♡
Juni menghadap pada sang nenek yang masih terdiam. Mata belonya memelas permohonan.
"Nek.. Juni alim ka ditu.."
(Nek.. Juni gak mau kesana..)Hampir saja suara isak tangis Juni lolos dari mulut mungilnya.
Sekuat tenaga, ia menahan sambil terus menggengam erat tangan sang nenek, memohon bantuan.
Kemudian, dia melihat kepala sang nenek menggeleng tanpa suara sebagai jawaban.
Perlahan, tangan gemetar nenek melepas genggaman tangan cucunya. Menyebabkan kesedihan meledak dahsyat di hati Juni.
Hancur sudah hati nya..Mobil kijang tahun 2010 itu melaju hati-hati menyusuri jalan tanah kampung.
Didalamnya ada Juni. Duduk dibangku kedua, dan menyender pada kaca jendela sambil memeluk tas besarnya. Tak berhenti ia berusaha menahan isak tangis yang terus memaksa terjadi.Kenapa hidupnya harus se-menyedihkan ini..?
Terlahir tanpa seorang ayah yang mau bertanggung jawab. Ditinggal pergi sang ibu yang meregang nyawa setelah berhasil melahirkannya. Lalu tumbuh dan hidup sudah serba kekurangan, Juni harus dibenci keluarga ibunya yang terus menganggap bahwa dirinya merupakan penyebab sang ibu meninggal, hingga selalu dicerca sebagai pembawa sial. Tak pernah benar-benar dianggap sebagai permata, yang harus dikelilingi penuh cinta.
Hanya sang nenek lah yang tak pernah mencaci maki atau berani menyiksa dirinya, meski lebih banyak diam seolah cuek, yang membuat Juni masih dapat selalu bersyukur, masih ada anggota keluarga yang peduli.
Namun apa yang terjadi beberapa menit yang lalu di rumah.. membuat hatinya sangat hancur. Sang nenek tidak dapat menyelamatkannya dari ulah paman dan bibi yang telah menjual dirinya pada pak Munir sebagai pelunas hutang pasangan suami-istri itu.Kecewa, sedih, putus asa, membuat rasa sakit semakin menjadi-jadi.
Tak sengaja, mata basah Juni menangkap pemandangan diluar jendela, dimana dia melihat Nurul dan Saroh, yang juga memperhatikannya dengan heran. Bahkan dia melihat dua temannya itu sempat memanggil-manggil nya. Pasti mereka bertanya-tanya dan ingin tau.
"Nurul..! Saroh..!" teriakan Juni melengking bersama suara serak akibat menangis.
Hendak ingin meminta izin untuk dapat menemui kedua temannya, Juni harus mendapat tatapan galak dari bu Agnes sebagai jawaban menolak. Maka dia hanya dapat pasrah dan kembali duduk, lalu menyembunyikan wajahnya dibalik tas, untuk meloloskan tangis yang tak dapat lagi terus-terus an dia bendung.
Jakarta.
Beberapa burung mungil berkicau riang di pagar dan lantai balkon salahsatu kamar disebuah bangunan yang warna cat putih nya sudah tampak kusam. Ditambah suara bising dari hiruk pikuk kendaraan milik para manusia yang telah mulai beraktivitas di pukul enam pagi ini, membangunkan seorang Juni dari tidur gelisahnya. Diatas kasur single bad yang tanpa ranjang itu, Juni bangkit dengan lesu. Menelisik lagi seluruh penjuru ruang kamar berukuran 3x3 meter.
Ah.. bukan benar-benar sebuah kamar, tetapi lebih tepat nya bisa dibilang hampir seperti gudang. Karena terdapat cukup banyak beberapa barang tak terpakai beserta beberapa dus besar di sana.Merasa masih tak percaya dia telah menibggalkan kampung halamannya.
"Hisshh.."
Gadis remaja ini meringis akibat kepala terasa pusing dan sakit.
Bagaimana tidak? Semalam dia, bu Agnes, dan pak Munir, sampai di tempat ini sekitar pukul tiga pagi. Jadi dia hanya dapat tertidur dua jam.Brak.
Pintu terbuka. Pelakunya adalah bu Agnes dengan satu rokok diantara dua jarinya, dan seorang perempuan muda yang berpakaian kaos minim serta celana jeans ketat.
Kemudian Juni semakin berkeringat ketakutan saat melihat senyum seringai bu Agnes sambil menyesap rokok beraroma menyengat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[New] Persona Non Grata [End]
General FictionMereka bilang Ikuti kata hatimu Tapi hatiku telah menyeberangi samudera Dan aku takut Untuk tenggelam dalam ombak Ia akan berdiri kokoh di depanmu, & memegang wajahmu diantara telapak tangannya, lalu berkata, "Tidak apa-apa menjadi dirimu bersamaku...