Chapter 42 "Undangan Bermain Game"

2 0 0
                                    

Semakin lama semakin berat menarik napas. Suhu hangat ini mengalahkan dinginnya ruangan. Sampai ketika...

"Du-duh apa-apaan sih? Gue bukan anak kecil!"

Sea mendorong tangan Romeo jauh darinya.

Romeo syok terdiam.

"Ah, maaf-maaf. Emm, kalau gitu gue pulang dulu. Sampai jumpa besok!"

Romeo beranjak dari sofa dan mengambil jasnya. Namun ketika tiba di depan pintu, Sea menahannya.

"Tunggu!"

Romeo langsung berbalik.

"Eee, ma-mau main game minggu depan?"

Kening Romeo terangkat mendengar tawarannya.

"Se-Sea?"

Romeo hendak mendekat kembali, tapi Sea mendorongnya dan segera menutup pintu.

"Kalau nggak mau main nggak usah datang. Sana buruan pergi!"

"Ehh?!"

Romeo ingin menggapai pintu itu lagi, tapi naas sudah tertutup. Sea mengusirnya. Lalu dia tersenyum.

"Manisnya!"

Kata itu tertinggal sebagai kata perpisahan. Selanjutnya deru motor meninggalkan kawasan rumah yang terdengar.

Sea kesulitan bernapas di balik pintu. Dia bersandar dan tiba-tiba mendengar detak jantungnya sendiri yang begitu cepat. Wajahnya semakin memerah.

'Si-sialan! Gue ngundang dia barusan!'

Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa. Pekerjaan yang menumpuk dan masalah internal yang semakin mengganggu.

Namun, hubungannya dengan tim projek di bagian lapangan tidak penting lagi baginya. Anggap saja yang lalu biarlah berlalu.

Sekarang waktunya menghadapi masa depan. Dan pekerjaan ini berlangsung selama satu pekan penuh.

"Duh, duit udah habis aja. Padahal baru gajian minggu lalu. Kenapa hidup boros banget deh?"

Itu bukan Sea, melainkan Shindy. Gadis pemalas itu kembali malas di pukul dua belas siang.

Sekarang hari Sabtu, pekerjaan mereka hanya berlangsung separuh hari.

Sedangkan Sea sedang berkemas hendak pulang. Dia menoleh ke kubikel Shindy di mana gadis itu menyandarkan kepalanya di meja komputer.

"Haha, buruan bangun, tukang tidur. Kalau nggak mau di kantor sendirian."

Bukan hanya Sea saja yang berkemas, tapi semua karyawan di bagian keuangan. Mereka bisa pulang bersama.

Tapi Shindy tak kunjung mengangkat kepala. Dia menutup mata.

"Aduh, nasib gue kurang baik kayaknya. Sea, boleh main nggak hari ini? Gue boring nih!" rengeknya mendongak menatap Sea.

"Ha? Main ke mana?"

"Ke rumah lo lah. Boleh ya..." pintanya lagi.

Sontak Sea panas dingin.

"Eee, lain kali aja deh ya. Gue ... ada urusan soalnya, hehe."

'Gawat! Kalau Shindy ke rumah gue gimana jadinya ntar? Kan Romeo mau main game di rumah gue,' batinnya.

Kepala Shindy terangkat.

"Hah? Urusan? Lo ada urusan apaan? Biasanya juga sepi-sepi aja hidup lo."

Sea meringis kaku.

'Lo aja yang nggak tau urusan gue, bego.'

"Jangan bilang lo nggak mau gue main ke rumah lo ya?" Shindy memicing.

Sontak Sea tercekat.

"Heh, kok ngomong gitu? Bukan gitu kali! Gue beneran ada urusan."

Menggeleng kuat sambil menyilangkan tangan.

"Masa?" Shindy semakin curiga.

"Kalau gitu urusan apa coba? Kalau lo nggak mau ngasih tau gue bakal tetep datang ke rumah lo!" ancamnya membuat Sea mendelik.

Akhirnya Sea menepuk dahi.

"Gue mau balik ke desa," ujarnya lemas.

Dalam hati pun berkata ...

'Apa sebaiknya gue ke desa beneran ya? Buat bayar hutang.'

Setidaknya jika dia benar-benar pergi ke desa ucapannya ini tidaklah bohong.

"Ke desa? Oh, bilang dong kalau mau pulang kampung. Hahh, yaudah deh. Terpaksa gue lepasin lo kali ini. Gue harus gimana sekarang?"

Desahnya kembali luruh di meja.

Sea menghembuskan napas lega.

'Huft, selamat!'

"Pulang aja sana. Yang lain udah pada balik. Mau di sini sendirian?"

Sea tersenyum sambil mengakhiri acara berkemasnya.

"Hmm, tulang dan otot gue terlalu males buat gerak sekarang. Gue tak berdaya."

Sea menggeleng pasrah.

"Terserah lo aja lah. Gue balik duluan ya. Bye-bye!"

"Bye!"

Lambaian tangan mereka saling bertemu di udara.

Dan kesempatan ini pun datang.

"Sea! Tunggu sebentar!"

Di depan gedung kantornya dia bertemu Zion yang ada di depan cafe tempat mereka pernah makan bersama.

Seketika Sea terbelalak.

"Zion?!"

Zion pun menghampirinya. Tanpa ekspresi. Dia memegang tas kerja, sepertinya juga ingin pulang.

"Soal handphone waktu itu, gue ikut lega."

Sea berharap Zion tersenyum saat mengatakannya. Memang benar pasal itu dia dan Sean sudah mengetahuinya.

Sedikit curang jika tidak memberitahu mereka yang sebenarnya padahal mereka telah membantunya untuk mencari handphone itu.

"Ahaha, makasih banyak. Sekali lagi maaf udah merepotkan. Oh ya, apa Senior mau pulang?"

Zion berkedip ringan.

"Hmm."

'Eh, eh? Cuma hmm?' batin Sea.

Dia bingung harus bereaksi bagaimana.

"Tapi ... mana motornya?"

Celingukan mencari motor besar yang biasa digunakan Zion.

"Sedang dipakai Rafael. Dia ada urusan sebentar bersama Olivia," jawabnya sederhana.

"Oh, begitu." Sea mengangguk-angguk.

"Sea, Romeo bilang dia mau main game atas undanganmu. Apa itu benar?"

Tercekat sudah napas Sea di tenggorokan.

"Ha-hah? Romeo bilang begitu?" tanyanya sambil meringis.

Zion pun mengangguk.

'Emang dasar senior nggak tau diri! Gue cuma ngajak dia doang kenapa malah ngomongin ke Zion?! Gue bisa bayangin ekspresinya lagi pamer. Eeeerr emang senior paling nyebelin sejagad raya!'

Geramnya mati-matian pada Romeo sekaligus menahan malu.

"Ahahaha, iya sih." menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Zion pun masih dengan wajah datarnya.

"Boleh ikut bergabung?"

"Hehh?!" Sea tersentak.

"Hmm, waktu itu lo nawarin main game ke kita. Rasanya ... nggak masalah kalau main game sekarang. Berhubung lagi bosan dan banyak waktu luang."

Zion nampak memikirkannya matang-matang seolah membaca strategi saja.

'Gimana, gimana, gimana iniiiii?!'

Lain dengan Sea yang sudah berkeringat dingin dan pucat pasi.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang