Chapter 38 "Maybe Kiss"

0 0 0
                                    

Badai telah benar-benar datang. Jalanan itu hampir tak terlihat tergerus hujan.

"Sea! Hentikan! Kita cari lagi nanti. Cepat kemari atau kau bisa sakit!"

Sean mencoba menarik Sea yang tidak mau berhenti hujan-hujanan demi mendapatkan Handphone-nya kembali.

Dia ada di dekat ruko kosong sekarang.

"Lepaskan aku, Sean! Aku harus menemukannya!"

Sea meronta.

"Dasar bodoh! Aku tidak mau memberimu susu stroberi lagi kalau kau tidak menurut. Ayo kita berteduh sampai badainya reda. Ini sudah hujan sangat lebat!"

Sean masih terus berusaha membujuk dan menariknya.

Angin bahkan membuat jalannya sendiri di langit dan di atas bumi. Ini mengerikan.

"Astaga, aku tidak pernah melihat badai langsung seperti ini. Kalau begini terus kita bisa mati."

Mendongak memandang sekeliling yang kelabu dan menakutkan. Sebagai model dia selalu dikurung dan dijaga dengan baik. Kalau setelah badai ini dia menjadi sakit itu akan sangat mempengaruhinya juga.

"Sea, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian dan aku tidak bisa bertahan dalam badai ini. Kalah kau kasihan padaku ayo berteduh sebentar. Aku seorang model yang harus menjaga stamina tubuhku. Kumohon mengertilah!"

Terpaksa Sean harus mengeluarkan jurus memelas menggunakan reputasinya agar Sea mau berhenti. Dan pada akhirnya itu berhasil.

Gadis itu menyerah diam setelah menyadari kehadiran Sean. Dia menoleh menatap Sean.

"Sean..." ucapnya lirih.

Seketika wajahnya sedih. Dia menangis bersama hujan.

Sean mendelik dan segera menarik Sea untuk berteduh di ruko itu.

"Aduh, kenapa jadi menangis? Aku tidak tau cara menangani gadis yang menangis. Ck, sekarang kita harus bagaimana? Kuharap manajerku tidak sedang sibuk sekarang. Aku akan memintanya menjemput kita."

Sean tak melepaskan tautan tangannya pada Sea sambil mencoba menghubungi sang manajer.

Tubuh mereka basah dan terasa menyakitkan. Hujan sederas dan segila ini di siang hari memang sangat menguras tenaga.

Sea berhenti menangis menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya.

Handphone, hujan, angin, mendung, dan Sean. Semuanya saling berputar mengelilinginya.

"Handphone ku," lirih Sea sedih.

"Halo? Apa kau mendengarku? Bisa jemput aku dan Sea di dekat lokasi projek? Kami terjebak badai di sini."

Sean berbicara pada manajernya lewat telepon dan itu tersambung.

"Ya, tapi kami tidak bisa pergi kemana-mana. Kau jemput kami jika situasi sudah mereda ya. Tolong!"

Sean menjawab pertanyaan dari sang manajer yang ada dia seberang sana. Sea hanya mengamatinya dalam diam.

"Apa? Tidak, kau jangan menerobos hujan. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu. Tunggu saja sampai badainya berhenti."

Sean sedikit menaikkan nada suaranya. Sea semakin terdiam sembari mengatur napas.

"Ya, ini sangat berbahaya. Baru kali ini kulihat badai sungguhan dan aku menerjangnya."

Sea bisa mendengar sedikit suara dari handphone yang ada di telinga Sean itu. Sepertinya sang manajer sedang berteriak. Atau mungkin memarahi Sean.

"Ya, ya, aku tau. Kalau begitu tolong selamatkan kami nanti ya. Terima kasih!"

Sean menutup teleponnya dan memasukkan handphone itu kembali ke saku celana.

"Sea, tidak apa-apa. Sebentar lagi kita aman. Manajerku akan menjemput kita kalau hujannya sudah sedikit reda. Sekarang masih sangat berbahaya untuk berkendara."

Dia menatap Sea mencoba menenangkan. Lalu memastikan jalan raya yang tidak ada satu pun kendaraan melintas.

Sea jadi semakin merasa bersalah. Dia tahu apa yang terjadi dan bagaimana jadinya sekarang.

Mendadak tangannya semakin rapat menggenggam tangan Sean.

"Apa semua ini karena aku?"

Sontak Sean melebarkan matanya.

"Sea?"

Gadis itu melihat betapa basahnya wajah Sean yang semakin tampan saja terkena hujan, tetapi bukan itu masalahnya. Semua ini memang gara-gara dia.

"Lalu, apa yang bisa kulakukan untuk menembusnya? Kau jadi kesusahan begini karena ku."

Melihat Sea yang benar-benar merasa bersalah, Sean jadi tak tega. Seharusnya gadis itu marah-marah atau cuek seperti biasanya.

"Emmm, maybe sebuah ciuman kecil di sini."

Terlintas ide jahil dengan mengetuk pipinya dua kali.

Sontak Sea melotot.

"Dasar bodoh! Kau tetap saja Sean yang gila!"

Melepaskan tautan tangannya pada Sean.

Sean tergelak ringan.

"Hahaha, terserah kau saja."

Keduanya tersenyum dan menikmati dinginnya di depan ruko kosong tak berpenghuni sambil menunggu waktu membawa badai ini pergi.

Sedangkan di cafe dekat gedung perusahaan tempat Sea bekerja, Rafael dan Olivia sedang berteduh di sana padahal bukan jadwal mereka untuk bekerja.

Keduanya saling menghangatkan diri di tempat karyawan berkumpul. Hanya ada mereka berdua di sana. Yang lain sibuk bekerja karena banyak pelanggan yang terjebak badai.

"Kenapa bisa seperti ini? Aku tidak melihat Sea mengeluarkan handphone-nya tadi. Dia sangat serius mendengarkan penjelasanku bersama yang lainnya?"

Rafael mondar-mandir di depan Olivia yang duduk tenang. Sampai akhirnya Olivia merasa risih. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Kau mencari ini?"

Suara gadis itu sangat datar.

Seketika langkah Rafael terhenti. Perlahan dia menoleh ke arah benda itu. Dia terbujur kaku tak percaya.

"Apa ini ... yang kalian cari?" lanjut Olivia sedatar mungkin.

"Handphone?"

Rafael kebingungan dan mendekati rekannya.

"Kenapa handphone itu ada di tanganmu?"

Tanyanya mencoba tetap santai. Padahal dalam hati sudah sangat berprasangka negatif.

Lalu, Olivia memalingkan lirikan matanya ke lantai.

"Aku mengambilnya."

Deg!

Rafael melotot dengan mulut terbuka. Pikiran negatifnya menjadi kenyataan.

"Olivia! Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau mengambil handphone Sea?!"

Dia mulai merasakan kegeraman yang sangat tinggi. Sekaligus rasa tidak percaya.

"Entahlah. Tanganku bergerak sendiri."

Refleks Rafael memegang kedua pundak Olivia. Gadis itu sampai menatapnya kembali.

"Jangan membodohiku, Olivia. Kau tau kami semua panik mencarinya. Dan kau juga tau bagaimana Sea sangat mencemaskannya. Kenapa kau lakukan ini?"

"Sea?"

Suara Olivia bergetar tanpa niat.

"Sejak gadis itu datang ke cafe, kau terus memperhatikannya, Rafael."

"Apa?"

"Apa istimewanya gadis keuangan itu sampai menarik perhatian kalian semua? Aku membencinya." terangnya dingin.

"O-Olivia... Apa yang kau ..."

Rafael tak kuasa menahan terkejutannya sampai mundur dan tangannya luruh dari pundak Olivia.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang