Chapter 41 "Nuansa Redup"

0 0 0
                                    

Sontak Sea terbelalak.

"Romeo?!"

Ternyata benar dugaannya. Itu adalah Romeo. Dan orang perfect itu menghentikan motornya tepat di depannya.

Sea meringis tercekat ketika Romeo melepas helmnya.

"Haduh, panas banget. Hai, Lautanku yang manis! Butuh tumpangan?"

Seketika telapak tangan Sea memukul udara di depan wajah Romeo.

"Tidak, terima kasih. Dan juga jangan panggil gue lautan manis lagi."

Mukanya datar tanpa ampun.

Romeo tak menghiraukannya, dia malah sibuk mengelus dagu sambil berpikir.

"Di jam segini harusnya lo udah pulang. Ini hampir malam. Kenapa masih di sini?"

Sea mendesah panjang.

"Lo nggak liat gue ketinggalan bus tadi? Emang sopirnya kelewatan kenceng kalau nyetir mah. Jadi ketinggalan kan gue."

Kesalnya menunjuk ke arah di mana bus itu menghilang.

Romeo tersenyum aneh sembari menelengkan kepalanya sedikit.

"Bukan itu maksudnya."

Nada bicaranya sudah mulai seperti drama. Dada Sea berdetak cepat seketika.

'Hei, hei, hei, ada apa ini?'

"Kenapa lo masih ada di sini, Sea? Seharusnya udah pulang sama bus sebelumnya di jam empat sore."

Lanjut Romeo membuat Sea mendelik. Alisnya berkedut tipis.

'Sial! Gue lupa dia orangnya pintar. Jelas aja penasaran kenapa gue masih di sini padahal hampir jam enam.'

"Eee, itu..."

Sea menilik sekeliling mencari alasan.
Romeo semakin menajamkan pandangannya menelisik ke netra Sea. Rasanya tidak nyaman sekali seperti diinterogasi.

Akhirnya Sea menyerah tak tahan dipandang seperti itu.

"Gue ngambil handphone di tangan Olivia."

Sambil melirik ruko-ruko pinggir trotoar.

"Apa?!"

Sontak Romeo kaget. Sea memejamkan mata karena ikut kaget. Lalu dia mendengkus panjang.

'Hahh, udah gue duga.'

Dengan terpaksa dia harus pulang dengan Romeo daripada harus menunggu sampai malam di halte.

Biasanya di pertukaran hari seperti ini jarang ada bus lewat. Kemungkinan bus yang meninggalkannya tadi adalah bus terakhir yang beroperasi di siang hari.

Dengan begini, Romeo bisa singgah di rumah Sea dan memaksanya untuk bercerita.

Bagaimana bisa handphone yang hilang itu ada di tangan Olivia? Kurang lebih begitu cara Romeo bertanya dengan nada rendah tetapi penuh tuntutan memaksa.

"Ya, ya, minum dulu kopi kaleng yang lo bawa dari tadi. Udah nggak dingin lagi itu."

Sea duduk malas sambil mengoperasikan handphone-nya, memeriksa apakah ada yang rusak atau tidak.

Sedangkan Romeo duduk di depannya dengan terhalang meja.

Jas hitamnya sudah lepas entah ke mana dan kedua lengan kemeja itu tergulung sampai siku, khas dirinya seperti biasanya.

"Jelaskan ... Sea!"

Titah Romeo mutlak. Pandangannya menghunus tajam. Kepalanya bertumpu di kedua tangan yang menyatu.

Sea mendesah pasrah lagi. Namun, dia tahu Romeo tidak bermaksud buruk. Dia hanya terlalu mengkhawatirkan hal itu.

Kemudian, sea menceritakan semuanya.

Brakk!

Sea terjingkat sampai meloncat dari sofa. Padahal Romeo memukul meja pelan. Hanya saja tatapannya tidak terima.

"Olivia... Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu. Ini nggak bisa dimaafkan."

Suara Romeo terdengar sedikit mendesis.

Sea langsung panik.

"Aaa, nggak apa-apa. Udahlah lagian masalahnya udah selesai. Tadi juga udah gue tegur. Kalau diterusin yang ada bakalan buruk buat kerjaan kita nanti. Tenang Romeo, tenang."

Sea sampai pindah ke sisi Romeo agar laki-laki itu tidak meledak. Pasalnya wajahnya sudah memerah menahan geram.

Sea jadi ketar-ketir.

"Ahaha, handphone gue juga nggak apa-apa kok. Nih lihat, masih utuh kan?"

Bahkan memperlihatkan handphone-nya agar Romeo bisa tenang.

Romeo hanya meliriknya cukup lama. Sea jadi ikut khawatir sendiri.

'Gi-gimana ini? Dia kayak raksasa yang mau ngamuk ngeluarin kekuatan terpendamnya,' batinnya memekik.

"Huft!"

Jauh dari dugaannya, Romeo justru melenguh menunduk.

Sea pun ikut tenang.

"Eh?"

"Ada aja masalah internal. Tapi setidaknya handphone lo nggak kenapa-napa. Gue ikut seneng itu nggak jadi hilang. Pasti sangat berharga kan, Sea?"

Lirih Romeo dengan senyuman yang menenangkan.

Sontak insting Sea tergerak. Alisnya terangkat dengan sendirinya.

"Romeo?"

Lampu sudah menyala mengusir kegelapan malam yang hening. Namun, tetap saja nuansa ini redup membuka hati siapapun yang memasuki ruangan ini.

Tangan Romeo mengusap kepala Sea dengan senyuman hangat yang masih tersungging di wajahnya.

"Kerja bagus, Sea Hanabi. Gadis baik!"

Senyum Romeo semakin menjadi.

Semu merah muncul di kedua pipi Sea dan kehangatan tangan besar Romeo mengalir dari ujung kepala hingga kaki. Bagai darah yang berdesir deras mengaliri seluruh tubuh.

Dia membatu dalam kondisi tersebut.

'Heh? Apa ... ini?'

Bola matanya tercermin pantulan senyum Romeo. Akibatnya bisa menantang maut karena jantungnya diam-diam tak bisa berpacu normal.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang