Chapter 37 "Badai"

1 0 0
                                    

"Kita harus cepat sebelum hujan."

Suara mendung yang angin yang berkecamuk menggema di telinga. Geloranya sampai memporak-porandakan jalanan. Lebih tepatnya orang-orang dan para pengendara bingung dan menambah kecepatan lajunya.

"Sial! Kenapa dari panas terik bisa semendung ini?"

Sea berdecak berlari bersama Romeo yang membawanya dengan hati-hati menyeberangi jalan raya.

Bahkan suara Romeo juga bergema di telinganya.

"Cepat Sea!"

Semua es kelapa tadi saling bergelantungan di kedua tangan mereka. Sehingga berat bertambah dingin ketika angin meniupnya.

Keduanya tiba di lokasi dan menyerahkan semua es kelapa muda itu pada para pekerja dan membaginya dengan mereka.

Napas mereka terengah.

"Astaga, kenapa jadi semendung ini?"

Romeo menatap langit-langit. Yang lain mengikutinya refleks.

Zion pun memperhatikan sekeliling.

"Lebih baik kita hentikan dulu renovasinya. Sepertinya akan ada badai."

Mendadak orang penting itu berbicara demikian. Semua orang menjadikannya pusat perhatian.

"Apa? Bagaimana bisa tau?"

Sean bertanya.

"Udara sudah berubah, awan berputar seiring pergerakan angin membawa hawa hujan yang semakin dekat. Bahkan dedaunan berterbangan. Sangat berbahaya jika melanjutkan pekerjaan." jawab Zion final tanpa ada bantahan.

Dia menekannya tanpa ekspresi, sama ketika sedang bekerja dan memberi perintah.

Sea berkacak pinggang melihat segala arah.

"Benar saja, semua tempat sudah hampir tutup. Anginnya juga semakin kuat. Kita juga harus segera pergi dari sini."

Mereka setuju dan mulai membereskan apa yang sudah mereka mulai. Kemudian saling berpencar meninggalkan tempat itu.

"Astaga, kenapa aku selalu sial begini?"

Sea tak bisa menemukan handphone-nya. Handphone-nya hilang.

Seluruh saku dan tas hitam yang dia bawa sudah diperiksa, bahkan menelusuri gedung itu juga sudah, tapi tetap tidak ditemukan.

"Apa? Terakhir kali kau menaruhnya di mana?"

Sekarang dirinya yang panik sedang dikerumuni Romeo, Sean, Zion, bahkan Rafael pun ikut mencari.

"Aku ingat membawanya di sakuku tadi. Sekarang tidak ada. Haduh, bagaimana ini?"

Dia panik kalang kabut.

Sedangkan di sudut sana, ada Olivia yang memperhatikannya sejak tadi. Keempat laki-laki itu ikut membantu dan memasang wajah panik sama seperti Sea.

Itulah pertanyaannya.

"Sea ... Hanabi."

Lidah Olivia tergerak. Pandangan lurus menghunus tajam ke arah gadis keuangan itu.

'Kenapa semua orang tergerak padanya?'

Itu kekuatan yang mengerikan.

Kepanikan itu berlangsung sampai air sudah menetes dari awan hitam yang gelap. Gemuruh juga mulai terdengar. Semakin lama semakin berdesir darah di tubuh Sea. Alirannya tak bisa tenang.

"Aku harus bagaimana ini? Di akan handphone ku? Aku tidak akan bisa membelinya lagi untuk seumur hidup! Astaga!"

Pekiknya menjadi sambil berlarian sana-sini mencari sampai gusar.

Sean merasa kasihan sampai bingung dan berhenti mencari.

"Te-tenang dulu Sea. Tenangkan dirimu. Bagaimana kalau kita cari di jalan raya? Siapa tau terjatuh di sana."

Seketika Sea berhenti berlarian.

"Benar juga! Trotoar!"

Seketika menuju jalan raya mencari lagi sendirian.

Romeo yang hendak mengejarnya ditahan Sean.

"Senior, sebaiknya kau pulang saja bersama Zion. Biar aku yang mengurus Sea."

"Tidak bisa! Aku harus ..."

"Dengarkan aku dulu, Senior!"

Sebelum protesan Romeo selesai Sean memotongnya.

"Aku akan membawa Sea pulang dengan aman. Kalian harus segera pergi dari sini sebelum badai datang. Aku tidak mau melihatmu sakit lagi dan Sea jadi kasihan karenamu. Apalagi kalau Zion sampai menderita, bagaimana jarinya dengan projek kalian? Aku tidak masalah bagiku karena aku hanyalah model yang bertugas di bagian paling akhir. Tapi kalian tim inti. Jadi kumohon mengertilah!"

Seketika Romeo terdiam dengan napas terengah. Mereka saling bertatapan dalam.

"Serahkan Sea padaku."

Romeo pun mendesah pasrah.

"Hanya untuk kali ini saja, Korido Sean!"

Sean mengangguk-angguk dan mengejar Sea.

Zion menepuk pundak Romeo.

"Ayo kita pergi."

Romeo setuju bergabung dengannya dan mereka meninggalkan tempat itu bersama.

"Olivia, ayo kita juga segera pergi dari sini."

Rafael mendekati Olivia yang hanya diam berdiri dengan panik.

"Olivia, kau tidak mendengarku?"

Rafael bingung gadis itu tak bergerak. Tiba-tiba melintas kan pandangannya kepada Rafael.

"Kau baru ingat padaku?"

Rafael memudarkan kerutan di dahinya.

"Apa?"

"Sea, Sea, dan Sea. Kalian semua memuakkan."

Lalu dengan santainya Olivia pergi meninggalkan Rafael sendirian padahal dia hanya berjalan kaki.

Rafael meluruh tidak menduganya.

"Olivia?"

Keadaan semakin mencekam saja. Sea masih tak kunjung menemukan handphone-nya. Padahal sudah dibantu Sean untuk menelpon nomor Sea agar handphone Sea berbunyi, tetapi tetap tidak berjumpa.

Sea sudah hampir menangis. Hujan berubah menjadi gerimis. Tubuhnya basah kuyup tak mau berhenti mencari.

Sean yang melihatnya sampai sedih. Sebegitu berharga kah benda itu bagi Sea? Padahal itu hanya handphone yang bisa dibeli kapan saja.

Melihat kegigihan Sea demi handphone-nya, Sean semakin tidak ingin meninggalkan gadis itu mencari sendirian di tengah guyuran hujan.

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang