Chapter 40 "Konflik Antar Ruas"

0 0 0
                                    

Senja di cafe memang menghangatkan ruangan. Suasananya selalu berhasil memikat sukma. Namun, tujuan Sea ke sini bukan untuk bersantai menikmati nuansa hangat ini, melainkan merebut handphone yang hilang kemarin.

Rafael bilang itu ada di tangan Olivia. Sepanjang jalan kemari dia terus meminta maaf bahkan hingga sekarang.

Tepat di depan Sea dia membungkuk dan memaksa Olivia untuk melakukan hal yang sama yaitu meminta maaf sedalam mungkin.

Handphone itu kini sudah ada di tangan Sea. Gadis itu melongo saja bahkan merasa tidak enak telah membuat mereka membungkuk seperti itu. Rafael terlalu baik menurut Sea.

"Eee, kumohon sudahlah, jangan minta maaf lagi. Tolong angkat kepala kalian. Aku jadi tidak enak."

Ucapan itu sudah berapa kali Sea katakan, tapi tetap saja Rafael merasa bersalah. Padahal bukan dia pelakunya.

"Aku minta maaf dari lubuk hatiku yang paling dalam, Sea. Maafkan Olivia yang sudah keterlaluan."

Rafael sangat-sangat pucat. Mungkinkah dia menahan malu?

"Ti-tidak apa-apa. Aku senang ternyata handphone ku tidak hilang. Syukurlah, aku sangat lega, haha."
tawanya kaku.

Lalu Rafael kembali menegakkan badannya.

"Sangat memalukan bagiku sebagai rekan barumu Sea. Tolong maafkan kami."

Sea tersenyum kaku.

'Haduh, bagaimana ini ya?'

"Sudahlah, tidak masalah. Kupikir handphone ku sudah tiada karena terjangan badai kemarin. Kemarin itu sangat mengerikan bukan? Aku sampai tidak bisa tidur semalam." cengirnya bodoh.

Hatinya kini sudah sedikit lega.

Rafael membalas senyuman itu agak ragu.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau menjahiliku, Olivia? Aku bisa menebaknya jika kau tidak mau bicara."

Rafael tersentak, tapi Olivia hanya diam memandangnya. Melihat ekspresi Rafael Sea jadi tersenyum manis.

"Kuharap kalian tidak meremehkanku karena aku selalu bersikap bodoh."

Rafael mendelik.

"Tidak, tentu saja tidak. Olivia!"

Dia segera menegur Olivia tapi Olivia melengos.

'Berarti benar,' batin Sea.

"Bisakah kau meninggalkan kami sendirian, Rafael? Aku mohon."

Mendadak nada bicaranya menjadi serius.

Rafael diam sebentar dengan tatapan tajam yang tak pernah Sea lihat sebelumnya.

"Baiklah!"

Akhirnya dia meninggalkan Sea dan Olivia sendirian. Kedua gadis itu saling melempar sesuatu dari matanya.

"Katakan Olivia, apa yang membuatmu membenciku?"

Sea memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan dia bersilang tangan di dada.

Olivia menyeringai tipis, hal itu sudah diduga Sea sebelumnya. Gadis lapangan sekaligus pemanggang roti itu akan mengeluarkan sisi lainnya ketika mereka tinggal berdua.

"Oh? Kau lumayan juga."

"Ck, cepat katakan! Sebelum aku muak."

Sea pun tak mau kalah. Dia sudah geram dengan Olivia.

"Tidak ada, hanya bermain-main denganmu. Lain kali jangan buat Rafael berpaling dariku ataupun merebut semua perhatian orang-orang penting seolah kau pemegang tahta tertinggi. Itu membuatku masuk angin."

"Menjijikkan!"

Tegas Sea tepat setelah Olivia selesai bicara. Selang satu detik pun tidak.

Olivia terkejut.

"Bodoh sekali kau berpikiran semacam itu. Aku ... hanya melakukan apa yang karyawan biasa lakukan. Bekerja sama, berteman baik, dan saling peduli satu sama lain. Bukan meraih satu atau lebih peranan penting seperti permainan kanak-kanak. Itu dua hal yang berbeda."

Olivia tercengang.

Sea semakin menajamkan matanya.

"Jadi jangan main-main lagi denganku. Bekerjalah dengan serius! Mohon kerjasamanya! Permisi!"

Sea langsung berbalik melangkahkan kakinya.

"Oh, sampaikan salam terima kasihku pada Rafael. Dia orang yang baik."

Sea melambaikan tangannya tanpa berbalik ataupun berhenti hingga dia keluar dari cafe itu.

Olivia mengejang kaku dengan wajah panas dingin nan pucat pasi. Tanpa mereka sadari, Rafael diam mendengarkan di balik pintu. Dia ... diam.

~~~

"Astaga, gue udah hampir gila mikirin handphone ilang, taunya diambil sama Olivia. Tuh cewek gila banget apa ya? Gue pikir lebih dewasa kayak wajah dinginnya, tapi nyatanya kelakuan kayak bocah. Mungkin ini cuma handphone yang bisa dibeli kapan aja buat dia, tapi nggak buat gue. Butuh waktu berbulan-bulan buat dapetin handphone ini."

Kenangan terlintas di setiap perjalanannya menuju halte lagi. Tentu saja, matahari sebentar lagi akan terbenam. Senja benar-benar mulai gelap dari ujung barat.

Dadanya masih berdebar karena hal tadi. Memarahi Olivia sekarang tidak ada gunanya, dia harus fokus pada pekerjaan dan hutang-hutang yang sudah ditagih.

"Huft, sabar-sabar. Cobaan emang silih berganti."

Napasnya luruh ketika tiba di halte. Bahkan wajahnya terasa panas padahal tersapu angin dingin.

'Hahh, nggak ada yang berubah. Hidup gue tetep aja sial.'

Dia mengipasi wajahnya dengan tangan.

Setelah semua yang terjadi, begitu banyak kejadian yang dia alami, namun hidupnya sama saja. Sejak awal dia memang sudah sial.

Kemudian, bus pun datang tapi tidak berhenti di halte. Sea langsung berdiri mengejarnya.

"Loh, loh, loh, eh pak sopir! Tunggu! Gue mau naik! Berhenti, hei!"

Sampai melompat-lompat melambaikan tangan berharap sang sopir melihatnya dari spion.

"Hahh, apa gue sekecil semut apa ya sampe nggak kelihatan? Gue duduk diem di halte tadi!"

Geramnya karena bus itu terus melaju begitu cepat. Akhirnya pundaknya luruh lagi sembari menghela napas pasrah.

"Nasib, nasib!"

Suaranya sedikit serak.

Terpaksa harus putar balik kembali menunggu di halte. Berharap ada bus selanjutnya yang baik hati.

Tiba-tiba sebuah motor datang dari depan dengan sangat pelan. Semua serba hitam dan sepertinya Sea tahu motor itu.

Dia berhenti dan memicing memastikan kalau itu benar.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang