21. Harapan Emeline

34 3 0
                                    

Petrikor tidak mampu terendus karena dinding beton dan jendela kaca ruangan amat tertutup. Memperhatikan rintik dari jauh, rasa bersalahku terempas bersamanya mengingat wajah keruh Ares ketika makhluk kecil ini nyaris tidak selamat. Aku menyentuh perut sebelum menunduk penuh sesal. Ini salahku karena ceroboh.

Leherku berputar ke pintu sebelum menghela napas. "Pergi."

Ia bersikeras hingga tiba di samping tubuhku. "Rhea—"

"Aku baik-baik saja," balasku singkat. Jemari ini memutih karena kuremas.

Entah siapa yang pantas disalahkan. Namun, semenjak bertemu Emeline terakhir kali, luka ini membuatku makin tak sudi menyorot wajahnya. Aku korban sekaligus pelaku penyebab luka yang tak berhak disalahkan, tapi mengapa rasa sakitnya amat nyata?

Ia meletakkan bingkisan di atas lemari kecil samping ranjang rumah sakit. "Karena kau hanya sendiri, aku akan menelepon—"

"Jangan memaksakan keadaan!" Pertahananku runtuh. "Aku tidak sudi menjadi orang ketiga. Apakah kau tuli?!" Dengan sesak di dada, aku berucap geram.

Aku tidak suka berbagi, berlebih melukai. Namun, mereka gencar memaksa dan janin ini terus saja merengek tanpa belas kasih.

"Ini kesepakatan kami berdua. Perihal luka, telah sedari lama kuendapkan." Emeline tersenyum kosong, sontak membuatku tersungging bodoh karena menahan geram.

"Bahkan, aku tidak tahu kesepakatan bodoh apa yang pernah kalian ciptakan!" Netraku buram, mengingat ketololan hingga terperosok ke dalam cinta memabukkan penuh sandiwara.

"Kesepakatan bahwa aku siap berbagi denganmu, dan Ares siap mencintai terang- terangan." Mudah sekali wanita itu berucap.

"Mengapa harus aku?!" Ini pertanyaan yang sedari dulu kutuntut, tapi tidak pernah mendapat jawaban selain kedok cinta. Aku menggeleng di depan wajahnya, menyelisik kebenaran agar mendapat pembelaan diri bahwa bukan jiwa raga ini yang bersalah. "Dari sekian banyak wanita, mengapa kalian memilihku dan menghancurkan seluruh mimpiku?!" Aku memekik.

"Rhea—"

"Ares datang, menutupi lubang-lubang luka dan menarikku dari hilang arah." Suaraku makin tertelan hawa pagi. "Tapi ujungnya adalah luka." Sakit.

"Bukan begitu, Sayang."

Sorot putus asaku fokus ke seberang jendela, menatap rintik hujan. "Seluruh alasan yang kalian utarakan kurang masuk akal." Aku mengusap pipi yang tiba-tiba basah.

Dalam keadaan mengandung di mana aku butuh ketenangan, hanya Alexia yang menemani. Meskipun jiwa raga ini mendambakan kehadiran, seluruhnya akan kutelan. Namun, mengapa mereka masih datang?!

"Ares bisa bersamamu kapan pun yang kau ingin, asalkan jangan memintanya menceraikanku." Helaan napas Eme menembus jantungku hingga bibir ini tersungging miris karena ia sakit jiwa.

"Merebut Ares seutuhnya telah menjadi kodrat nafsu jika kau membuka celah. Kau pikir, aku sebaik itu sudi diduakan?" Aku melempar bara api.

Melalui ekor mata, kutemukan Eme yang menunduk. "Aku tidak memiliki siapa pun selain Ares dan Adheline yang tidak bisa bersama kami. Tolong, jangan memintanya menceraikanku." Ketika menyorot wajahnya spontan, senyum hambar itu kembali terkembang, mampu meremukkan jantungku.

Jalang ini seolah memupuskan harapnya karena Ares mencintaiku. Namun, aku tak pernah sudi berada di antara mereka! "Aku tidak seberharga itu di matanya hingga kau ketakutan diceraikan."

Seluruh partikel luka tak kasatmatanya menguarkan letih. Ada lubang dalam yang kutemui dari sorot sendu, tapi entah apa.

Aku berupaya tidak peduli.

CIMMERIAN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang