Chapter 39 "Layu"

2 0 0
                                    

Selama tiga jam badai itu mengguyur separuh jalanan Jakarta. Kota itu menjadi hening dan dingin sesaat setelah hujan reda.

Tidak ada lagi angin yang membuat masalah dan keadaan semakin runyam. Juga sambaran petir yang kerap kali menyilaukan mata sampai menembus jantung.

"Sea, sudah reda."

Sean senang melihat kondisi di sekitarnya.

"Syukurlah!"

Sea tersenyum tipis tanda senang sekaligus tidak senang. Dia senang karena badai telah berlalu dan Sean bisa mendapati momen perdananya. Namun, hatinya tetap segelap mendung karena handphone-nya yang hilang.

Setelah menunggu beberapa waktu, manajer Sean datang menjemput mereka dengan mobil. Mereka pun pulang dengan cepat karena ... Sang manajer panik ingin segera membawa Sean ke dokter untuk diperiksa.

Sea berkedip polos saja setelah diturunkan di depan rumahnya dan melihat kepergian Sean yang dibawa paksa oleh sang manajer ke rumah sakit.

"Aaaaa, Sea, aku akan melihatmu nanti! Pastikan kau minum susu stroberi hangat!"

Model itu masih bisa berteriak di dalam mobil sebelum pergi jauh dari kawasan rumah Sea.

"Su-susu stroberi hangat?"

Sea berkedip-kedip polos lagi.

Bisa dia bayangkan betapa hebohnya perawatan yang Sean dapat di rumah sakit atas perintah sang manajer.

Nasib menjadi model, hidupnya sangat diperketat.

Sea melenggang gontai memasuki rumah. Perasannya sangat teramat sedih.

Pada malam harinya, rumah Sea sepi. Tidak ada lampu yang dinyalakan dan dia mengurung diri di kamar. Dia terkena flu ringan. Hanya ringan, karena sudah minum obat sangat banyak untuk mengantisipasi demam.

~~~

"Hai, Sea! Selamat pagi!"

Shindy pagi-pagi sudah menyeruput kopi sambil menghidupkan komputernya.

Sea yang baru datang langsung duduk di kursinya yang hangat.

"Hmm, pagi..." jawabnya lemas.

Shindy terkejut langsung menaruh kopinya di meja cepat. Beruntung tidak tumpah.

"Astaga, muka apa yang nempel di wajah lo Sea? Ayo ikut gue!"

Seketika Shindy menariknya kembali berdiri.

"Ha? Apa? Ke mana?"

Tanyanya lemas tak sanggup menyeimbangi langkah Shindy yang cepat.

Dan mereka ada di kamar mandi wanita sekarang. Berdiri di depan cermin dinding yang sangat besar.

"Tuh! Tuh lihat muka lo kayak lubang jalan yang berlumpur."

Shindy memutar kepala Sea sampai mengahadap ke cermin.

Sea sedikit terbelalak, tapi setelahnya dia kembali malas.

"Oh, gue kurang tidur."

Jawabnya santai membuat Shindy menganga.

Wajah pucat, bibir pucat, mata gelap dengan lingkaran hitam selebar bola tenis. Ini bukanlah Sea yang asli.

Shindy jadi meraup wajahnya kasar.

"Demi apa habis gajian malah begini? Padahal malas itu bagian gue, kenapa jadi lo?"

Sea mengendikkan bahu.

"Nggak tau."

"Terus, kenapa chat gue nggak lo bales semalam? Padahal kan gue pengen gibahin Korido Sean sama lo!"

Menunjuk hidung Sea yang sedikit merah karena sisa flu ringan semalam.

Sea berkedip.

"Handphone gue ilang," jawabnya lebih lemas.

"What?! Apa?! Ilang?! Kok bisa?!"

Suara Shindy melengking tinggi sampai Sea meringis dan beberapa karyawan wanita masuk pun menutup telinganya. Tapi Shindy tak menghiraukannya.

"Aduh, berisiknya!"

Sea tak menggubris. Lebih baik dia kembali saja ke bangkunya.

"Eh, tunggu tunggu bentar. Kenapa bisa hilang sih? Gue jadi ikutan sedih jadinya."

Shindy memelas menahan langkah Sea.

"Kalau gitu bantuin cari."

Sea lanjut meninggalkan kamar mandi wanita.

Shindy tak habis pikir melihat keadaan temannya seperti itu.

"Bener-bener ... duplikat gue kalo lagi males. Kasihan Sea."

Menggeleng sambil berdecak pelan.

Bahkan ketika sedang bekerja pun otak Sea seolah memudar tidak ada di kepalanya. Semuanya penuh dengan asumsi yang berkecamuk.

Waktu istirahat pun berlangsung. Shindy menemaninya berdesakan di cafetaria. Tidak biasanya Sea akan duduk dan memesan makanan di cafetaria jika tempatnya penuh.

"Aduh, gue nggak tahan lagi sama lo. Ngomong kek, jangan diem aja."

Shindy gemas sendiri, tapi rautnya ikut sedih.

Sea pun menurut untuk memakan makanannya.

"Eeerrr, oke deh ntar gue bantu nyariin. Tapi lo jangan kayak muka panda melongo begini lagi! Gue nggak betah!"

Frustasinya keluar.

Kemudian ketika pulang kerja, seperti biasa dia menunggu di halte.

Pandangannya kosong. Menatap jalanan yang berdebu karena sore ini tidak panas dan tidak mendung. Hanya banyak kendaraan yang memadati jalanan.

Tiba-tiba seseorang mengejarnya dari kejauhan sambil memanggil namanya.

"Sea! Sea, bisakah ikut denganku sebentar? Sea!"

Itu suara laki-laki. Yang membuat Sea terkejut adalah dia mengenalnya.

'Siapa?'

Sea langsung menoleh ke sumber suara. Matanya melebar ketika mendapati Rafael sedang berlari ke arahnya.

Sontak dia berdiri menyambut laki-laki itu.

"Rafael? Ada apa?" bingung.

'Dia mencariku di jam segini?'

Rafael tiba di depannya dengan senyum di tengah-tengah helaan napasnya.

"Sea!"

Panggilnya membuat Sea semakin tak mengerti.

"Ikutlah denganku!"

Kedua alis Sea terangkat.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang