~Numb 45

3 1 0
                                    

"kamu abis darimana?"

"aku... emm.. ah! dari luar sekolah nyari jajanan," Vira beralibi, bahkan Vira tidak tahu mengapa harus beralibi seperti ini.

"Vir, aku capek..." keluh Adan, tangannya langsung menarik tubuh Vira ke dalam dekapan nya, kepala nya  taruh di sela leher Vira.

Tanpa sadar wajah Vira sudah memerah seperti kepiting rebus. Vira tidak menyangka kalau Adan akan se-frontal ini. Walaupun Vira sudah pernah berpelukan juga sebelumnya. Tetapi rasanya kalau yang hari ini berbeda dengan yang dulu. Sangat malu untuk membalas pelukan dari Adan.

Adan meraih tangan Vira, ditaruhnya di punggung. "kok gak peluk Adan sih? kamu ada marah sama aku?" dia menghela napas masih di sela leher Vira. "Vir kam--"

Vira langsung membalas pelukan Adan, "iya, iya! aduh kamu kenapa sayang? capek ya? ututututu sini-sini peluk..." Adan tersenyum sumringah tanpa diketahui Vira. Sejujurnya Vira menahan semu merah di pipinya biar Adan tidak lihat. Biarkan jika orang lain mengatakan kami berdua menjijikan atau memalukan. Toh kita pacaran.

Jadi gak ada masalah. Mereka yang mengatakan, artinya mereka iri.

"Kamu capek banget kayaknya.."

Adan mengangguk-anggukan kepala layaknya anak kecil.

.

Di rumah sakit Figan terus menunggu sampai dokter keluar dari ruang UGD. Figan menunggu sendiri. Sudah tiga puluh menit lebih Figan menunggu tanpa duduk. Berdiri, dengan menyandarkan tubuh pada dinding. Memasang wajah penuh khawatir.

cklek.

"Anda keluarga dari pasien?"

Figan mengangguk, dia berbohong agar si dokter ini cepat memperjelas keadaan Ava.

Dokter berkacamata itu mengangguk,

"Gadis itu mengalami depresi berat. Untung saja kamu sebagai abang dapat mengantar dia tepat waktu sebelum detak jantung semakin rendah. Dia overdosis minum obat penenang. Saya sudah mengira kalau dia pada akhirnya akan overdosis seperti ini. Apa kamu tidak menjaga dia?"

"dia pernah bilang kepada saya untuk tidak memberitahukan ini kepada sebagian keluarganya bahkan temannya sendiri, kalau dia mengalami depresi berat. Saya tidak bisa diam juga, kalau tidak ada yang tahu penyakitnya, siapa yang akan merawat dia disaat seperti ini? Saya paham kalau kamu akan terkejut. Tapi saya mohon, saya berharap kepada kamu, untuk tidak memarahi dia, menekankan dia, cukup jadi pelindung. Yang siap mendengarkan cerita keluh kesahnya bahkan cerita masa lalu dia. Biar dia lebih terbuka."

"nyawanya akan terancam jika dia terus tertutup seperti itu. Untuk obat sebenar nya, bukanlah tablet maupun pil tapi dia butuh orang yang bisa mendengarkan seluruh cerita dengan apa adanya. Tidak terpaksa. Itu obat sesungguhnya." Dokter itu tersenyum, "untuk saat ini dia akan dibawa ke ruangan. Kamu bisa menemuinya di ruang 35B."

Pundak Figan di tepuk pelan olehnya. "saya tahu kamu bukanlah bagian keluarganya. saya percaya kepadamu. cukup camkan dan ingat apa yang sudah saya katakan."

bagaimana dokter ini bisa tahu?

Figan membumkam.

Kantong seragam Figan bergetar menandakan bahwa ada yang mencoba menghubungi dirinya.

"GAN COK! GILAA AKHIRNYA GUE SELESE NGERJAIN UJIAN SUMPAH! NGUMPUL YOK KITA PARTY-PARTY ADA SI--"

Figan menjauhkan hp tersebut dari telinga nya. Dia Nike. Yang menelpon. "bisa kecilin suara?"

FINAVA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang