Chapter 9 "Power"

1 1 0
                                    

Sadar dengan apa yang dia katakan, Sea langsung tergagap.

"Ma-maksudnya gue nungguin lo soalnya ada yang mau gue omongin. Lo nggak bisa dihubungin dari tadi," ucapnya cepat.

Romeo berkedip sebelum tersenyum santai.

"Oh, maaf, hp gue mati dari pagi."

Senyum itu semakin manis saja kalau dia menahan lelah sambil menunjukkan handphonenya yang mati.

Sea mengangguk-angguk paham. Padahal dalam hati berdecak merutuki dirinya sendiri.

"Ck, dasar ... bikin orang panik aja."

Kerutan tipis di keningnya agak sedikit longgar seolah sesuatu yang membebaninya hilang.

"Hmm? Mengkhawatirkanku?"

Santai Romeo memasukkan handphone ke saku.

Wajah Sea panas merona.

"Si-siapa juga yang khawatir sama lo? Gue cuma ...," perkataannya terpotong.

Romeo menatap langit sebentar. Dahinya berkerut.

"Sshhh, bicarakan di dalam aja. Hujannya makin lama makin deres. Ayo!"

Romeo menarik tangan Sea tanpa basa-basi. Kaki mereka menginjak kantor bagian dalam secara bersamaan.

"Eh, eh, tunggu!"

Mulut berkata tidak, tapi dalam hati ada sesuatu yang tidak bisa diartikan. Mata Sea melebar menatap Romeo dari belakang.

Detak jantung di dada itu, sepertinya sedikit tidak normal. Seperti kereta api yang melaju membalap angin malam.

'Eh? Kenapa ... rasanya gue lega?'

Terkadang naluri tidak bisa dimengerti oleh diri sendiri. Kenapa? Sea bingung dengan kebisuan ini.

Ruang keuangan sangat hening hanya ada mereka berdua. Romeo menaruh tasnya di meja dan mulai menyalakan komputer. Bahkan sempat menggulung kedua lengan kemejanya yang setengah basah.

Sea duduk mengambil kursi karyawan di depannya. Tidak begitu dekat, ada meja komputer yang menghalangi mereka.

"Nah! Silahkan! Mau ngomong apa?"

Bunyi tulang bertabrakan terdengar karena Romeo merenggang jari-jemarinya.

Apa itu barusan? Rasa lelah dari tulang-tulang yang menjerit? Sea memandangnya pilu.

"Romeo, apa nggak istirahat bentaran? Lagian baju lo basah."

"Ha? Yang benar aja, Sea. Kerjaan belum selesai kenapa harus istirahat? Kalo nggak buru-buru dipegang, bisa keteteran besok."

Laki-laki itu berdeham dan tertawa pelan setelah menatapnya singkat, tapi sirat di wajah itu tidak demikian.

Sea tahu Romeo itu kelelahan, tapi setidaknya jangan sok kuat di depannya seperti sekarang. Rasanya Sea ingin melempar Romeo sampai ke rumahnya. Untuk mengatakan pesan dari Zion saja rasanya berhenti di tenggorokan. Sulit sekali karena kasihan.

Lagipula dari mana semangat itu berasal? Sea tak percaya.

"Huft, lo selalu aja nurutin perintah bos. Sekali-kali nolak kek biar dibagi sama yang lain. Bukan dipegang sendiri. Terus harus nanggung semuanya. Sekarang liat, cuma lo kan yang lembur di sini. Sampe kehujanan segala lagi."

Dia mendengus panjang.

Romeo melotot mendengarnya. Lalu terukirlah senyuman smirk yang menggelikan.

"Oh? Jadi beneran khawatir sama gue? Manisnya!"

Senyumnya memang jahil tapi sayangnya manis. Itukah gula alami dari seorang pangeran? Sea ingin muntah.

"Be-bego! Siapa juga yang khawatir? Gue cuma nasehatin kali!"

Protesnya dengan wajah merah seperti gunung berapi mau meledak. Malah dihadiahi tawa dari Romeo yang renyah.

'Sialan!!! Tau begini gue nggak bakal ngoceh panjang lebar!' batin Sea segeram-geramnya.

Hatinya panas.

"Jadi, mau ngomong apa? Cepetan, soalnya ini harus buru-buru diberesin," kata Romeo tanpa menghentikan tarian jarinya di keyboard.

Akhirnya Sea mendesah pasrah.

'Sabar-sabar ... punya senior yang otaknya setengah ya begini,' keluhnya lagi dalam hati.

"Pesan dari Zion. Setelah ini langsung diadakan pertemuan antar tim masing-masing divisi karena rapat udah dimulai. Dia nyariin lo dari tadi," terangnya malas.

"Oh, rapat ya? Oke! Kita adakan secepatnya. Makasih, ya, rela nungguin cuma buat nyampein pesan ini. Yahh, sebenernya penting, tapi handphone mati. Mau gimana lagi?"

Kekehnya pelan.

Sea menganga kecil.

'Astaga orang ini!'

"Lo nggak kerepotan gitu? Diterima gitu aja? Lagian itu ekspresi nggak terlalu santai? Romeo...," herannya.

Romeo meliriknya sekilas.

"Hmm? Enggak kok."

Mendadak Romeo mengeluarkan nada beratnya. Benar, suara itu bertambah semakin berat. Kenapa? Membuat dahi Sea menjadi berkerut dua kali lipat saja. Lalu kekhawatiran di dada itu juga bertambah.

Kenapa Romeo tidak mau bilang kalau dia butuh waktu istirahat? Dia terlalu lelah, Sea tahu itu. Nada berat itu membuat kepala Sea mendelik mundur.

'Fix! Dia bukan manusia,' batinnya.

Kenapa Romeo bisa seperti itu? Apa ada yang dia kejar? Atau karena dia hanya karyawan baik hati yang tidak bisa menolak permintaan?

Masa bodoh!

Sea tidak peduli dengan itu. Lagipula siapa dia harus peduli dengan Romeo? Memikirkannya saja sudah membuatnya khawatir berlebihan.

"Ah, bentar-bentar! Kenapa Zion seolah-olah pegang semua instruksi kepala tim antar divisi? Emangnya dia kebagian posisi penting di projek ini?"

Mengetuk dagu mendongak memandang langit-langit.

"Sea, kayaknya lo harus lebih fokus lagi buat kerja. Soalnya lo ketinggalan banyak informasi. Zion penanggung jawab inti buat projek ini."

"HAH?! APA LO BILANG?"

Bukan hanya dapat informasi yang membuatnya di skakmat, tapi teguran!

Teriakan sekeras halilintar Sea menyambar menusuk telinga Romeo. Laki-laki itu mengernyit sambil terus mengetik.

"Astaga, astaga, apa yang lo bilang?! Penanggung jawab inti?!"

Teriaknya untuk kedua kali.

Dengan kakunya menatap kubikel-kubikel kerja yang kosong penuh komputer mati.

Di mana dia sekarang? Dunia seakan menjauh darinya. Berapa banyak informasi lagi yang tidak diketahui Sea?!

The Story of SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang