Astrophile 9: Akibat Resep Sendiri
Banyak hal konyol yang aku lakukan entah dengan sengaja maupun tidak. Banyak pemahaman baru yang dengan mudahnya kutelan mentah-mentah. Namun, dia hadir. Menyederhanakan segala kerumitan yang aku rasakan.
Senyum manis dengan gigi yang berjejer rapi selalu membuatku tenang ketika menatapnya. Dia memiliki caranya sendiri untuk menenangkanku. Dia unik, dia istimewa, dan dia hanya satu.
****
Setelah beres dengan rutinitasnya yaitu mandi, berganti pakaian, dan membereskan barang-barang di kamarnya yang berantakan. Silla kini tengah berkutat di dapur dengan raut wajah bingungnya. Di depannya terpampang kulkas yang dia biarkan terbuka begitu saja. Tidak banyak bahan masakan atau bahkan makanan yang ada di sana. Dia hanya melihatnya begitu saja tanpa ada minat untuk mengambil salah satu di antaranya.
Beberapa kali perutnya yang kosong itu berbunyi nyaring meminta dimasuki asupan makanan. Dia menggaruk pipinya yang tak gatal, bingung. "Masak apaan ya? Gua bisa masak aja nggak. Ayam? Takut amat goreng ayam. Terong? Diapain dah. Atau kangkung? Ribet amat."
Dia kelimpungan sendiri. Pasalnya memang dia tidak terbiasa untuk masak. Lalu dengan pasrah dia menutup pintu kulkas itu dengan kasar. Wajahnya kembali melongok untuk melihat rak yang tak jauh darinya. "Makan mie? Kemarin baru mie tapi, masa mie lagi. Tapi mie pake telor enak tuh kayaknya, ditambah cabe rawit, bon cabe, terus kerupuk. Aduh, nikmat pisan."
Sempat terbesit sedikit niat untuk memasak mie instan yang dia stok di rumahnya, namun baru kemarin perutnya diberi makanan mie instan. Bukannya tidak sehat jika dikonsumsi secara rutin? Silla kembali dilema.
Kemudian matanya beralih menatap rice cooker dengan tombol orange yang menyala. Tangannya terulur membuka tutup itu dan langsung dihadiahi asap mengepul yang panas. Masih ada setengah nasi putih yang tersisa. "Apa bikin nasi goreng aja ya? Sayang juga sih nasinya, takut basi. Bikin aja kali ya? Sekalian bereksperimen gitu."
Kemudian hasil akhirnya adalah memasak nasi goreng. Meski sempat ragu dan tak percaya diri, namun Silla tak akan membiarkan nasinya itu basi dan terbuang sia-sia. Dengan sigapnya, kedua tangan itu menari mengambil peralatan yang hendak dia pakai. Dari mulai memindahkan nasinya ke piring, mengambil percabean dan perbawangan, dan beberapa bumbu dapur lainnya.
Tangan kanannya kini tengah menggenggam pisau berukuran sedang yang dia gunakan untuk memotong. Sedang tangan kirinya masih bingung memilih bahan apa yang pertama akan dia pakai. "Ini pake bawang putih gak sih? Pake aja kali ya. Eh, bukannya bumbu nasgor bisa diulek juga ya? Pake kemiri sama pala gitu gak sih? Lah anjir, yang iya-iya aja deh."
Dasar, ini akibatnya jika terlalu sering membeli makan di luar. Tidak memiliki bakat untuk memasak. Bahkan ilmu dasarnya saja tidak tahu. Tidak baik dicontoh. "Oke, cabe merah, bawang merah, bawang putih, sama tomat? Lah anjir masa iya tomat, dikira mau numis kali ya. Enggak, tomat gak usah, cuma pake bawang sama cabe aja, Sil. Lo gitu aja gak tau."
Dasar, dia berujar pada dirinya sendiri seolah dia tengah berbicara dengan orang lain. Meski dengan ragu-ragu, dia mulai menaruh bahan yang dipakainya itu di atas talenan untuk dipotong. Terdapat dua cabe merah keriting, satu bawang merah berukuran besar, dan dua bawang putih berukuran sedang. Dia mengirisnya perlahan dan hati-hati.
"Potong-potong bahannya, pelan dan hati-hati. Setelah selesai memotong cabai, kita lanjut ke bawang putih dulu ya pemirsa. Pertama, letakan bawang putih di bagian talenan yang kosong, lalu siapkan pisau. Dalam hitungan ketiga, kita geprek bawang tersebut menggunakan pisau. Siap pemirsa? Oke, 1, 2, dan ... 3!"
Brak!
Alih-alih arahannya itu berhasil, justru ada tragedi yang tak diinginkan terjadi. Saat tangannya dengan semangat memukul pisau tersebut, talenan yang terdapat cabai yang sudah dia potong-potong sebelumnya, kini berjatuhan ke bawah karena talenan tersebut berbalik. Hanya sebagian talenan yang dia taruh di meja, setengah bagiannya lagi dia biarkan tanpa tatakan. Alhasil, begitulah yang terjadi.
"ASTAGFIRULLAH!"
Silla sontak langsung berjongkok untuk memunguti bahan masakannya yang berjatuhan. Namun sebelum itu, dia menaruh pisaunya lebih dulu. Tangannya mengambil satu per satu cabai yang sudah dia potong kecil-kecil. "Aduh anjir, masak nasgor doang juga ada aja dramanya."
Setelah selesai, dia kembali menegakkan badannya. Menaruh cabai dan tatakannya seperti semula. Namun kali ini, dia membenarkan tata letaknya. "Mohon maaf pemirsa, tadi ada tragedi yang tak terduga. Oke, fokus masak lagi ya. Kita potong biasa aja bawang putihnya, jangan digeprek dulu takutnya tragedi tadi keulang lagi."
Tangan Silla terulur mengambil bawang putih baru yang masih utuh. Dia memotongnya dengan tipis-tipis. Beberapa kali dia berdecih sebal kala ada sebagian bawangnya yang menempel di pisau. Setelah selesai dengan perbumbuan, Silla kini beralih pada kompor yang akan dia gunakan untuk memasak.
Dia nyalakan pematik kompornya, menuangkan sedikit minyak kemasan dengan perlahan. "Nah, kita tunggu minyaknya dulu sampai panas, ya. Selagi nunggu, jangan lupa siapkan kecap, kaldu ayam, garam, serta micin."
Silla mengambil beberapa bahan yang tadi dia sebutkan. Menaruhnya dekat dengan kompor agar lebih mudah ketika hendak digunakan. Tangannya kini beralih mengambil talenan yang terdapat cabai dan perbawangan siap pakai. "Sekarang kita tumis cabe bawangnya, ya. Hati-hati karena minyaknya nyiprat-nyiprat gitu."
Asap samar mengepul dari wajan yang dia pakai. Tangannya menari di atas wajan dengan spatula kayu yang mulai usang warnanya. Bak koki yang sudah handal saja memang, padahal beberapa waktu yang lalu dia telah melakukan kesalahan.
"Setelah bau harum tercium di bumbu yang kita tumis tadi, langkah selanjutnya kita masukan dua bungkus kecap manis, ya." Tangannya menyobek bungkus kecap itu dengan kasar hingga tumpahan kecapnya mengenai tangan dan bajunya. Setelah itu, dia tuangkan kecap tersebut tanpa sisa.
"Nah, kalau kecapnya udah kalian masukin, langkah selanjutnya kita aduk-aduk agar bumbu dan kecapnya menyatu, ya. Setelah itu kita ... ngapain ya? Eits, pake air gak sih? Terus baru tambah garem, dan perkawanannya. Nah terakhir nasi deh. Iya gak sih?" Bahkan si pembuat nasi gorengnya saja tidak yakin dengan resep yang dia buat sendiri.
Silla menggaruk pipinya bingung. Harusnya dia lebih sering melihat tutorial memasak di abang penjual nasi goreng ketika dia membeli makan. Dasar memang, sedari dulu tidak ada kemauan untuk belajar memasak maka inilah akibatnya. "Oke pemirsa, langkah selanjutnya kita tambahkan sedikit air ya agar nantinya bumbu tersebut lebih meresap ke nasi. Sedikit air saja, jangan banyak-banyak."
Dengan percaya dirinya, Silla menuangkan sedikit air ke dalam wajan yang sudah ada tumisan bumbu dan kecapnya itu. Dia meyakini jika resep yang dia buat sendiri itu memang benar. Namun, sejak kapan membuat nasi goreng memakai bahan baku ... air?
Setelah resep racikannya itu tercampur rata lengkap dengan perbumbuan dapur lainnya, sampai di tahap akhir yaitu bagian memasukkan nasi sebagai bahan utamanya. Tanpa basa-basi lagi, semua bahan itu tercampur rata. Tangan Silla dengan lihainya terus menari di atas wajan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
Tak perlu menunggu waktu lama, nasi goreng buatannya itu sudah cukup matang untuk disajikan. Tangannya mematikan pematik kompor dengan hati-hati. Selesai dengan itu, dia beralih mengambil piring putih berukuran sedang untuk dijadikan wadah masakannya.
Dengan tahan bertahap, dia menyendok nasi goreng itu dengan semangat. Sangat percaya diri sekali jika resepnya kali ini berhasil. "Dan, tadaaa!! Sudah siap deh nasi goreng buatan Silla. Tapi kok lembek gitu ya teksturnya? Gak kayak kebanyakan orang bikin, ini agak berair."
Bukankah jawabannya sudah jelas mengapa nasi goreng buatannya itu berbeda dengan yang lain? Yah karena dia menambahkan air di resepnya itu, dasar. "Ini kayaknya bumbunya tuh meresap banget deh ke nasinya, jadi dia teksturnya kayak gini. Okei gak apa-apa."
Apa mungkin ini definisi sesungguhnya dari nasi telah menjadi bubur? Yah anggap saja begitu. Namun perhatian, sepertinya resep ini tidak untuk ditiru, oke? Mohon kalian memasak hal yang wajar-wajar saja. Jangan seperti Silla, aneh.
****
Astrophile,
Adipati Chandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romance[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...