♡13

395 70 4
                                    

♡ Coba vote dulu😄

Klik
Ponsel berbunyi ketika Juni berhasil membuka nya.
Dan ketika melihat tanggal yang tertera di layar, dirinya terdiam oleh teringat hari kepergian sang nenek yang telah tutup usia. Tepatnya tiga tahun yang lalu, satu tahun setelah keberangkatan Juni ke Jakarta.
Entah apa yang terjadi pada nenek nya di kampung. Dia hanya mendapatkan kabar duka itu dari sempat bertanya pada kang Munir yang dulu sempat beberapa kali menemui mami Agnes, dan tidak ada keluarga atau kerabat yang bisa dia hubungi.

Dalam hati, diiringi deraian air mata duka, dia panjatkan doa untuk mendiang nenek di atas sana.

Rumah megah keluarga Antony begitu ramai oleh perayaan pesta yang simple dan ellegant. Semua bersuka ria menikmati hingar bingar musik, obrolan, dan berbagai hidangan yang tersaji dengan cantik.
Kecuali satu orang gadis, yang kini tengah berada di kamar nya.
Dia Taemi.

"Ketemu!" serunya saat menemukan buku rekening yang dia cari.
Kemudian matanya berbinar bangga melihat isi jumlah tabungan di dua buku rekening yang dia miliki.

"Anak itu mana, mah?" tanya tuan Antony sang pemilik pesta pada istri.

"Gak tau, pah. Ke kamarnya mungkin."

Topi hitam nya dia pakai selagi menuruni tangga.

"Taemi?!"

Taemi menoleh dibalik topi nya. Mendapati ayah memanggilnya barusan, dan ibu nya yang berdiri si samping ayah, dengan memandangi nya tidak suka.

Dia tau. Pasti mereka bertanya-tanya kenapa dia telah mengganti dress hitam nya dengan setelan absurd, tidak mencirikan seorang anak pengusaha kaya raya. Kaos oblong putih, celana jeans belel yang sobek, dan hoodie hitam.

Lalu dia merasakan ponsel di saku hoodie nya bergetar, tanda ada telpon masuk. Terpaksa dia abaikan.

"Apa-apan kamu?!" heran sang ibu.

Berusaha tenang, Taemi menjawab, "Aku ada urusan, mah."

Ayah nya maju, "Kamu gak ngerti di rumah lagi ada acara, hah?!"

"Acara tunangan kak Stefy kan udah selesai pah.. cuma tinggal pesta."

Argumen itu memunculkan emosi semakin tergurat di wajah orangtua nya.

"Loh, Taemi? Mau kemana?"
Suara seorang ibu-ibu berpenampilan mewah menghampiri mereka. Sehingga tuan dan nyonya Antony segera mengubah ekspresi wajah.

Taemi tersenyum ramah.
Baru saja dia hendak menjawab, ponselnya kembali bergetar.

"Eh, jeng Tantri.." sapa nyonya Antony basa-basi.

"Anak bungsu mu mau kemana? Tadinya mau aku kenalin sama anak cowok ku yang kerja di Aussie, loh.."

"Saya ada urusan mendadak, tante.." sahut Taemi mendahului ibunya.
"Mohon maaf, tante.. saya permisi duluan."

"Oh.. iya, silahkan."

Maka hati Taemi bersorak senang, berhasil keluar rumah tanpa harus ribut dahulu.
Hm.. kapan-kapan dia harus sampaikan terimakasih nya pada ibu-ibu tadi.


Lima belas menit berlalu, dia telah sampai di depan gedung apartemen yang dia tinggali bersama Rudi.

Selagi menunggu lift, dia buka ponselnya untuk mengecek siapa yang tadi menelpon.

"Bang Rudi?"
Dilayar ponsel dia cukup heran melihat panggilan tidak terjawab dari sang teman. Tidak biasanya.

"Jadi yang nelpon tadi tuh bang Rudi... Kenapa ya?"
Taemi coba telpon balik. Tapi tidak dijawab.
Sampai tibanya dia di lantai empat letak dimana unit apartemennya berada, pemandangannya langsung disuguhi kehebohan beberapa penghuni apartemen, petugas keamanan apartemen, dan beberapa polisi.

Apa yang terjadi disini?

Yang lebih mengherankannya, dia mendengar nada dering ponsel Rudi disana. Dan melihatnya berada di tangan salahsatu polisi.

"Loh?"

Diterpa keresahan yang semakin menjadi, kaki Taemi berjalan cepat menerobos kerumunan.

Maka tampak lah sepasang kaki dengan sepatu boot dibalik koran-koran yang menutupi tubuh bagian atas.
Terhenyak hati Taemi saat mencoba membuka koran itu.
Matanya melotot syok. Bahu tegapnya meluruh turun.
Blank.

"B-bang Rudi....?
Bang! Bang Rudi bangun!"
Tangan gemetar mencoba menyentuh perut terluka parah Rudi yang masih bersimbah darah.

"Ini bohong kan?!!!" tanya Taemi menatap wajah pucat sang teman.

Orang-orang di sekeliling hanya dapat menontonnya dengan rasa prihatin.

"Hhak.. bang Rudi.. hhiks."
Isak tangis Taemi lolos.
"Gak mungkin.."

Salah seorang polisi menghampirinya.
"Kamu adiknya korban bernama Rudi ini?"

Kepala Taemi mengangguk sekilas.

"Maaf, abang nya mau kami bawa dulu ke rumah sakit. Mobil jenazah sudah tiba."

Terhenyak lagi hati Taemi kala mendengar mobil jenazah. Masih belum bisa percaya jika sang teman dekat telah tiada.
Kepalanya menggeleng dengan tangisan tanpa suara.
"Gak! Bang Rudi gak mati! Dia gak mati!"




Lorong sunyi kamar jenazah menampilkan Taemi sedang menangis dalam diam. Dan beberapa pria dewasa berjalan cepat menuju kamar jenazah dimana tubuh tak bernyawa Rudi berada untuk dibersihkan. Mereka bos Gerry dan para anak buah.

Dalam tangis, Taemi terus terpikirkan siapa yang telah membunuh Rudi, juga penyesalannya yang sempat mengabaikan telpon.
Sungguh sangat menyesal sampai dia tak tau harus bagaimana meluapkan emosi nya.
Urat tangan nya muncul ke permukaan selagi dia mengepalkan tangan.
Sorot mata memancarkan amarah murka.
Dia harus membalas kematian sang teman.

Satu jam yang lalu, sebelum terjadi pembunuhan.
Rudi berjalan tergesa-gesa menuju gedung apartemen. Tanpa menyadari dua orang pria bertopi menutupi sebagian wajah terus mengikuti nya diam-diam.

"Kok bisa sih gue lupa ambil dompet,"
Dia menggerutu sendiri sembari menunggu lift nya sampai.

Hening. Sepi nya lorong lantai empat membuat dia berjalan santai menuju unit nya.
Namun ketika dia berhasil menggapai knop pintu, reflek dia berbalik untuk menyerang sesuatu yang mengintai nya.

Dua pukulan dan tendangan berhasil dia berikan pada dua pria anak buah Jefri.
Perkelahian semakin sengit diantara satu lawan satu, sementara satu orang lagi bersiap-siap mengambil kesempatan untuk menusukkan pisau yang dia bawa.
Hingga tibalah saatnya, Rudi lengah, dan harus terkejut tak percaya saat mendapati perut nya berhasil tertusuk pisau itu.
Satu tusukan,
Dua tusukan,
Tiga tusukan,

Darah mengalir deras. Rudi limbung. Tubuh tegap nya roboh ambruk ke lantai. Dan dua pria tadi berlari cepat melarikan diri.

Sembari menahan sakit yang luar biasa, Rudi berusaha mengambil ponsel di saku jaket untuk menelpon Taemi.
Membuat ponsel mahal itu harus ternodai oleh jari berlumuran darah nya.

Beribu sesal dan rasa bersalah mengguncang hati Taemi begitu hebat.
"Andai tadi gue jawab telfon dia, mungkin gue gak bakal telat kayak gini. Hhiks."

"Lo bilang apa?"
Tanya bos Gerry yang telah keluar dari kamar jenazah.

"Tadi bang Rudi sempat telfon gue dua kali, tapi gue gak bisa sempat jawab telfon. Gu-"

"Apa???"
Sela salah seorang teman dekat Rudi.
"Jadi tadi Rudi sempat minta tolong sama lo di telfon tapi lo gak jawab??"

Kepala Taemi turun menunduk. "Iya.. Tadi gue gak bisa sempat jawab, bang. Gue bener-bener nyesel. Gue minta maaf, bang."

Tak ada yang bersuara. Taemi hanya mendapati tatapan tak habis fikir, dan kekecewaan dari semua orang disana.

Dia bangkit dari kursi.
"Bang Tora.. bos Gerry.. Gue minta maaf.."

Semua diam. Bos Gerry dan Tora membuang wajah. Lalu semua melenggang pergi, mengikuti sang bos yang telah berjalan lebih dulu, mengabaikan Taemi sendirian disana dengan kesedihan yang mendalam.

Gadis itu terduduk lemas.
Perih..








Cung yg sedih Rudi gak ada lagi !😭
Lanjut 😗

[New] Persona Non Grata [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang