♡45

322 62 13
                                    

☆☆


Baru tiba di ruang kunjung khusus, Taemi mematung di depan pintu. Menemukan Steffy di kursi roda datang menjenguk bersama kedua orangtua nya.
Iya, orangtua nya Taemi. Hingga Taemi merasa harus meyakinkan lagi dirinya, apakah benar yang dia lihat itu adalah orangtua nya..

"Taemi.." panggil Steffy.

Sementara tuan dan ny. Antony tersenyum. Untuk pertama kali dalam hidup si bungsu.

Taemi memaling wajahnya.
Entah dia harus bersikap bagaimana. Yang pasti, hatinya mulai bergemuruh oleh rasa sakit, kekecewaan yang amat dalam.
Dadanya kembang kempis saat mendengar ny. Antony menyebut namanya.

"Taemi.."

Taemi tetap enggan memandang mereka berdua.

Suasana menjadi lebih kaku dan bimbang.

Tuan Antony menggigit bibir dalamnya sebelum berkata, "Taemi.. Papah dan mamah minta maaf.." suaranya terdengar bergetar di akhir kalimat.

Begitu pun istrinya yang mulai berusaha menahan air mata.
"Kami minta maaf, nak.."

Perih sudah kedua mata Taemi oleh rasa ingin menangis. Semua rasa sakit, amarah, sedih, berkecamuk hebat di dadanya. Hingga dadanya semakin terasa sesak.

Lalu saat ayahnya hendak mendekat menggapai tangannya, Taemi mundur selangkah, masih dengan wajah yang enggan menatap. Kemudian berkata,
"Maaf,"
Dan memutuskan pergi begitu saja dari hadapan keluarga nya.

"Taemi.." panggil sang ibu dan Steffy.

Namun Taemi abai, gadis dua puluh enam tahun itu terus melangkah pergi tanpa sekali pun menoleh pada mereka bertiga yang menatapnya penuh kesedihan.

Tak lama tangis ny. Antony pecah.
"Taemi.. maafkan mamah.." rintihnya sedih dalam pelukan sang suami. Yang juga sama-sama menangis dalam diam.

Sedang Steffy hanya dapat menunduk sedih. Dia mengerti dengan rasa kecewa, sakit, sedih, yang telah dialami sang adik selama hidup nya. Dia berjanji, dia dan orangtuanya akan memperbaiki kesalahan yang telah mereka perbuat.

'Maafkan kami, Taemi..'



Sel sedang sepi dimana para tahanan sebagian besar tengah menghabis waktu di outdoor lapas.
Taemi meringsut duduk di pojokan sel nya. Menangis terisak-isak sendirian. Semua kenangan bersama keluarga nya, terutama kedua orangtua nya, yang ada hanya lah kenangan luka.
Kepala menunduk di kedua lutut, bahu gemetar hebat, suara isak tangis nya menggema memilukan di seisi ruang sel.
Dan,

"AAAAAARGHHH!"
Taemi berteriak sekencang mungkin untuk melepaskan emosi nya.
Lagi,
"AAAAAARGHHH!"

Lalu menyandar lemas di dinding. Membiarkan air mata nya terus keluar membanjiri kedua pipi.





Semua anggota geng Rosi termasuk Taemi, telah berkumpul lengkap di bangku setelah masing-masing sudah mengambil bagian jatah makan malam.

Mendapati Taemi yang masih tampak tidak seceria biasanya, mengundang rasa ingin tau Rosi untuk bertanya.
"Lo kenapa gak semangat makan, Taemi?"

Lan, "Iya, Taemi. Bukannya lu bentar lagi bebas? Kok kayak sedih gitu?"

"Tadi orangtua gue kesini. Dan gue marah. Sakit." jawab Taemi yang menarik perhatian teman-temannya untuk menoleh prihatin. Mereka semua tau masalah itu.

Tapi kemudian, mereka terkejut saat Taemi tiba-tiba berdiri.

"Mau ngapain?" tanya Ela refleks.

"Gue mau telfon Juni aja." Sebuah senyum semangat mengakhiri ucapannya sebelum beranjak pergi.

Firda menghela nafas.
"Astaga... bikin kaget aja itu anak!"

"Baguslah dia telfon aja pacar nya. Kasian. Murung terus dari tadi." ungkap Rosi.

Dan diiyakan semua teman nya.



Senyuman mengembang cantik di bibir Juni kala mendengar suara si kekasih
"Taemi.. Gimana kabar kamu?"

"Aku baik.. kamu gimana? Apa kamu udah di rumah sakit?"

"Baik.
Taemi.. tadi pagi anak kita udah lahir!"

Di seberang sana, Taemi melongo. "Serius? Riana udah lahir?"
Dia terkejut sekaligus bahagia. Lalu matanya berkaca-kaca mendengar suara manis Juni.

"Riana lahir dengan baik. Sehat. Beratnya 3,5 kilogram. Pipinya bulet, lucu.. cantik banget." terang Juni sembari memandang gemas sang bayi yang tertidur di sampingnya.

Hati Taemi bergetar hebat. Ingin berada bersama Juni sekarang juga. Bahkan seharusnya dari semenjak Juni ingin melahirkan.
Ingin dia peluk Juni dan bayi mereka.

Sedangkan Juni menjadi merasa sesak ketika menangkap suara isak tangis Taemi yang sebenarnya berusaha Taemi tahan.
"Taemi.."
Matanya pun mulai basah.

"Aku bahagia banget anak kita udah lahir dengan baik.
Sekali lagi maaf ya, Juni.. aku gak bisa ada di sisi kamu." ucap Taemi sembari kembali menenangkan diri.

Lalu giliran dia mendengar isakan kecil tangis Juni. Yang kemudian membuat dirinya berimajinasi kabur dan bisa memeluk Juni disana.

"Juni.. aku juga dapat kabar baik dari pak Heru." lanjutnya ingin mengalihkan topik.

"Apa..?"

"Laporan tuntutan sudah dalam proses dicabut. Dan aku bakalan segera bebas dari sini."

"Wahhh!" sambut Juni bahagia.
"Syukurlah.. Aku lega, dan pastinya gak sabar nunggu kamu."

"Aku juga sama gak sabar.
Tahan ya sabarnya..!
Juni..
Hahh...
Aku udah dipanggil buat selesai telponnya." keluh Taemi yang baru saja diperingati sipir penjaga.

Pundak Juni turun lemas.
"Yah.. mau gimana lagi..
Kamu jaga diri baik-baik,ya.."

"Pasti, sayang. Kamu juga..
Dan aku titip peluk dan cium aku buat Riana, ya.."

Juni usap air mata nya yang mengalir deras.
"Iya.." jawabnya yang harus sambil menahan tangis.

"Sabar ya.." kata si kekasih begitu lembut.

Kepala Juni mengangguk. "Huum. Selamat malam, Taemi.."

"Selamat malam, Juni..
Semangat di hari pertama menjadi seorang ibu, ok?!"

Kekehan tawa kecil dari bibir Juni terdengar. Hingga membuat keadaan hati Taemi menjadi bertambah baik.

Juni, "Iya.. Pasti aku semangat selalu."

"Juni hebat..!
Aku.. tutup dulu ya telponnya."

"Gak apa-apa.."

"Juni.." panggil Taemi yang nyatanya masih belum mau menutup telpon.

"Iya..."

"Sebelum aku tutup telponnya, aku mau bilang.. Aku sayang banget kamu, Juni.."

Lagi. Senyuman mengembang indah di bibir Juni.
"Aku juga sayang banget sama kamu, Taemi.."




One of the things i love the most about us is
The way we hold each other
Not just with arms and hands
But with hearts
That don't know how to let go








💜 kalau udah vote..
Hayuk lanjut..

[New] Persona Non Grata [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang