♡
"Taemi??"
Suara perempuan itu berhasil menyadarkannya.Dia Juni.
Menatap Taemi terheran-heran sambil berusaha berdiri.
Taemi juga turut bangkit.
"Kamu kenapa narik-narik aku?", tanya Juni.
"Justru aku yang harus nya nanya, kamu ngapain nekat ke sini? Gak mungkin aku biarin orang bunuh diri."
Alis kanan Juni naik. "Bunuh diri?"
Blank.
Batin Taemi, 'Yah! Pasti gue salah. Malu.. malu...'Disaat itu, dia melihat bibir mungil Juni tanpa polesan lip stik menor itu mengeluarkan tawa kecil. Kecil sekali.
Lalu berkata, "Aku bukan mau bunuh diri.. Tadi sebelum kamu tarik badanku juga aku udah mau pergi.""Maaf ya.. Gara-gara aku.. kamu jadi jatuh, gelindingan lagi ke semak-semak."
"Iya.. aku hargai banget niat baik kamu."
Sembari mereka berjalan melewati rel,
Taemi, "Kalo boleh tau, tadi kamu ngapain diem di sini?"
Sempat terdiam sejenak, Juni menjawab, "Aku lagi kangen banget sama temen ku."
"Temen kamu? Disini? Siapa? Gak ada siapa-siapa disini." heran Taemi.
Badan Juni berbalik menghadap rel.
"Disini adalah tempat dimana takdir membawa nya pulang ke sisi Tuhan."Taemi mengikuti arah pandang Juni yang memandang bucket bunga kecil di tepi rel. Dia yakin, bunga mawar itu pasti bunga yang dibawa Juni untuk mendiang sang teman.
Kilas balik sekitar dua tahun lebih yang lalu..
Semenjak kejadian Juni berencana bunuh diri dan digagalkan oleh Bela, mereka berdua menjadi akrab. Sebelumnya, memang hanya Bela yang paling bersikap baik dan tulus peduli pada Juni, tempat tidur mereka pun di kamar yang sama. Sejak mereka berteman, perlahan Juni mulai berani menghadapi kenyataan. Dia pun belajar banyak dari sosok Bela yang lebih dewasa empat tahun dari nya itu.
Sungguh Juni sangat bersyukur dengan keberadaan Bela. Sayangnya.. baru sebelas bulan mereka berteman, tepatnya di bulan November, sebuah tragedi memilukan menimpa Bela.Sore hari itu, Bela menghampiri Juni yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.
"Dek, besok kita nonton film yuk, ke bioskop!"Juni yang belum pernah mengunjungi bioskop pun bersemangat merespon.
"Ayo, teh! Juni mau. Teteh mau nonton film apa?""Film nya Vino G Bastian. Judulnya Mika. Katanya bagus banget. Kita harus nonton pokoknya."
"Harus teh! Eh.. tapi, memangnya mami Agnes bakal izinin?"
"Pasti. Yang penting kita udah pulang jam 6 sore nya."
"Asik!" Juni menghambur memeluk Bela, dan Bela menyambutnya begitu hangat. Mereka memang sudah seperti saudara kandung.
"Gak sabar banget yang mau ke bioskop.." ledek Bela.
"Teteh sekarang mau keluar dulu ya, Jun.""Mau ketemu pacar ya..?" goda Juni yang iseng.
"Hish, iya.. tadi pagi ketemu, terus diajak ketemuan jam segini. Aku pergi dulu, ya.. Kamu baik-baik disini.."
"Kayak yang mau pergi kemana aja si teteh mah.."
Setelah puas tertawa, Bela tersenyum sebelum menutup pintu kamar. Hangat sekali senyumannya, sampai Juni masih dibuat tersenyum meski pintu sudah tertutup rapat.
Sudah tidak mengejutkan lagi jika disamping kemewahan kota metropolitan Jakarta terdapat kawasan kumuh padat penduduk yang tinggal di gang-gang sempit, seperti dekat area rel kereta api. Disanalah sekarang Bela berada. Gadis hitam manis ini mengunjungi rumah kontrakan sang pacar yang sedang tampak asik merokok sendirian. Bukan rokok biasa. Bela pun terkejut sendiri, baru mengetahui jika pacarnya sudah biasa mengkonsumsi hal-hal terlarang. Kecuali minum yang sudah lumrah dia ketahui. Bahkan dirinya sekarang harus dihadapkan pada sikap buruk si pacar yang memaksanya ikut merokok. Rokok ganja.
Bela bukan sok suci, tapi dirinya memang tidak ingin mengkonsumsi hal-hal seperti itu meski pekerjaannya berada di dunia yang sama.
Dia berusaha menepis tangan si pacar yang mencegahnya hendak pulang.
"Berapa kali aku bilang?! Aku gak mau, Bar! Aku gak bisa! Aku kecewa sama kamu!" tegasnya.Plak
Tamparan keras melayang ke pipi Bela. Bardo, alias pacarnya, yang menjadi pelaku.
"Berani banget lo ngelawan dan kasar ke gue! Gue cowok lo!"Habis kata-kata di lidah Bela akan sikap sang pacar. Bukannya yang kasar itu Bardo?! bukan dirinya.
Air mata Bela keluar deras. Tapi Bardo malah menyeret, dan berusaha memaksa memasukan rokok ganja itu ke mulut Bela.
Bela batuk parah. Tidak berhenti sampai disitu, pacarnya berusaha merobek bajunya untuk memperkosa.
"Hhiks! Enggak Bardo! Stop!" tolak Bela sambil terisak-isak dan melawan.
"Halah! Cewek munafik! Kerjaan PSK aja gak mau ngerokok! Gak mau gue masukin!"
Sudah jelas, Bardo telah kehilangan akal sehat. Begitu bernafsu ingin melakukan apapun, tanpa peduli telah menyiksa pacarnya.
Namun kemudian, dia harus kesal setelah Bela berhasil memukul kepalanya dengan botol kaca minuman, dan sukses keluar melarikan diri."Aaaargh!" geram Bardo yang merasakan denyut sakit di kepala. Tapi dia tidak putus asa. Dia bergegas keluar untuk mengejar sang pacar.
Bela lari sekencang mungkin. Ketakutan semakin meraja rela ketika melihat Bardo semakin dekat menyusul dirinya.
Sementara matahari mulai terbenam, semakin tertutupi awan di langit senja.
Lari dan lari.
Kaki kurusnya lari ke area rel kereta untuk dia lalui.
Yang ada dibenak Bela hanya harus dapat kabur dari Bardo. Tetapi.. dia tidak sempat menyadari kemunculan kereta, yang kemudianBRUK
Seketika darah memuncrat hebat dari tubuh manusia yang tertabrak kereta.
Iya.. Tubuh Bela, yang telah kehilangan nyawa. Meninggalkan jejak memilukan, dengan bagian tubuh yang kini tidak menyatu lagi.Dan Bardo tercengang menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya dengan jelas.
Malam tiba, semua penghuni asrama wanita penghibur mami Agnes heboh oleh kabar meninggalnya Bela. Yang tentu saja mengguncang seorang Juni. Sang teman, juga sebagai saudari.
Juni sangat kacau. Dandanan nya yang telah rajin bersiap-siap bekerja, sekarang luntur berantakan karena air mata. Dia berlari memeluk guling milik Bela.
"Teh Bela... Teteh bohong kan? Teteh gak meninggal kan?"Lalu tanpa sengaja, botol air minum Juni jatuh dari meja rias saat tak sengaja tersenggol siku tangannya.
Lalau dia termangu sesaat kala menemukan sebuah kertas catatan kecil berwarna biru menempel di sisi botol.
Dia ambil dan baca;
'Dek.. nanti kalo teteh pulangnya telat, kamu makan malam duluan aja. Biar kamu gak telat makan. Biar sehat. Ok?
Semangat selalu Juni!'-Bela-
Gemuruh hebat menggelegak dahsyat di dada. Banjir air mata Juni.
Sakit.. Sedih.."Kenapa teteh harus pergi?
Kenapa Tuhan ambil lagi orang yang baik sama Juni..?
Kenapa...?"Juni peluk erat-erat kertas itu.
Kembali ke masa sekarang, dimana Juni sedang menahan isak tangis mengenang mendiang Bela, dan perjuangannya yang lagi-lagi harus melewati masa keterpurukan sendirian.
Walau Taemi tidak diberi tau kan cerita lengkapnya, dia sangat dapat merasakan kepedihan yang mendalam di hati Juni.
"Juni.." panggilnya lirih.
Juni menengok, lalu kaget kala Taemi menarik dirinya ke dalam sebuah pelukan. Pelukan hangat. Sehangat... Ahh, pokoknya kehangatan yang belum pernah dia rasakan, sampai-sampai kini Juni menangis akan rasa haru yang tidak dia mengerti, bukan lagi karena mengenang mendiang temannya.
Apakah itu aneh bagi dua orang yang baru hanya saling mengetahui nama?
Juni tidak peduli. Yang penting sekarang hatinya merasa lebih baik dalam pelukan Taemi.
😄 gimana?
Lanjut? Vote dulu 😗
😗semoga suka
KAMU SEDANG MEMBACA
[New] Persona Non Grata [End]
General FictionMereka bilang Ikuti kata hatimu Tapi hatiku telah menyeberangi samudera Dan aku takut Untuk tenggelam dalam ombak Ia akan berdiri kokoh di depanmu, & memegang wajahmu diantara telapak tangannya, lalu berkata, "Tidak apa-apa menjadi dirimu bersamaku...