♡
* 2012
Diantara bebukitan teh yang begitu indah, tawa riang manis nya beradu dengan suara tawa lain milik dua teman sebaya yang bernasib sama dengannya.
Anak remaja itu masih asik berceloteh bersama mereka. Sampai ketika dia teringat waktu,
"Geus tereh siang geuning.. Aduh, Saroh, Nurul, abi mah balik tiheula nya."
(Udah bentar lagi siang ternyata.. Aduh.. Saroh, Nurul, aku mah pulang duluan ya.)
Ucapnya berpamitan pada kedua temannya itu.Nurul dan Saroh mengangguk, melambaikan tangan pada temannya yang hendak pulang ke rumah.
Dia bernama Juni. Gigi kelinci-nya menyembul lucu saat ia tersenyum pada mereka.
Keranjang khusus pemetik teh dia gendong kembali, tak lupa juga topi dari anyaman bambu berbentuk kerucut yang wajib dipakai saat bekerja.
Iya, Juni si gadis remaja berusia enam belas tahun ini sudah bekerja sebagai pemetik teh di kampung nya. Dia merupakan salahsatu anak dari keluarga miskin di kampung ini yang terpaksa putus sekolah dari sejak kelas satu SMP. Maka bekerja adalah alternatif untuk aktivitasnya selain mengurus rumah.Kampung Mawarbodas masih begitu asri dengan terdapatnya beberapa tumbuhan liar di pinggiran jalan, yang aman jika di konsumsi. Seperti tumbuhan sayur pakis, Juni begitu bersemangat saat menemukannya. Dua ikat pakis yang berhasil dipetik dia masukan ke keranjang. Pasalnya, sang nenek sangat menyukai pakis menjadi lauk pauk. Sembari terus melangkah menuju rumah, dia memikirkan akan dimasak apa pakis untuk sang nenek.
Sesampai di halaman rumah sederhana nya yang berbahan kayu, anyaman bambu, dan triplek, dia melihat ada mobil kijang terparkir disana. Sungguh hal yang tidak biasa. Warga kampung disini tidak ada yang memiliki mobil seperti itu. Palingan juga mobil pick up.
Menyadari ada tamu tak biasa yang telah berada di rumah, Juni memutuskan masuk melalui pintu belakang.
Nafasnya berhembus lega setelah dapat mengistirahatkan diri di atas lantai kayu dapur. Badan mungilnya yang jelas tak sekuat orang dewasa tentu merasa lelah sekali setelah bekerja. Namun mengingat akan memasak pakis untuk nenek nya Juni kembali tersenyum cerah.
Sekarang dia baru selesai minum. Menyadari ada yang memperhatikannya dari pintu batas ruang dapur dan ruang tengah, dia menoleh. Ada sepupu laki-laki nya yang masih berusia enam tahun telah berdiri disana.
"Ehh, Didit..", sapanya.
Anak kecil bernama Didit itu pergi tanpa mempedulikan sapaan Juni.
Di ruang tamu yang hanya terisi dua sofa kayu kusam dengan satu meja kaca yang kecil, dan dua foto figura pasangan suami istri di dinding triplek, terdapat beberapa orang dewasa yang sedang mengobrol serius. Mereka adalah bibi-paman nya Juni, dua orang tamu pemilik mobil di halaman, dan nenek yang hanya diam.
"Mah.. teh Juni geus balik."
( Mah.. teh Juni udah pulang." )Suara cempreng Didit melapor pada sang ibu sambil bergelayutan di tangan.
Ibu dan ayah Didit saling beradu pandang.
Setelah melepas gelayutan tangan Didit, ibunya beranjak dari ruang tamu, dan pergi ke dapur. Yang kemudian menemukan Juni sedang mempersiapkan alat untuk memotong sayur pakis dan beberapa bahan bumbu.
Juni sampai terhenyak dengan kedatangan bibinya yang cukup mengagetkan.Kata bibinya di ambang pintu, "Juni! Kadieu!"
(Kesini!)Ditambah suaranya judesnya, menghadirkan sedikit rasa kesal, dan segan di hati Juni. Yang mana selama ini, sang bibi maupun suaminya tidak pernah mempelakukan dirinya dengan baik-baik. Selalu sesuka hati, semena-mena. Bahkan tak segan memperlakukannya seolah pembantu, ataupun kasar dalam bentuk fisik.
Kenapa begitu?
Nanti pasti akan diceritakan.Dengan sopan Juni mendekati sang bibi.
Bibinya berkata lagi dengan penuh penekanan, "Engke maneh kudu nurut, ulah wani ngabantah urang jeung kang Saep! ( suaminya ). Di hareup geus aya kang Munir jeung bu Agnes. Ayeuna maneh ngilu nyanghareupan tamu."
( Nanti kamu harus nurut, jangan berani membantah saya sama kang Saep! Di depan udah ada kang Munir sama bu Agnes. Sekarang kamu ikut temuin tamu! )Hati Juni tentu bertanya-tanya. Apa kepentingan para tamu itu dengannya yang hanya seorang gadis desa biasa ini..
Didepannya, kini Juni sudah duduk berhadapan dengan seorang lelaki paruh baya bernama kang Munir, dengan ber kumis cukup tebal. Dan seorang ibu-ibu muda cantik bergaya modern dan stylish. Jelas penampilan dan sikap nya menyatakan status sosial yang melekat pada dirinya.
"Ini keponakan kami..", ucap Saep pada para tamu.
Melihat respon para tamu yang memperhatikan keelokan sosok Juni dengan amat puas, pasangan suami-istri itu tersenyum bangga.
Sementara Juni harus diam-diam menahan rasa tidak nyamannya. Apalagi perasaannya terasa semakin tidak enak.
Munir dan bu Agnes saling berpandangan dengan suatu isyarat yang kompak sama.
Bu Agnes mengangguk. Munir pun berkata pada Juni dengan lemah lembut, "Hayuk, dek Juni.. urang siap-siap angkat."
( Ayo, dek Juni.. kita siap-siap berangkat. )Kegelisahan semakin mendera. Dengan segan, Juni memberanikan diri untuk bertanya pada sang bibi, "Aya naon bi?"
( Ada apa bi? )Ida alias sang bibi, "Maneh ek gawe jeung pak Munir. Di kota."
( Kamu bakal kerja sama pak Munir. Di kota. )"Hah??"
Ia tak dapat menahan keterkejutannya.
Bukan lah rasa senang yang terjadi. Melainkan rasa sedih.
Hatinya lemas.
Disebabkan dia merasa belum siap untuk merantau, dan masih ingin merawat sang nenek yang sudah renta. Dimana paman dan bibinya yang suka bersikap acuh tak acuh pada nenek.
Meskipun neneknya juga tidak bersikap manis dan hangat pada nya, tapi selama ini hanya sang nenek lah yang kadang dapat membelanya dan menghentikan kekejaman sang bibi. Dan ia tau, nenek pun selalu diam-diam memperhatikan nya.
Juni juga sadar jika dirinya masih belum memiliki keterampilan bekerja. Maka dia tidak dapat membayangkan, pekerjaan apa di kota yang dapat dia lakukan selain mengurus rumah? Karena untuk menjadi seorang pembantu pun, dia khawatir jika akan mendapat majikan yang kasar.
Dia hanyalah anak remaja enam belas tahun.Mata Juni telah berkaca-kaca, menatap penuh harap pada Ida dan Saep.
"Tapi bi.. Juni sieun. Abi sieun nyalira ka kota. Abi acan siap.."
( Tapi bi.. Juni takut. Aku takut sendirian ke kota. Aku belum siap.. )"Maneh ka kota na jeung pak Munir. Moal sorangan." tegas Saep.
( Kamu ke kota sama pak Munir. Gak bakal sendiri. )Iya.. Juni paham. Tapi yang ditakutkannya adalah, dia akan sendirian tanpa keluarga atau orang dikenal yang menemani.
Panas. Sesak dada Juni.
"Ta- tapi, mang..", suara nya tercekat oleh tenggorokannya yang terasa perih akibat menahan emosi dan tangis.*mamang=panggilan kepada paman dalam bahas sunda.
Ida selaku sang bibi, "Euweuh tapi-tapi an! Maneh kudu indit!"
( Gak ada tapi-tapi an! Kamu harus pergi! )Gimana nasib Juni?
Vote dulu sebelum lanjut 😘
Tenang.. aku gak suka sad ending. 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
[New] Persona Non Grata [End]
Ficción GeneralMereka bilang Ikuti kata hatimu Tapi hatiku telah menyeberangi samudera Dan aku takut Untuk tenggelam dalam ombak Ia akan berdiri kokoh di depanmu, & memegang wajahmu diantara telapak tangannya, lalu berkata, "Tidak apa-apa menjadi dirimu bersamaku...