Chapter 31 "Tolong Aku"

1 0 0
                                    

Sea tertawa kaku memecah keheningan. Sean yang ada di depannya dan terhalang meja diam hanya memandang.

"Rasanya lucu ya, orang bermasalah sepertiku justru dekat dengan seorang model terkenal. Haha, bodoh sekali! Sekarang masalahku sudah kau ketahui, mau bagaimana lagi?"

Menggosok hidungnya yang gatal dan merah. Sepertinya Sea hampir menangis.

"Hutang-hutang itu bahkan lebih menjijikkan daripada mempermalukan diriku sendiri di depan rekan kerjaku. Maafkan aku, Sean. Sudah membuatmu melihat semua ini dariku. Tertawalah jika mau tertawa. Aku tidak akan merasa sakit ataupun menyalahkanmu."

Dia masih tertawa kecil. Perasannya pasti sangat pahit. Dan Sean ... tetap diam dan hening.

Melihat Sean yang hanya diam, Sea pun kembali bicara.

"Sekarang kau sudah tau bagaimana aku yang sebenarnya. Silahkan kalau mau menjauh, daripada bergaul denganku bisa merusak reputasimu. Aku tidak ingin melukai orang lain. Apalagi kau orang penting yang sangat berguna bagi projek ini. Perusahaan kami membutuhkanmu. Sebaiknya ... kau jangan dekat-dekat denganku."

Raut wajahnya menjadi redup.

"Jangan menyimpulkan seenaknya begitu!"

Sea sedikit tersentak. Lampu temaram dari teras menyalur ke dalam rumah membuat semua lampu mulai temaram. Tatapan Sean yang tajam semakin jelas karenanya.

"Aku tidak akan pergi meskipun kau mengusirku."

Sambung model itu serius.

Bagai dipukul ribuan gada, dada Sea berdentum.

"Ck, dasar tidak manis sama sekali. Aku sudah membelikanmu banyak susu stroberi, jadi minumlah semuanya biar semakin manis."

Menyodorkan susu-susu itu lagi.

"Eh?"

Sea berkedip.

"Astaga, kau tidak tau cara menikmati susu stroberi ya? Apa mau kutunjukkan caranya?"

Sea memundurkan kepalanya tak paham.

Sebuah susu kotak itu dibuka lagi dengan sedotan dan Sean mengetuknya dengan kepala Sea sampai Sea berkedip lagi sangat bodoh.

Sean pun tersenyum menelengkan wajahnya tepat di depan Sea.

"Setelah itu minum semuanya sampai habis. Manisnya susu bercampur stroberi itu akan mengalir dalam otakmu dan tenggorokanmu sampai memenuhi tubuhmu dengan kemanisan tiada akhir."

Sea menerima susu itu begitu saja karena dia membatu menatap Sean yang begitu dekat dengannya.

Kemudian Sean kembali ke sofa.

"Aku jamin kau akan dipenuhi gula sekarang. Tidak akan ada lagi yang namanya kesuraman di wajah dan otakmu. Begitulah caranya."

Dia tersenyum manis.

Sea tak begitu mendengarnya tapi dia meminum susu itu sampai habis. Sedangkan yang sebelumnya saja baru habis setengah.

Seketika matanya terbelalak. Memandang kotak susu itu di tangannya.

"Hmm, benar banget! Ini manis!"

Kepalanya yang pusing jadi dipenuhi rasa stroberi. Dia pun tanpa sadar tersenyum.

Sean ikut tersenyum tipis.

"Akhirnya kau bisa tersenyum."

"Apa?"

Sea menyadari bahwa dia sedang dipermainkan Sean. Dia menaruh susu kotak yang telah habis itu ke meja dengan kasar.

"Sean, kau mengerjaiku ya?" desisnya marah.

"Hahaha, hanya bercanda. Lagipula ... ekspresimu sudah lebih baik dari sebelumnya."

"Hah?"

"Kalau begitu ... bagaimana kalau aku membantumu? Menyelesaikan masalah ini harus ditemani oleh orang yang berpengalaman lebih tinggi darimu. Karena aku melihat kedua rentenir semalam sangat merendahkanmu. Entah kenapa aku jadi ingin meninjunya."

Mengepalkan tangan sangat keras.

Sea jadi takut sendiri.

"Eh, wow wow, kenapa jadi begini? Aku bisa mendengar suara tulangmu."

Benar saja, keoalan tangan Sean sampai berbunyi. Seketika Sean menghentikannya.

"Oh, benarkah? Haha, maaf, menakutimu ya?" cengir Sean bodoh.

Lalu Sea melemah hampir bersandar sofa.

"Kau ... mau membantuku?"

"Tentu saja!" Sean begitu semangat.

"Tapi kenapa? Aku sudah bilang tidak perlu. Aku tidak ingin kau terlibat dalam urusanku."

"Memangnya siapa yang mau mendengarkanmu?"

Sean menjulurkan lidahnya membuat Sea meringis kaku.

Dia menepuk dahinya.

"Hahh, aku tidak mau ini jadi panjang. Aku sudah terbiasa mengatasinya. Kau jangan ikut campur."

"Sea, aku bisa mendengar dari nadamu kalau kau berteriak minta tolong. Jujur saja dari hatimu. Aku ini temanmu kan? Aku bisa menolongmu kapan saja!" seru Sean tanpa berpikir.

Sea terbelalak.

"Teman?"

"Iya, kita teman!"

Sea tak percaya itu. Padahal sikapnya pada Sean sangat buruk.

Sean tersenyum lagi.

"Dalam pekerjaan ini ... hanya kau satu-satunya rekan yang bisa kuajak berteman. Bahkan darimu aku bisa mengenal Senior Romeo dan Zion. Haha, sangat menarik!"

"Be-benarkah? Padahal aku selalu mengejekmu gila."

Bantahan Sea membuat Sean tertawa.

"Di pekerjaanku sebelumnya ... aku tidak pernah memiliki teman."

Mendadak pandangan Sean meredup.

"Apa? Tidak mungkin!" Sea sangat terkejut.

"Itu benar, karena itu manajerku sampai senang padamu dan membiarkanku tinggal di sini daripada di tempat yang sudah dipersiapkan oleh perusahaanmu. Karena dia tau aku sangat nyaman denganmu."

Sea melongo.

"Tapi kenapa, Sean? Kau membuatku semakin terkejut saja!" gemasnya.

"Hahaha, entahlah! Mungkin karena kau cuek dan tidak tertarik pada pesonaku?"

Sean mengedipkan sebelah matanya.

Sea pun bergidik dan Sean tertawa lagi.

"Itu dia poin darimu! Aku menyukainya, haha!"

Sea yang terdiam pun mengerti apa yang Sean ingin katakan. Dia ikut tertawa.

"Hahaha, begitu ya. Alasan yang aneh sekali!"

Mereka membuat suasana baru lagi. Sampai akhirnya lampu temaram itu benar-benar padam. Tawa mereka pun terhenti.

"Heh?! Mati lampu?!"

Sean terkejut sampai hampir melompat dari sofa.

Mereka menatap langit-langit dan persekitaran yang gelap.

Sea pun meringis.

"Eee, hehe, aku lupa membayar listrik."

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang