi detik-detik tragedi yang mampu memerosokkan dalam luka. Seluruh masalah seolah menghimpit, mengambil alih kebahagiaan yang tidak seberapa. Masa lampau menjadi saksi bisu bagaimana pria itu mampu melunakkan batu pertahananku.

"Melamun sepuasmu hingga tidak sadarkan diri, berakhir tersungkur ke dasar laut."

Sarkasnya mampu membuatku terkesiap sebelum memekik karena percikan air yang mengenai wajah kami. Kuperhatikan ia mendarat di sisi lain bebatuan dengan dua kantong kacang.

"Kekanak-kanakan." Pria itu mendengkus tak habis pikir, kemudian berusaha menopang tubuh dengan lengan.

"Tidak peduli," balasku santai, masih sibuk menyelisik dasar air sebelum menatapnya dengan kernyitan silau.

Nyaris satu bulan Mister Ares mengajakku menikmati dunia, upaya penyembuh luka. Berada di kamar persegi hanya memperkeruh mental mengingat bahwa tragedi menjijikkan itu masih membuka sayatan. Itu sebabnya kami berakhir di kafe sederhana yang sepi pengunjung dan jauh dari hiruk-pikuk agar tak satu pun temanku atau rekannya memergoki.

Pria itu memijat-mijat lengan, mengaku nyeri karena sehabis membesarkan otot di tempat fitness. "Bukankah bibir mampu menenangkan jiwamu yang kalut?"

Aku agak benci wataknya yang amat lugas. Namun, ketika pria itu bersikap sebaliknya, sebenarnya juga tidak dapat dikatakan baik. Akan terlampau banyak ucapan ambigu yang membuatku sakit kepala.

"Bibir mampu menenangkan kalut, kecuali bibirmu." Alisku terangkat sebelah yang ia balas dengan tatapan tajam, sarat rasa kesal. "Mengapa Eme tidak ikut?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Bukankah kencan berdua lebih memabukkan?" Pria itu berdecak, mampu membuatku memutar mata bosan.

"Kau tak menjawabku. Sepertinya sesuatu sedang terjadi di belakangku." Bibir ini tersenyum pahit.

Aku tak berpikir bahwa pertanyaan beberapa detik lalu tergolong ikut campur. Ia dan sang adik bak dua insan penuh perseteruan, tak jauh berbeda dengan kami. Namun, kedua sorot mereka tampak memiliki makna tersembunyi meskipun tak mampu kukuliti.

"Kau bisu?" Bibir ini melengkung tipis ketika menyorot ulahnya yang fokus pada lengan. Aku menatap garis cakrawala.

Pria itu berdehem kaku. "Lebih baik mengajak Alexia daripada Emeline."

Jawabannya mampu membuatku menoleh cepat dengan alis menyatu. "Kau menyukai Alexia?"

Pria itu menghela napas putus asa. "Aku menyukaimu."

Ada getaran, seolah listrik mengaliri tubuh dengan tegangan. Mungkin gurat wajahku pun telah bosan merona di balik persembunyian. Hawa asin dari laut membentuk imaji di benak, menambah sisa pemikiran, masih terhenti pada permasalahan yang sama. Detik ini, aku benci fatamorgana.

Aku memejamkan mata.

"Jika ingin mati bunuh diri, kau bisa melompat. Namun, jangan harap aku sudi menarikmu ke tepi." Lengannya bersilang angkuh ketika aku membuka mata.

"Berburuk sangka dapat menyeretmu ke neraka," sarkasku sinis.

"Bukankah kita akan ke neraka bersama?" Wajah rupawannya mulai penuh dengan seringaian. "Ungkapkan saja jika ingin bercerita. Kupikir kau telah rampung membaca buku Psikologi Harapan." Pria itu mendongak, menyorot langit cerah. "Stres adalah amarah yang masuk ke dalam jiwa. Kau tidak mungkin lupa." Tekanan setiap kalimatnya mampu menohokku hingga dada.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang