Chapter 11 "Double or Triple?"

1 1 0
                                    

Sea mendorong Sean yang terus tertawa ringan sampai ke lobi. Gerimis terdengar menyayat hati jauh begitu dingin. Menjadi melodi di antara mereka.

"Duh! Lo ngapain sih ke sini? Nggak usah sok kenal sama gue deh!"

Kesal Sea dengan nada kecil. Tapi raut wajahnya terlihat jelas.

"Haha, habisnya lampu rumah lo belum nyala, jadi gue pikir lo lembur lagi. Pasti bakal butuh gula kayak kemaren lagi kan? Gue udah baik hati bawain gula buat lo."

Penuh binar tanpa dosa menjinjing tas kresek berisi banyak susu stroberi itu di depan muka Sea.

"Ih, segala bawa susu stroberi segala. Gue nggak lembur kali."

Berdecak dan menurunkan tangan Sean pelan.

"Oh, nggak mau ya? Emm, padahal gue pikir lo suka stroberi."

Sean menatap langit-langit penuh berpikir.

"Argh, bukan itu masalahnya!"

Sea mengerang menjambak rambutnya lagi. Dia menghela napas sangat panjang nan terasa berat. Dia tahu pasti Sean sengaja menjahilinya. Tapi kenapa harus dia yang diganggu?

"Hoi, apa lo nggak punya mainan lain selain gangguin gue?"

Akhirnya kata-kata di pikiran itu muncul. Dengan mata memicing sedalam laser.

Sean meringis dan menggeleng penuh gaya yang rupawan.

"Emm, nggak ada. Sampai projek ini di mulai. Lagian gue udah hubungi manajer gue dan dia ngebiarin gue tinggal di sini. Sebentar lagi juga dia bakal sampe. Mungkin besok atau lusa." terang Sean santai.

Sudah seperti dekat sangat lama saja. Sea tidak bisa membiarkan dirinya terus-terusan diganggu seperti ini. Dia jadi tidak bisa bergerak bebas. Dia bukan baby sitter yang harus merawat model besar sambil bekerja menghitung uang.

"Huft! Apa boleh buat? Ayo pulang. Gue pusing denger ocehan lo yang nggak guna."

Sea berjalan dahulu memijit pelipis sambil menggeleng pelan.

Namun kali ini dia tidak akan menunggu bus di halte. Ada taksi yang dipesan Sean tadi sedang menunggu di depan.

Jadi apa boleh buat? Sekalian saja menumpang. Hitung-hitung tidak masalah buat membayar perbuatan semena-mena model itu yang datang tak diundang malam-malam begini.

Lalu, susu stroberi itu? Tentu saja masih dalam rengkuhan Sean. Bukannya semakin dingin justru semakin hangat.
Seberapa besar lengan kokoh model itu menjaganya?

Ketika sampai di rumah, Sea langsung mengusir Sean untuk pergi ke rumah kontrakannya sendiri. Namun, seperti yang dia duga. Sean kembali bikin pusing.

"Tolong terima susu stroberi ini dengan sepenuh hati!"

"Tidak, terima kasih!"

Dengan wajah lempeng Sea menolak dan satu tangan terangkat.

Mereka ada di teras Sea yang sedikit basah.

"Heh? Sayang banget!" Sean sok sedih.

"Bodo amat!"

Daripada meladeni Sean lebih baik dia masuk saja ke rumah. Pintu juga sudah dia buka dari tadi.

"Kalau gitu biarkan gue masuk!"

Sean mau nyelonong gitu aja. Tapi Sea segera menutup pintunya dan Sean terkunci di luar.

"Ha? Sea, buka pintunya! Padahal gue cuma pengen minum susunya sama-sama."

Dengan tak tahu malunya Sean menggedor-gedor pintu sambil memasang raut sedih.

Jawaban Sea? Mati lampu.

Artinya tidak ada kesempatan bagi Sean masuk meskipun dalam mimpi.

Rumah senyap tanpa suara itu menghentikan pergerakan Sean. Laki-laki itu merubah ekspresinya menjadi tenang. Dia tersenyum simpul menatap pintu kayu itu yang aromanya menyeruak karena hujan.

"Sea Hanabi. Menarik sekali. Gimana bisa nggak tersenyum sama gue yang setampan ini?"

Sean menyurai rambutnya ke belakang.

"Padahal lautan cewek yang ngantri di luaran sana," sambung seseorang dari belakang Sean begitu saja.

Sean berbalik terkejut. Berkedip memandang orang yang memasang ekspresi dingin padanya itu.

"Oh? Senior? Sudah selesai lembur ya? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Sean basa-basi.

Benar, itu Romeo. Dengan keadaan basah dia rela menerjang hujan demi menghampiri Sea yang pulang malam-malam. Tidak, lebih tepatnya penasaran karena gadis itu bersama Sean yang tiba-tiba muncul dan berkata mereka tetangga.

Romeo mendekat dan mengambil kantung kresek itu tiba-tiba. Sean terkejut untuk ke dua kali.

"Gue cuma pengen susu stroberinya. Terima kasih."

Romeo langsung berbalik begitu saja.

"Heh? Itu punya Sea! Kalau Senior mau beli sendiri!"

Sean mencoba merebut kantung kresek itu tetapi Romeo selalu menjauhkannya. Mereka seperti anak-anak yang saling berebut mainan, dengan ekspresi yang berbeda.

"Ini di luar jam kerja. Jadi nggak perlu formal," kata Romeo yang masih datar.

"Gitu? Oke, kalau gitu gue harus manggil lo apa?"

Wajah sok sedih Sean tadi hilang seketika berganti senyum yang sulit terbaca.

"Romeo Zack, panggil aja Romeo. Gue ketua dari divisi keuangan di projek ini."

"Wahh, salam kenal ya. Ngomong-ngomong rumah jelek itu kontrakanku. Aku tetangga kan sama Sea. Silahkan mampir kapan saja atau sekarang juga boleh. Ngomong-ngomong, Sea loh yang nyariin kontrakan itu. Sama kakek-kakek bersarung yang biasa dia sebut pak RT. Hmm, gue lumayan beruntung sebenarnya waktu itu. Bisa langsung dapat tempat tinggal padahal di tengah malam. Sshhh, harusnya gue lebih berterima kasih sama Sea."

Sean mengangguk-angguk bercerita ria.

Romeo melongo tak percaya dengannya sampai mendelik berpikir Sean aneh.

"Gue nggak nanya. Nggak usah ngoceh panjang lebar."

Romeo menggeleng heran.

"Heh? Bukannya itu yang mau lo denger sampe rela hujan-hujanan ke sini?" Sean berkedip polos.

Seketika napas Romeo tercekat. Macet di tenggorokan. Wajahnya merah padam dan suhunya tak bisa ditentukan.

"E-enggak lah! Udah, gue mau pulang. Lo juga balik, jangan ganggu Sea!"

"Hmm, manisnya! Harusnya lo khawatirkan keadaan lo sendiri, Romeo. Gimana ekspresi Sea kalau tau lo demam besok?"

Kata-kata itu begitu menusuk jantung Romeo. Apa model itu bisa membaca gerak-gerik tubuh seseorang atau hanya asal menebak begitu saja, intinya yang diucapkan Sean benar.

Romeo merasa tubuhnya sedikit panas. Dingin juga mulai masuk ke tubuhnya. Napas pun semakin menggigil nan berat.
Artinya dia tidak enak badan.

Semua ini gara-gara pekerjaan sekaligus mandi hujan.

Hanya decakan halus dan lambaian sebelah tangan dari Romeo sebagai jawaban atas perhatian Sean. Tentu saja, model itu juga kembali ke rumah kontrakannya.

Tanpa mereka sadari, Sea masih ada di ruang tamu. Dia mendengar semua itu dan terdiam. Dia bungkam seribu bahasa.

Hanya naluri yang bermain dan bersinggungan dengan benak. Memikirkan betapa bodohnya seniornya itu datang hanya untuk mengambil susu stroberi yang seharusnya diberikan untuknya. Itu membuat Sea tersenyum.

Tapi kenapa Romeo bertindak segila itu? Dia bisa demam sungguhan.

Mungkin saja Romeo takut susu stroberi itu mubazir karena tidak dia ambil, pikirnya. Setelah mereka pergi, hanya gemericik hujan yang mulai kembali menjadi gerimis yang menemaninya.

Pendengaran itu selalu terjaga sampai ke mata terlelap di atas ranjang yang sedikit hangat.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang