♡33

281 57 12
                                    

☆☆



"Setiap hari aku nunggu kamu.. Setiap hari aku teringat kamu. Kangen kamu.."

"Maaf, Taemi.. Maafin aku.."

"Ada apa, sayang..?
Apa... kamu sudah mulai lelah berada di sisiku? Sampai kamu gak mau lihat wajahku sebelum berpisah di pengadilan dan kamu baru hari ini datang?" tanya Taemi lembut.
"Jika iya.. aku yang minta maaf."




Flashback
Satu minggu yang lalu. Ketuk palu ketua hakim telah berbunyi. Tangis Juni pecah. Kekasihnya telah diberi sanksi hukuman lima belas tahun penjara di persidangan pertama.
Seli membawanya dalam pelukan, namun ketika dia baru menyadari Taemi telah dibawa polisi lagi untuk keluar, dia menoleh. Tetapi, dia melihat para polisi telah membawa Taemi keluar dari ruang persidangan. Dia telat.

Suara serak tangis Juni keluar berusaha memanggil si kekasih, "Taemi...!"
Sayangnya, suara dia tak terdengar oleh Taemi.

"Hhiks. Taemi.. Taemi.."

Seli menahannya dalam pelukan. "Sabar.. Kamu kuat, Juni.."

Dan siang berganti malam, sampai malam telah berganti siang kembali, tampak Juni duduk termenung di kamarnya, ditemani air mata yang terus mengalir.
Terus saja seperti itu. Mengabaikan perut yang lapar sejak pagi, mengabaikan jendela yang tidak dibuka, mengabaikan tanaman yang belum disiram sejak kemarin.

Duduk bersandar di kasur, diam, menangis, merenung, dan menangis lagi. Sampai muncullah bunyi dering telpon, Juni terpaksa menggerakan tubuhnya untuk mengambil ponsel nya menjawab telpon dari Seli.

"Juni.. kamu dimana?"

"Aku di rumah kak."

"Aku udah di depan rumah, dari tadi aku panggil kamu, tapi gak ada sahutan." keluh Seli di telpon.

Baru lah dia keluar dari kamar untuk menemui Seli.

Ketika mereka berdua telah berhadapan, Seli tertegun kaget.
"Juni.."
Dia melihat keadaan penampilan Juni yang tampak jelas terpuruk dalam kesedihan. Wajahnya pucat.

Bibir Juni mengulas senyum palsu.
"Mari masuk, kak."

Baru hendak berbalik, badan Juni ambruk di depan pintu. Untung saja badannya masih sempat tertahan oleh Seli.

"Juni..! Juni..!" Seli terkejut melihat mata Juni telah terpejam. Tidak sadarkan diri.





"Halo! Sel.. kamu dimana?"
Begitu suara perempuan dari seberang telpon.

Seli berjalan untuk mengambil kursi. "Maaf, aku belum kabarin kamu. Aku sekarang lagi di rumah sakit."

"Rumah sakit? Kamu kenapa?"

"Aku baik-baik aja. Temenku sakit."

Disampingnya, tubuh Juni berbaring di ranjang. Dan kedua matanya tampak bergerak perlahan, sampai menjadi terbuka sepenuhnya. Dia kembali sadar.

Mendengar Juni bersuara pun, Seli langsung menutup telponnya.
"Juni.."

Kepala Juni menengok ke penjuru ruang. Dimana di sekeliling mereka berdua terdapat beberapa pasien lain yang juga terbaring di ranjang rumah sakit.
"Kak Seli.. Kenapa aku disini?"
Bahkan suaranya terdengar sangat lemah.

"Tadi kamu pingsan. Kamu sakit, Juni.."

"Aku pingsan?"

"Iya.."

"Taemi mana?" tanyanya seperti tidak mengingat jika si kekasih di penjara.

Seli melongo.

"Aku nunggu dia buat makan siang." lanjut Juni, yang membuat Seli semakin prihatin.

Lalu wajahnya menunduk.
"Aku mengerti, Juni..
Kamu pasti sangat sedih. Taemi.. kemarin kan sudah dipindahkan ke penjara khusus."

Kini Juni terdiam. Kembali sadar, dan mengingat sepenuhnya apa tang telah terjadi. Pipinya telah kembali basah oleh air mata.
Tak ada yang dapat dia ucapkan selain suara isakan tangis.

Seli mendekapnya hati-hati untuk membantu Juni lebih tenang.
"Aku mengerti.."
Dia usap punggung bergetar itu.

Sedih..

Juni, "Hhiks. Taemi..."

"Gak apa-apa. Menangis saja, Juni.."






Esok hari.
Derap langkah kaki dari sepasang sepatu kerja mahal berwarna hitam itu cukup terdengar begitu jelas dalam langkah yang cukup cepat di lorong rumah sakit. Dia Arya.
Lalu dia sempat berhenti untuk mengecek sesuatu di ponselnya. Dia melihat kembali chat dari Seli yang memberi tau nya nomor kamar rawat dimana Juni berada. Dan kembali berjalan cepat.

Sebelumnya, dia sempat mendatangi rumah Taemi untuk mengunjungi Juni dan berniat makan malam bersama, tetapi dia harus mendapati rumah itu kosong, kemudian baru mendapat kabar dari Seli setelah dia menanyakan Juni pada gadis tomboy itu. Maka sekarang disinilah dia berada. Di kamar rawat inap nomor 46. Yang begitu sepi, sunyi. Memasukinya setelah mendapat izin dari seorang suster yang tampak telah selesai memberikan obat untuk Juni.
Iya, sekarang Juni telah dipindahkan ke kamar lain karena harus menjalani pengobatan rawat inap selama beberapa hari. Di kamar yang hanya diisi Juni sendiri itu, tampaklah Juni yang duduk menyandar sembari memandang jendela di sampingnya. Membuat Arya hanya bisa melihat setengah wajahnya dari sisi lain.
"Juni.."

Perlahan Juni menoleh, menampakkan wajah pucat, sendu, disertai sorot mata duka. Bibirnya tersenyum kosong.

"Mm.. kamu sudah makan?" tanya Arya.

Kepala Juni menunduk, lalu menatap kosong pada jendela yang belum tertutupi tirai, dengan latar langit gelap gulita.

Diam.

Arya ikut diam. Bersabar memperhatikan ibu hamil muda di depannya.

Lima belas menit berlalu.
Isakan tangis Juni mulai terdengar jelas.

Tergores hati Arya oleh mendengarnya.
"Juni.."

"Aku gak berguna!" lirih Juni.

"Jun-"

"Aku bahkan gak bisa bantu selamatkan Taemi. Aku gak sanggup membayangkan, bagaimana kita harus terpisah selama lima belas tahun. Aku gak berguna..! Bagaimana bisa aku biarkan Taemi dipenjara?!"
Seusai mengucapkan itu, Juni biarkan dirinya menangis tersedu-sedu.

"Enggak, Juni.. Enggak.."
Arya bawa Juni dalam dekapan. Membiarkan Juni menangis, hingga air mata itu membasahi baju kemeja nya.




Kembali ke masa sekarang.
Taemi menangis mengetahui Juni harus sampai sakit berhari-hari karena memikirkannya.
"Maaf.."
Hatinya semakin sakit kala memandang perut buncit Juni yang telah menginjak usia kandungan lima bulan.

"Gak.. Aku yang minta maaf karena belum bisa bantu kamu." tutur Juni sedih.

"Juni.."

"Iya.."

Senyum pahit terpatri di bibir Taemi.
"Kalau kamu sudah sangat lelah dan putus asa, kamu boleh memutuskan berhenti."

"Berhenti? Berhenti apa?"

"Mengakhiri kita. Demi kebaikan kamu dan anak kamu."

"Hah? Apa?"
Mata Juni membelalak kaget.
"Kamu becanda nya gak lucu!!"

Tetapi sebuah keseriusan tersirat di wajah kekasihnya.
Air mata Juni mengalir deras.









😗
Vote dulu 😗
Yuk, lanjut

[New] Persona Non Grata [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang