Astrophile 36: Selasa itu Sendu

10 1 0
                                    

Astrophile 36: Selasa itu Sendu

Aku pikir, tak akan ada akhir yang membawaku untuk menyudahi perasaan ini. Iya, tak ada sebenarnya. Tak ada hal yang membawa perasaanku agar berakhir dengan cepat. Bahkan itu kamu sekali pun, tak akan bisa menghentikan perasaan ini.

Tapi nyatanya, karena tak kutemui hal itu di mana pun, akulah yang harus menciptakannya sendiri. Aku yang harus membuat perasaan itu terhenti. Meskipun kamu memang tak bisa menghentikanku, tapi karena kamulah aku harus berhenti. Aku tak pernah sanggup untuk itu, tapi sekarang, aku harus mampu melakukannya.

****

Chandra mengusap gusar wajahnya. Helaan napas yang begitu kasar kini dia hembuskan dengan sekali napas. Membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. "Gua overthinking, La, sorry."

"Takut karena perasaan gua belum hilang? Iya, emang belum hilang. Tapi, gua lagi berusaha, Chan. Lo tenang aja," tampik Silla menyokong Chandra dengan ucapan yang cukup menyentak. Ditambah dengan mimik wajah yang mulai menajam.

Lelaki itu sangat terlihat campur aduk. Pagi yang semula mereka awali dengan canda tawa, kini harus berganti genre menjadi sebaliknya. Secepat itu semesta mempermainkan mereka? Secepat itukah kebahagiaan dan tawa mereka berlangsung? Tidakkah semesta membiarkan mereka untuk menikmati seruan canda lebih lama?

Perasaan tidak enak hati yang tadi dirasakan Silla, ternyata memang membawa petaka yang buruk. Seperti kejadian sebelum-sebelumnya, Silla pasti akan menyangka jika setelah ini akan kembali ada jeda di antara keduanya. Sialan, dia mengutuk pelan. Padahal baru kemarin dia dan Chandra diselimuti kecanggungan, tapi kali ini harus lagi?

Apa memang sebegitu tidak direstuinya kisah dia dengan Chandra? Apa memang akhir yang bahagia tak akan pernah diperuntukkan untuk mereka? Mungkin, masanya semesta berbaik hati kepada keduanya telah habis. Kini, ia akan menunjukkan takdir yang sebenarnya. Takdir yang seolah sudah menggarisbawahi kisah cintanya tak berjalan dengan manis. 

"Gua capek, La. Lo yang suka, gua yang capek. Bahas perasaan kayak gini, lo pikir gak bikin capek? Pusing kepala gua mikirinnya," sengit Chandra dengan intonasi yang meninggi.

Silla terhenyak. Ucapan Chandra membuat jantungnya mencelos begitu saja. Darahnya berdesir ngilu seraya hatinya yang teremat sakit. "Kalau gitu kasih tau gua caranya biar lo gak ngerasa repot sama perasaan gua. Biar perasaannya juga gak terlalu dipandang salah."

"Gak ada," jawab Chandra dengan begitu singkat. Wajahnya menjadi datar tanpa ekspresi. Kedua tangannya juga saling melipat angkuh.

"Terus gua harus gimana, Chan? Gua gak ada sama sekali niat buat bikin lo capek. Harusnya gua emang gak bikin lo repot karena perasaan gua," ujar Silla melirih. Cairan bening mulai memupuk di sudut matanya. Netra cokelatnya terbalut dengan cairan bening yang menyedihkan.

Helaan kasar dengan sekali tarikan kini terdengar begitu jelas. Lelaki itu terlihat sudah muak dengan pembahasan yang sama. Seolah semesta tak memberinya jeda lebih lama agar kedua insan itu saling berbaikan. "Sakit anjir, La. Gua udah pernah bilang, 'kan kalau gua benci sama perubahan yang buruk. Gua gak suka kita jadi gini, La."

Silla menatap Chandra dengan sama rancunya. Perempuan itu  menjadi tak enak hati karena ungkapan Chandra yang terdengar begitu lelah. Kedua alis yang saling bertaut penat, seolah menggambarkan bagaimana letihnya dia saat ini. "Gua juga sakit, Chan. Maaf karena udah bikin lo capek."

"Maaf mulu, gua bosen." Lelaki itu menyentak dengan ucapan yang sangat menyakitkan bagi Silla. Lantas, jika Chandra sudah bosan dengan maaf, apa lagi yang mesti Silla ucapkan untuk menebus salah dan sesal?

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang