~Numb 58

1 2 0
                                    

"halo?" seorang gadis di sebrang sana bertanya kembali.

Teman Figan terus berseru tanpa suara, menyuruhnya untuk membuka mulut. Namun, Figan tak sanggup berkata. Wajahnya masih memerah. Begitupun dengan kedua telinga itu. Sedangkan yang lain membentak tanpa suara. Kesal sama Figan yang sedang bingung pada perasaannya. "eum... kalau gitu aku tutup y--"

"tunggu!" balas Figan memotong pembicaraan Ava. Ava pun menunggu.

"lo dimana?" 

"dirumah gue hahahaha, ape lo!" sambar Lita mengambil alih telepon.

Figan kenal sekali dengan suara ini. Suara nenek lampir yang satu ini.

Alisnya mengerut, "ngapain lo sama Ava?! bukannya kasih tau! gue khawatir tau!" tegas Figan, ternyata telepon tersebut tepat ketika Lita mengembalikannya. Jelas saja Ava terkejut mendengar suara keras dari Figan.

"maaf..." jawab Ava.

Ucapan Ava membuat Figan menelan saliva, "maksud g-gue, itu..." Figan menjawab terbata, teman-teman nya hanya tertawa tanpa bersuara. Figan jujur saja jengkel dengan ke empat temannya itu. Sedangkan disisi lain Lita tertawa keras tanpa dosa. Dalam hati Figan merutuki diri. Harusnya tak usah ngomong kasar. "maaf, gue gak bermaksud..."

"HAH?APA? GA DENGER!" Lagi-lagi Lita yang menjawab. Dia dengan enaknya merampas ponsel Ava. Memang sudah sedekat apa mereka? 

Figan mulai memanas antara malu dan marah, campur aduk. Ia segera melepas kuncian Hugo yang tengah longgar, secara paksa. Lalu cepat-cepat mengambil kunci mobil di meja kopi. Ponsel ditinggal. Membiarkan temannya yang menjaga ponsel tersebut. Figan pun keluar dari rumah Hugo dengan wajah tak enak dilihat. Tak lama kemudian mobil berdesing memutar haluan dan jalan meninggalkan jejak. Ke empat teman Figan hanya menatap bingung kepergian dirinya. Mengangkat bahu saling tengak-tengok, menggeleng, lalu mematikan sambungan telepon. 

"kayaknya dia marah,"

.

Di kamar Lita, tidak luas dan tidak sempit. Nyaman dengan cat warna putih dan beberapa cat abu. Setiap sudut terisi penuh dengan barang alat musik, seperti calo, gitar, dan piano zaman modern. Terlihat bersih, mengkilau. Ada juga tempat meja belajar minimalis berwarna putih, diatas meja itu berisi sebuah komputer beserta keyboard. Ruangan ini sungguh nyaman tertata rapi. Ava kini duduk di bawah karpet bulu warna abu. Tentunya bersama Lita. Mami Lita yang mengajak Ava untuk ke kamar Lita berbincang disana. Lita tanpa babibu menarik lengan Ava, menuju kamar dia.

Berakhirlah Ava disini, dan ya kami terus terang berbicara. Walaupun yang sering mempunyai topik adalah Lita. Kami bercerita tentang masa kecil, makanan kesukaan, hobi seperti topik-topik orang baru kenalan. Bahkan membicarakn tentang Figan setelah kejadian telepon barusan. Lita sedari tadi hanya tersenyum girang, dan selalu memuji Ava bahwa dirinya cantik--cocok untuk Figan. Kemungkinan besar itu maksud senyuman Lita. Lita mendekati, duduk di depan Ava, bersila. "Ava! gue tau lo pasti suka kan sama Figan, iya kan?!" serunya, dengan mata berbinar. Ava beringsut, takut. Karena ini pertama kalinya Ava berbincang dan ternyata Lita orang yang sangat bersemangat--kalau tentang gosip atau curhatan, mungkin dia jagonya. 

Ava menggeleng dengan mata membulat, layaknya anak kecil.

"aish, masih aja ya. Ayolah Va kalau lo suka gue bisa bantu!"

Membantu? mungkin itu mustahil. Figan bukanlah cowok peka.

Lita menggoyang-goyangkan pundak Ava, "Va ayolah, daritadi lo gak jujur ama gue..." keluhnya sedih.

Ava hanya tersenyum kikuk. Jelas, Ava memang baru merasakan cinta yang sebenarnya, bahkan ia baru sadar. Ava tidak mengerti membahas tentang perasaan itu sungguh tidak bisa dibuat dengan kata-kata. "i-iya aku s-su..."

brak!

"Ava!" Figan memanggil dari bingkai pintu kamar Lita.

"ngapain kamu main sama nenek lampir disini? ayo pulang." ajak Figan segera meraih lengan Ava. Lita bersungut kesal akibat kedatangan Figan. Padahal Lita baru saja akan mendengar perasaan Ava kepadanya. Lita pun menepis tangan Figan. 

Lita berdecih.,"enak aja, dateng-dateng main dobrak pintu, terus motong pembicaraan gue ama Ava pula! sono pergi, dasar pengganggu!" usir Lita mencegah Figan yang daritadi sibuk ingin menarik Ava. Lita dan Figan sama keras kepalanya, hanya saja mereka berbeda jenis saja. Cegahan dari Lita sia-sia, Figan beringan tangan mengangkat Lita dan membuangnya ke kasur. "EH?! HEH! FIGANN!" Figan pun buru-buru memegang lengan Ava, lalu menariknya keluar kamar.

Ava hanya bisa mengikuti kemauan Figan, "nanti ku lanjutkan Lita, aku janji." sela Ava sebelum hilang dari pandangan Lita.

"mari tante," pamit Figan.

.

Kini mereka berdua di mobil, Ava menikmati pemandangan jalanan malam hari. Selain itu Figan fokus menyetir, tidak ada yang berani buka pembicaraan. Sunyi. Banget malah. Hanya desingan mobil yang terdengar halus di telinga. "Va,"

"hm?" jawab Ava tetap memandang jalanan.

"marah?"

"engga," jawab Ava sambil menggeleng.

"Va ih," 

"apa Figan?" kali ini Ava menengok ke arah Figan yang tengah menyetir.

Figan ikut menoleh, "kamu gak marah kan?" tanyanya sekali lagi, bernada lebih pelan dan halus.

Ava terkekeh, karena Figan mengubah gaya bicaranya. Ava saja tidak tahu dirinya marah kepada Figan karena apa. Ava menepuk-nepuk tangan Figan yang berada di pengatur gigi mobil. Figan terkejut, sangat terkejut. Ia bahkan menoleh ke tangan itu berada. "aku gak akan marah Figan, apapun itu. Kamu berharga, buatku. Aku akan sangat menyesal jika aku marah seperti waktu itu kepada mu..." Figan mendengarnya secara baik, Ava memanglah gadis yang baik dengan hati yang sangat lapang. 

"makasih ya..." balas Figan mengelus pucuk kepala Ava. Ava tersipu malu. Membuang muka ke arah lain.

"eh?"

"FIGAN! AWAS!"

BRAK!!

.

Mobil ambulan. Sirene berbunyi kencang di tengah keramaian pengendara, orang-orang berseru memvideokan kejadian ini, mobil yang dikendarai Figan tertabrak oleh pengendara motor ninja yang melawan arah. Motor itu persis mengenai bagian pengemudi, Figan kepalanya terbentur kencang, pecahan kaca mobil mengenai tubuh Figan. Di sisi lain, Ava hanya terkena beberapa pecahan kaca mobil yang tertancap di beberapa kulitnya. Sedangkan pengendara motor itu terlempar jauh hingga belasan meter jauhnya. Tubuh pengendara tersebut sudah tidak bisa tertolong, separuh kepala pengendara motor itu pecah, memperlihatkan otak di kepala itu. 

Darah ada dimana-mana termasuk di mobil ini. Figan terjepit di tempatnya. Petugas-petugas segera membantu Figan yang terjepit disana. Ava sudah ditarik oleh petugas lain untuk pengobatan. Hati Ava hancur berkeping-keping. Air mata lolos dari sarangnya, berteriak tertahan, memanggil Figan kencang. Ava menangis kencang.

Setelah tiga puluh menit Figan baru bisa di keluarkan dari mobil. Oh Tuhan, lihatlah, lelaki usia tanggung itu berlumuran darah, pelipisnya robek memperlihatkan tulang tengkorak, lengan Figan juga banyak tertancap pecahan kaca. Ava yang sedang di obati berlari kearah Figan berada. Seluruh perawat sibuk mempersiapkan alat, memberikan selang-selang hinga oksigen. 

"Figan... kumohon bertahanlah, kumohon!" ucap Ava terisak. Memegang tangan lemah Figan.

Figan mengeratkan tangan Ava. Ava menoleh padanya. Mata itu terbuka sedikit, ia tersenyum sekuat yang dia bisa. "Figan..." 

Senyuman itu hanya bertahan beberapa detik, begitu pun dengan matanya. Ia menutup matanya, perawat dan dokter berseru untuk bertahan sampai tiba di rumah sakit.  Ava ditarik kembali oleh perawat yang merawat dia barusan, Ava kembali menangis, "Figan!! kumohon... bertahanlah... kumohon..." 


bai.
-sagungr








FINAVA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang