Chapter 5 "Senior yang Paling Perhatian"

3 1 0
                                    

Hingga pukul enam petang ini, hujan belum berhenti. Gemericiknya mengundang dingin yang tak henti-henti.

'Ah... Gue pengen pulang,' batin Sea.

Dia sudah lelah mengingat apa yang menjadi tujuan hidupnya.

Berkedip sesaat, mendongak menatap langit hitam yang tak membuat hatinya jadi senang.

Tiba-tiba sebuah bayangan dari sosok tinggi tegap hadir menutupi dirinya.

"Mau?"

Disertai suara berat nan menenangkan itu.

Sea mendongak dengan kedua alis terangkat.

"Eh?"

Sontak melotot selebar mungkin.

"Romeo?!"

Kenapa ada laki-laki itu lagi? Tidak, tolong jangan berdebat bodoh lagi dengannya. Sea sudah melupakannya dan pikirannya tenang sekarang. Dia tidak mau diganggu. Tapi laki-laki itu menawarkan sekaleng kopi hitam yang selalu menjadi kesukaannya dengan senyuman manis.

Sea melengos menatap ke arah lain. Pipinya bersemu dingin.

"Lo lagi?! Enggak, nggak usah makasih," katanya biasa saja.

Tanpa permisi Romeo duduk di sebelahnya membuat sea bergeser sedikit. Itu mengundang tawa kecil dari Romeo.

"Hahh, siapa sangka bakal hujan sederes ini? Ganggu banget apa malah berkah?"

Romeo bertanya pada langit. Dia membuka kaleng itu dengan telunjuknya.

Sea menoleh.

"Kenapa bilang begitu?"

Romeo kembali menatapnya.

"Ganggu karena nggak bisa pulang, berkah karena ketemu lo yang murung di sini."

Menyusuri Sea dengan matanya dari atas ke bawah membuat Sea mendelik dan mendorong tasnya menjadi penengah antara mereka.

"Siapa yang murung? Jangan lihat wajah gue!"

"Lihat? Lo salah tingkah sendiri."

Romeo menunjuk Sea dan Sea tergagap karenanya.

"Ih, ngomong apa sih lo? Sana pergi jangan ganggu gue!" usir Sea tak sungguh-sungguh.

Dia tidak marah. Matanya justru bergerak-gerak.

'Emangnya gue salting?' pikirnya bertanya pada diri sendiri.

Dia terkesiap mendengar helaan napas panjang Romeo. Menoleh menatap Romeo yang tengah meneguk kopinya.

"Jarang banget liat Sea begini. Apa terjadi sesuatu?" tanyanya pelan dengan senyuman hangat saat menoleh.

Jantung Sea bagai terhenti seketika.

'Heh? Dia bertingkah kayak senior beneran sekarang. Ada apa sama dia?' pikir Sea melembut.

Sorotan matanya pun ikut halus. Lantas Sea terkekeh sambil menatap jalan raya.

"Haha, nggak ada apa-apa. Makasih ya ... Senior!" jahilnya sambil tersenyum miring dan melirik Romeo.

Romeo mendelik.

"Eh? Apa barusan? Coba sekali lagi!"

Kagetnya tak karuan.

"Nggak mau!"

Sea melengos acuh. Dalam hati menahan senyum.

"Ck, sekali lagi coba! Panggil gue lagi!" rayu Romeo masih kaget.

"Romeo bego!"

Kata Sea begitu santainya.

Romeo menganga.

"Argh, bukan begitu! Yang barusan!" kesalnya geram.

"Nggak ada siaran ulang!" Sea menggeleng.

Romeo pun menaruh kopi dan tangannya meremas udara gemas.

"Aduh, sekali doang, Sea. Ayo sekali lagi! Manggil gue apa tadi?!"

Sea menahan tawa sampai matanya menyipit. Tak berani melirik Romeo yang wajahnya kegirangan.

"Nggak mau! Nggak ada siaran ulang!"

"Ayolah Sea!"

"Enggak!"

Terus saja begitu tidak ada ujungnya. Padahal hanya dipanggil kakak saja Romeo sudah senang.

Apa istimewanya dengan panggilan itu? Sea tak mengerti, tapi itu menyenangkan.

Setidaknya ... Romeo yang membuatnya bingung dan Romeo juga yang mengobatinya.

Diam-diam melirik Romeo yang terus merayunya untuk memanggilnya senior lagi, tapi tak digubrisnya.

'Gue tau, orang ini nyoba ngasih perhatian sebagai rekan kerja yang baik. Hahaha, anehnya dari sekian banyak orang kenapa selalu dia yang gue temui?'

Mereka kembali ke jalan masing-masing setelah hujan benar-benar berhenti tepatnya pukul tujuh malam.

Kini Sea bisa tenang di rumah.

"Ahh, enaknya rebahan habis mandi. Besok siap cari cuan lagi!"

Berguling-guling di ranjang. Suasana hatinya sudah berubah. Untuk mengingat tujuannya sekarang sudah tak sakit di benak lagi.

Terlentang menatap langit-langit seolah menantang segalanya, Sea mencoba menggapai lampu yang menyala tepat di atasnya.

"Suatu hari nanti ... semua hutang ini akan lunas! Dengan keringat gue sendiri! Ayah, Ibu, kalian tenang aja. Sea bakalan menampar orang-orang yang mulutnya kotor penuh bau selokan itu!"

Seringaian tajam di bibirnya andai saja benar-benar setajam pedang, mungkin bisa menusuk lampu itu dari kejauhan sampai pecah.

Semangat, ambisi, dan kelelahan yang selalu silih berganti terpancar di sela-sela tawanya itu adalah hasil dari masa lalu yang bahkan tidak berasal dari dirinya sendiri.

Sebelum Sea mengingatnya lebih jauh, rasa kantuk menyerang. Itu merenggut kesadarannya begitu cepat dan gadis itu terkulai lemas dalam tidurnya.

~~~

Pagi sekali cuaca sudah tak bersahabat. Mendung tak karuan menurunkan hujan deras tak tahu kapan mulainya.

Sea tak bisa berangkat kerja dan dia mogok di trotoar sambil memakai payung. Meskipun menerobos hujan, kekesalannya tak bisa dibendung.

"Argh! Kenapa musim hujan mesti datang sekarang?!!!"

Jeritnya berhenti di tengah-tengah trotoar seperti raksasa.

Tak heran juga banyak pejalan kaki yang lari menerobos hujan menggunakan payung sama seperti dirinya karena ini masih pagi. Waktunya orang berangkat beraktivitas dan alam malah menambah pusing.

"Huft! Udah jam berapa sekarang? Gawat! Gue hampir telat! Aaaaaa bus mana bus tungguin gueeee!"

Teriaknya lagi setelah syok melihat jam digital di layar handphonenya. Sebentar lagi memang waktu masuk jam kerja.

Kesabaran yang benar-benar diuji.

Sesampainya di kantor, Sea terlambat.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang