Astrophile 4: Jarak Karena Ulah

44 6 24
                                    

Astrophile 4: Jarak Karena Ulah

Aku tidak mengerti, mengapa penolakan darimu tidak cukup mampu membuatku tersadar. Bukankah seharusnya aku menepi karena itu adalah keharusan? Aku tidak tahu mengapa kamu sangat ingin selalu aku harapkan. Hal yang amat aku semogakan meski sebenarnya tahu, tidak akan ada yang berubah nantinya.

Mengungkapkan perasaan yang bertepuk sebelah tangan itu memalukan. Menahan rasa kecewa dan senyum dusta yang mesti aku perlihatkan di depanmu, semata agar aku tidak terlalu terlihat menyedihkan di hadapanmu.

****

Pikiran Silla masih saja berkelana pada kejadian tadi siang dengan Chandra.  Setelah kejadian itu, sampai tepat malam harinya, Silla tidak mendapatkan kabar dari Chandra. Biasanya setelah pulang sekolah, keduanya akan saling bertukar pesan hingga malam. Membahas obrolan acak yang masuk untuk keduanya. Terlebih karena Silla adalah tipikal orang yang antusias dalam bercerita, dan Chandra adalah perespon aktif dalam menanggapi. Alhasil, keduanya saling terhubung satu sama lain. Namun sepertinya, kebiasaan itu harus terhenti dulu di hari ini.

Silla tengah sibuk menatapi beranda whatsappnya. Masih berharap jika Chandra akan menghubunginya. Kemudian, jemari itu menggulir layar ke samping, status whatsapp Chandra kini berada di urutan paling atas dengan keterangan baru saja.

Silla menekannya, melihat isi status tersebut. Hembusan napas terdengar darinya. Hanya berisi video dengan lirik lagu yang tidak Silla pahami karena berbahasa asing. Silla hanya melihatnya tanpa membalas status Chandra.

Bukan, bukan karena dia tidak peduli, namun Silla adalah manusia dengan gengsi yang tinggi. Silla terlalu ragu untuk memulai obrolan lebih dulu, karena biasanya Chandralah yang memulainya.

Namun, tiba-tiba gagang pintu kamar Silla diputar dari luar. Sang empu menoleh dengan kebingungan. Terpampanglah sosok Athala dengan kabel charger yang melilit di lehernya.

"Ngapain lo?" sarkas Silla tatkala Athala memancarkan cengiran khasnya. Wajah tanpa dosa setelah memasuki kamar Silla tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

Athala menerobos masuk ke dalam kamar sebelum menjawab pertanyaan yang  dilontarkan oleh Silla. Kemudian, dia mendudukkan diri di samping Silla yang sedang berbaring memainkan ponsel. "Gua nginep malem ini."

"Di kamar depan lo tidur. Mamah gak pulang soalnya," ucap Silla hanya meresponsnya dengan biasa saja. Dia membiarkan Athala duduk di sampingnya. Embusan napas nan kasar yang sudah biasa bagi Athala, kini terdengar lagi. Silla terus menatap lesu ke arah ponselnya yang menunjukkan beranda chat dengan Chandra.

"Kenapa lagi lo?" tanya Athala karena raut wajah yang tak asing baginya kembali terlihat. Raut wajah menyebalkan yang pastinya ada sesuatu yang terjadi di balik itu.

"Chandra marah sama gua," ujar Silla membuka pembicaraan malam ini dengan pembahasan Chandra. Seperti biasa, selalu Chandra dan akan tetap Chandra. Tidak ada bosannya memang.

Athala menoleh. Menatapi wajah Silla yang lesu tak bersemangat. Bukan hal yang aneh bagi Athala melihat raut wajah yang seperti itu. Karena sejak Silla jatuh cinta kepada Chandra, ekspresi yang seperti itu tidaklah asing. Sepertinya memang fase jatuh cintanya Silla hanya perihal jatuh, cintanya tertinggal. "Kenapa lagi?"

Silla lebih dulu menarik napasnya dengan panjang. Menghembuskannya kembali tanpa sisa. Terus dia ulangi sampai siap untuk menjelaskan apa yang terjadi. "Tadi siang, dia nanya ke gua. Katanya, ada yang lagi lo suka nggak?"

"Terus lo jawab gimana?" tanya Athala ingin mengetahui jawaban seperti apa yang diberikan oleh Silla kepada pujaan hatinya itu. 

"Yah ada, gua gak nyangkal. Gua juga bilang, nanti juga dia tau siapa orangnya," jawab Silla dengan lirih tak bersemangat. Ingatannya kembali berputar pada kejadian tadi siang dengan Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang