Prolog

67 11 0
                                    

Sea berlari menerjang hujan sampai ke halte. Tas jinjing besar berwarna hitam menjadi peneduh kepala. Dia terengah.

"Tunggu! Pak sopir tunggu!"

Teriaknya tanpa berhenti berlari kencang sampai kesulitan bernapas.

"Argh!"

Akhirnya kaki kanan itu berhasil berpijak pada pinggiran pintu bus. Seketika bus melaju dengan kecepatan penuh.

"Uwoww!"

Kakinya hampir tergelincir jika saja tidak segera menutup pintu.

"Huft! Syukurlah masih sempat!"

Desahnya mengeluh berat.

Membersihkan tubuhnya yang basah kuyup dan dia tidak mau duduk bersama penumpang lain.

'Sialan! Pagi-pagi udah ujian aja! Hah kalau gini bakal gue ramal kena sial terus sampai sore,' keluhnya dalam hati.

Lalu baru ingat dengan tasnya.

"Hah?! Tas gue kebasahan! Hiyaaaa, dokumen-dokumen gueeee!"

Pekiknya menggemparkan seluruh penumpang bus. Bahkan si sopir sampai meliriknya dari kaca spion tengah.

Sampai di depan gedung menjulang tinggi yang megah Sea berlari lagi dan tempat pertama yang Sea tuju adalah kamar mandi.

"Eerrr, gue bakal kena omel ini! Tenang Sea, tenang! Paling enggak keringin badan dulu."

Ocehnya seperti orang gila di depan cermin dinding. Beruntung dalam lokernya ada pakaian ganti. Meskipun tidak sebagus yang dia pakai sekarang, setidaknya bisa dipakai di depan khalayak ramai.

Kemudian, hari sibuk bekerja pun dimulai. Benar saja ... dia kena marah dan disuruh mengganti semua dokumen itu.

Sea Hanabi, gadis kantoran berusia dua puluh dua tahun. Dia ada di distrik akuntansi. Bagaimana tidak dibilang distrik? Di sana penuh orang-orang pekerja ekstra dan sangat gila. Setiap hari kerjaan menumpuk membuat seluruh syaraf rasanya putus.

Termasuk Sea.

"Aaarrghhh, kenapa nggak selesai-selesai dari tadi?! Gue mau pulang!"

Kesalnya tak habis-habis memukuli keyboard dengan jari.

Mengetik sepuluh jari ternyata susah. Lebih baik dia gunakan sebelas jari saja. Antar jari telunjuk dengan kecepatan super cepat.

Hingga pukul sepuluh malam tiba, Sea masih berperang di sana.

'Gue harus selesai! Gue harus cepet selesai! Pokoknya harus cepet-cepet selesai sebelum ...,' pikirannya melayang-layang.

"Butuh bantuan? Sea-ku yang manis?"

'Kyaaaa, orangnya muncul, 'kan?! Ah, nyebelin kuadrat jadinya!' sambung membatin.

Rasanya teramat sedih sampai-sampai mengetatkan gigi.

Sial sekali hari ini.

Seorang laki-laki berkemeja putih dengan celana hitam pekat menuju ke meja Sea sambil membawa kaleng dingin berisi kopi hitam di tangan kanannya.

Dia tersenyum manis ke arah Sea.

'Jangan ke sini, jangan ke sini bego, sana pergi-pergi! Jangan ngerusak konsentrasi gue!'

Setidaknya Sea bisa mengucap jampi-jampi kan. Meskipun tidak akan berhasil.

Nyatanya laki-laki rekan sekantornya itu sudah duduk di meja tak berpenghuni di samping Sea.

"Ah, nyamuk datang!"

Balas Sea datar untung yang tadi. Dia masih saja fokus bekerja. Laki-laki itu justru tersenyum.

"Nggak sopan banget. Seganteng ini dibilang nyamuk."

Penuh percaya diri menyeka rambut ke belakang.

Romeo Zack, satu tahun di atas Sea. Dia senior yang jahil dan asik diajak bicara. Hobinya memang mengganggu dan Soo ikut campur, tapi dia karyawan yang hebat. Semua pekerjaan bisa dia atasi dengan mudah. Jika lawan cerdas cermat, Sea rasa akan kalah telak darinya.
Dalam artian ... Romeo adalah si otak jenius yang gila.

"Mau kopi?" tawarnya penuh senyum manis.

"Nggak, makasih!" tolak Sea mentah-mentah tanpa melirik sekalipun.

Lalu tiba-tiba Romeo mendrama.

"Ah, nggak ada lautan yang manis kayak lo. Semua lautan asin. Tapi .... ssshhh, rasanya asin itu nggak berarti setiap kali lihat mata lo yang manis!"

Romeo mengedipkan mata.

"Bego!"

Balas Sea sarkas tanpa berhenti mengetik.

Romeo meringis merasa tercubit. Dia meneguk kopi hitam itu sebelum memalingkan pandangan ke jendela.

"Hmm? Kayaknya bakalan hujan. Di luar mendung lagi."

'Hah?!' batin Sea merasa terancam.

Refleks menoleh sebentar ke jendela.

'Hiyaaa, beneran bakal ujan lagi! Gimana ini gue?! Gimana bisa pulang?!' hatinya memekik.

Dalam keadaan risau begitu masih sempat-sempatnya menyelesaikan pekerjaan. Romeo menoleh menyadari kegusaran Sea.

"Heh? Kenapa wajah lo jadi berubah begitu?"

Sea berhenti mengetik sejenak memandang Romeo, lalu balik lagi bekerja. Lantas Romeo tersentak.

"Jangan-jangan lo jatuh cinta sama gue? Grogi berdua sama gue di ruang kantor segede ini? Astaga!"

Romeo menutup mulutnya dengan satu tangan. Dia sok mendrama.

"Ck, nyamuk mana sih yang ngomong? Berisik banget! Dikira gue lagi main apa?" sewot Sea tak peduli.

'Berisik, berisik, berisiiiikkkk!' lanjut hatinya.

"Hmm? Gue bisa tebak lo takut hujan bakal beneran turun iya kan? Soalnya lo nggak bakal bisa pulang, manisku!"

Tiba-tiba mata Romeo menyipit.

Kata-kata itu membuat Sea tersetrum.
Kali ini benar-benar menghentikan pekerjaannya. Menatap Romeo kesal.

"Lo sendiri kenapa jam segini nggak pulang? Balik sana!" usir Sea ketus.

"Senior, panggil gue senior!"

Romeo mengetuk kepala Sea dengan gulungan kertas di meja yang dia duduki.

"Aduh!"

Sea mendesis sambil mengelus kepalanya.

"Gimana kalau pulang bareng? Daripada tidur di kantor? Apa mau kehujanan lagi kayak tadi pagi?"

Romeo menyeringai menyebalkan.

Sontak buku kuduk Sea berdiri bagai kesetrum sungguhan.

"Haaa! Gimana lo bisa tau?!" menunjuk Romeo tak sopan.

Namun, Romeo tersenyum manis menunjukkan deretan giginya.

"Gue kan tau segalanya."

Mengedipkan sebelah mata lagi membuat pipi sea merah padam. Bukan karena terkena kedipan maut itu, tapi karena malu.

Kenapa Romeo bisa tau kalau dia lari terbirit-birit kehujanan? Itu sangat amat teramat memalukan!

'Aaargh, gue pengen pukul dia sampe pingsan!'

Lebih baik meluapkan amarahnya ke Romeo daripada menanggung malu sendiri. Benar bukan? Hari ini benar-benar sial.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang