♡44

308 59 13
                                    

☆♡ eits.. Jangan reader nakal yg malas klik vote tiap bab y ya♡♡



Istri pak sopir bernama ibu Aida itu memijat kaki Juni dengan telaten, sesekali dia mengusap lembut kepala Juni.
"Neng Juni sabar ya.. Kuat..! Pasti lahirannya dimudahkan. Dulu saya lahiran pertama saya juga sakit minta ampun. Tapi, semua itu adalah salahsatu jasa luar biasa kita sebagai ibu, yang tidak ternilai apapun."

"Betul.. Jangan khawatir, neng.. disini ada kami yang menemani." timpal suaminya.

Dalam hati, Juni merasa beruntung sekali dipertemukan pasangan suami istri ini. Rasa terharu nya benar-benar tidak dapat diungkapkan lagi dengan apapun, diikuti air mata yang mengalir keluar selagi menahan nyeri di sekujur badan.

'Aku harus terus berusaha!'







Dua jam, tiga jam, empat jam, lima jam, Juni terus bergelut dengan rasa nyeri pembukaan persalinan. Malam telah larut pun, dia tidak bisa tidur. Kadang bolak balik ke kamar mandi, kadang duduk meringis kesakitan sembari di pijat bu Aida yang tidak menyerah menyemangati Juni dan menemani nya bersama sang suami yang rela tidak bekerja mencari penumpang hanya untuk ikut menjaga Juni di rumah sakit.
Hingga tidak terasa, dua belas jam dari pembukaan pertama telah berlalu, dan tanggal telah berganti. Tepatnya tanggal satu di bulan September, sekitar pukul setengah tiga dini hari, suster telah sibuk mempersiapkan alat medis, dan bu dokter telah sibuk mengurus Juni yang sebentar lagi akan melahirkan.

"Coba nafas nya lebih tenang lagi ya bu, ya..
Ayo, dorong lebih kuat lagi, bu!" ujar bu dokter penuh kesabaran.

Sprei kasur mengkusut berantakan oleh kedua tangan Juni yang mencengkeramnya kuat-kuat untuk melampiaskan tekanan tenaga nya yang naik turun.
"Huhh.. Aaaaaak! Aaaaak!" Juni juga berteriak agar membantu tenaga nya lebih terpacu.
"Aaaaaak!"

Lelah. Sangat lelah. Jika saja dia bukan sedang melahirkan, rasanya dia ingin menyerah, berhenti. Tetapi bagaimana dengan sang janin bayi yang juga sedang berjuang keluar dari perutnya..

Tarikan nafas Juni melemah. Wajahnya semakin pucat.

Bu dokter semakin gencar.
"Pasti bisa, bu! Ayo! Jangan menyerah! Sedikit lagi!"

Bu Aida memegang tangan Juni untuk memberi semangat. Sementara suami nya menunggu harap-harap cemas di luar ruangan.

Dan di ruang sel lapas yang gelap dan sunyi senyap, diantara para tahanan yang berjejer tidur dengan lelap, seorang Taemi terus gelisah dalam baringan tidur. Kedua mata terus selalu terbuka, menatap resah langit-langit dinding penjara yang berwarna putih pudar dan kotor itu.

"Juni.." lirihnya cemas.

Andai saja..
Andai saja tembok beton dinding penjara ini dapat dia tembus untuk berlari kabur sebentar agar dapat menemui Juni. Dia yakin Juni sangat membutuhkan kehadirannya.

'Apa Juni sudah ke rumah sakit untuk melahirkan?'

Namun.. dirinya bukan tahanan spesial yang dapat diberi izin dan fasilitas istimewa untuk pergi keluar.

Taemi hanya dapat menghela nafas sedih. Lalu mendoakan kekasihnya agar selalu dalam lindungan Tuhan.

Dia usap air mata yang diam-diam mengalir.



Pukul setengah empat dini hari.
Wajah bu dokter nampak sumringah oleh keberhasilan seorang bayi yang baru saja berhasil lahir dengan selamat kedunia ini.
Dia bawa hati-hati.
"Bayi bu Juni sudah lahir!" serunya turut senang.

Suster dan bu Aida ikut menengok. Menyaksikan bayi montok nan merah dalam lumuran darah lengket tengah bergerak-gerak menggeliat. Kemudian mulut mungil nya terbuka bersama suara rengekan tangis yang cukup kencang.
Sedangkan ibunya meraup oksigen dengan susah payah. Matanya kian lemah untuk terbuka. Bibirnya bergetar sebelum mampu bersuara.

'Riana..' ucapnya dalam hati.
Sampai akhirnya, mata Juni tertutup.

"Bu Juni!" panggil bu dokter memastikan keadaan sang pasien.

Dan bu Aida cemas luar biasa. Wajahnya terkejut khawatir.
"Neng... Neng Juni.."











Arya berlari menelusuri lorong rumah sakit. Guratan kecemasan nampak jelas di wajah rupawannya. Nafasnya terengah-engah sembari mencari nomor ruangan setelah sempat bertanya pada suster admin di depan.

"Ketemu!" gumamnya.

Dia buka perlahan pintu salahsatu ruang persalinan.
"Permisi.."

Dan mendapati seorang bapak-bapak tua tengah menggendong bayi baru lahir menyahut nya dengan ramah.

'Tapi.. dimana Juni?' batin Arya ketika tidak melihat keberadaan gadis itu.

"Maaf, anda cari siapa?" tanya si bapak.

"Saya mencari Juni, Juni nya dimana ya?"

"Neng Juni..-"

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan bu Aida yang menuntun Juni hati-hati.

'Hahhh..'
Lega hati Arya melihat keadaan Juni yang tampak baik-baik saja.

"Pelan-pelan, neng.." kata bu Aida ketika Juni hendak duduk menyandar di ranjang.

Lalu gadis muda itu menyadari keberadaan seseorang. "Kak Arya?"

Arya melangkah mendekat.
"Aku senang kamu baik-baik aja."

"Terimakasih.." sahut Juni tersenyum.
"Kak Arya tau aku disini dari siapa?"

"Dari tetangga kamu. Tadi jam makan siang aku ke rumah, dan kebetulan ada tetangga kamu yang kasih tau kalo kamu ke rumah sakit."
"Boleh aku lihat bayi kamu?"

"Boleh.." Juni menunjuk sang bayi di pangkuan pak sopir taksi.

Dan pak sopir menyerahkan sang bayi pada Juni. Meski masih sedikit takut, khawatir, Juni berusaha tenang menggendong sang anak. Bibirnya tersenyum merekah melihat wajah bulat kemerahan si bayi. Masih ada rasa tidak menyangka di hati kala melihat bayi itu adalah bayi yang telah dikandung nya selama berbulan-bulan. Dan syukurnya, dia berhasil bertahan hidup mempertaruhkan nyawa untuk kelahiran sang anak.
Iya, tadi setelah melahirkan Juni sempat pingsan, hingga membuat bu Aida dan pak sopir khawatir luar biasa.

Dia cium sayang serta hati-hati kening si bayi.

Sementara Arya menyaksikannya dengan perasaan terharu.
Dia ingat, bayi Juni berjenis kelamin perempuan sewaktu dia mengantarnya USG.
"Gemesnya... cantik!"
Jika boleh, rasanya Arya mencubit gemas pipi bayi baru lahir itu. Gembul, bulat. Di sertai mata bulat yang begitu jernih.
"Dia udah punya nama?"

"Udah.. namanya Riana Heleina."

"Namanya bagus."

Juni tersenyum senang. "Nama itu pemberian aku dan Taemi."

Mendengarnya, ada sedikit rasa sesak menyergap hati Arya.
Bagaimana lagi.. hatinya tidak dapat berbohong bahwa dirinya mendambakan kekasih orang lain.
Tetapi akal sehat masih lebih berkuasa dibanding ego nya. Hingga membuat bibirnya masih dapat tersenyum untuk hal itu.
"Kalian pasangan yang kompak. Sehat selalu ya, baby Riana.." tuturnya kemudian.

"Makasih banyak, kak.."

Arya mengangguk.



Di sebuah cafetaria yang terdapat di kantor perusahaan Antony, keluarga Antony yang sekarang sudah tanpa sosok Widy, menikmati makan siang mereka dalam suasana lebih banyak sepi. Hanya sesekali basa-basi klasik seperti keluarga lain pada umumnya. Jelas, Steffy tidak menyukai itu, keluarga nya tidak seceria dulu. Meski dulu sudah sering tanpa Taemi. Namun dirinya juga memahami masalah yang terjadi.
Semenjak kejadian Steffy mengungkap pelaku yang sebenarnya, dimana hari itu juga Ben dan Widy tewas dalam kecelakaan, kedua orangtuanya menjadi pendiam. Terpukul oleh masalah yang terjadi. Terkadang, Steffy mendapati sang ibu diam-diam menangis di balkon kamar, atau mendapati ayahnya sering melamun sendirian di taman belakang rumah.

Melihat kedua orangtuanya telah selesai makan, Steffy berniat bicara.
"Mah, pah.."

"Iya, nak.." sahut ny. Antony.

"Gimana kalau nanti sore kita kunjungin Taemi bersama?"

Sepasang suami-istri itu terhenyak. Lalu saling melempar pandang.









Oke..
Mari lanjut di bab berikutnya 💕

[New] Persona Non Grata [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang