Astrophile 31: Berhenti Atau Dihentikan?
Lantas katakan, apakah perasaanku benar tidak salah? Atau kamu mengatakan hal itu hanya untuk menjaga perasaanku saja? Aku benar tidak tahu, harusnya ada di mana perasaan ini dan harus kuapakan perasaan ini setelah mendapatkan penolakan darimu?
Aku dibuat bingung oleh tanggapan yang kauberikan dari dua sudut pandang. Hal itu membuatku ragu apakah harus terus maju atau mundur dan menghentikan perasaan ini. Iya, meskipun kenyataannya tak akan semudah itu untuk menghapuskan perasaan dari seseorang yang kita cintai dengan begitu sangat.
****
Chandra tergagap sendiri. Tangannya bergerak acak di udara. Dia hendak menghapus air mata Silla, tapi masih ragu. Kedua alisnya saling bertaut bingung. "La? Hei?"
"Lo bercanda ya, Chan? Tapi kenapa gua gak ketawa sama sekali? Kenapa rasanya malah sesakit ini, Chan?" tanya Silla dengan suara yang mulai berdengung karena tangisnya. Satu tangan yang dia remat di depan dada seolah sedang menggenggam kesakitannya saat ini.
"La, sorry. Gua gak ada maksud buat bikin lo sakit. Just for fun, La, serius," tegas Chandra. Lelaki itu benar-benar bersungguh jika tak ada niat lain dari ucapannya tadi. Dia tidak tahu jika semenyakitkan itu bagi Silla.
Entah sudah tetesan yang ke berapa air mata itu mengalir, hingga menjadi aliran deras di pipinya. Perempuan itu sudah tak bisa lagi berpura-pura di hadapan Chandra. Berbohong jika keadaannya baik-baik saja saat ini juga, hanya akan menjadikannya lebih miris lagi. Menyedihkan sekali, bukan? Bahkan untuk lelucon yang seharusnya dibuahi tawa oleh Silla, kini perempuan itu justru menangis karena terlalu terbawa perasaan. "Gua harus gimana sama perasaan ini? Jawab jujur, Chan biar guanya juga tau arah."
"Bukannya udah pernah gua jawab, La?" tampik Chandra mengingatkan kembali jawaban yang pernah dia berikan pada Silla. Lelaki itu mendesahkan napasnya pelan. Bahunya menurun dengan berat. Jika membahas perasaan, memang sesakit itu. Tidak, jika kalian berpikir hanya Silla yang merasakan sakitnya, Chandra juga merasakan hal yang sama. Karena katanya, cinta sendirian tidak hanya menyiksa bagi pihak yang mengalaminya, tapi pihak yang menerima juga turut merasakan itu.
Silla tertawa hambar. Hatinya berdenyut nyeri seraya darahnya yang terasa berdesir ngilu melumpuhkan syaraf ototnya. Perempuan itu dengan mirisnya menertawakan dirinya sendiri yang terlihat begitu menyedihkan. "Oh, masih sama ternyata. Gak papa kalau emang lo nyuruh gua buat udahan, Chan."
Lelaki itu menatap Silla dengan mimik wajah yang sulit terbaca. Perasaan campur aduk dengan rancunya tercampur aduk di wajah tegas itu. "Udahan atau enggak, itu terserah lo, La."
"Kalau terserah gua, gua juga gak tau harus gimana. Gua butuh penjelasan dari lo, Chandra." Silla sedikit menekankan ucapannya. Dengan tatapan mata yang tajam seolah dapat menembus ke jantung secara tak kasat mata. Entah dari mana perempuan itu mendapatkan keberanian sebesar itu untuk mengutarakan isi hatinya dengan begitu lantang.
"La, ini perasaan lo. Harusnya lo yang nentuin mau gimananya," Chandra sedikit tersulut emosinya. Kedua alisnya menukik tajam menghunus Silla. Perempuan itu tak bergeming. Terduduk di tempat dengan posisi yang diselimuti kegugupan.
Pernah dengar ucapan orang yang katanya, persahabatan antara lelaki dan perempuan tidak ada yang murni, salah satunya pasti ada yang menyimpan rasa, dan ketika persahabatan sudah diikutcampurkan dengan perasaan, maka ikatan persahabatan itu tidak lagi sama seperti sebelumnya. "Gua gak tau harus gimana, Chan."
Chandra melepas kacamatanya. Kedua mata pekat itu dihantam rasa pening yang luar biasa, menjalar ke seluruh kepala rasanya. Dia memijit pelan pangkal hidungnya setelah menaruh kacamata tersebut ke tempat yang aman. "Gua gak maksa buat lo ngilangin perasaan itu, La."
"Tapi kalau gua tetep suka sama lo, dan lo gak nyuruh gua buat berhenti, gua malah makin suka, Chan. Gua makin berharap kalau suatu saat nanti lo bakal suka ke gua, lo bakal liat ke arah gua, Chan," lirih Silla seraya tangan yang memukul kasar dadanya. Melampiaskan rasa sakit dan sesak yang menyeruak di rongga hatinya.
"Prisilla, denger gua. Gua gak maksa lo buat udahan atau enggak. Tapi, bukan berarti dengan begini gua ngasih harapan ke lo. Nanti, semisal ada orang yang suka ke lo, lo jangan nolak dia, itu pun kalau lo juga ada rasa buat dia. Jangan jadiin gua sebagai patokan, La. Jahat ya, La gua bilang gini?" tampik Chandra tak enak hati. Laki-laki itu dengan gusar mengacak rambut depannya. Wajahnya sudah nampak sangat kusut.
Waktu yang semakin siang memunculkan matahari yang sebenarnya. Cahayanya yang menyengat dengan aktivitas lalu lalang manusia bumi sudah dimulai dengan sungguhan. Kedua insan itu juga sudah nampak tak nyaman berada di tempat. Tapi, pembahasan ini masih butuh lanjutan, mereka tidak bisa begitu saja menyudahinya dengan alasan tidak nyaman berada di sana.
Silla menarik napasnya begitu dalam. Cukup kuat hingga membuat dadanya semakin dirundung rasa sesak. Tangannya sudah gemetar samar, tapi dia memilih untuk menyembunyikannya dari Chandra. "Kalau gua gak berhenti, rasanya juga makin nambah, 'kan setiap harinya?"
Lelaki itu sudah nampak frustasi sekali di tempatnya. Tidak tahu kalimat apa lagi yang mestinya dia ucapkan sebagai tanggapan. Dia menepuk kasar paha kanannya, melampiaskan perasaan campur aduk yang dirasa. Kedua rahangnya saling menggertak beradu emosi.
Silla yang paham melihat lawan bicaranya itu tengah memendam emosi, kini perempuan itu kembali angkat bicara meski dengan perasaan yang takut-takut. "Chandra, gua bakal kenalan lagi nanti di saat gua udah gak suka sama lo."
"Apa maksudnya?" sergah Chandra dengan cekatan. Dia langsung menodongkan pertanyaan yang menyelak kepada Silla yang membuat perempuan itu berkedip dengan cepat.
"Iya, gua bakal kenalan lagi sama lo di jati diri yang udah gak suka sama lo," jelas Silla mempertegas ucapan dia yang sebelumnya. Beberapa kali dia mengalihkan perhatian dari Chandra karena tak sanggup menatap netra tajamnya.
Senyum remeh ditunjukkan oleh Chandra. Bibirnya berdecak tak percaya. Matanya memutar dengan malas. "Lo pikir gampang, La? Lo pikir ngelakuin kayak gitu semudah kayak apa yang lo bilang?"
Silla menggelengkan kepalanya dengan begitu pelan. Dia merasa sangat terintimidasi saat ini. Ucapan menantang dari Chandra beserta raut wajah dan sorot matanya yang tajam, membuat perempuan itu menciutkan nyalinya. "Iya, gua tau emang gak mudah. Tapi, gua bakal berusaha, Chan. Maaf karena saat ini gua cuma bisa nyuruh lo nunggu. Nunggu sampai di mana hari ketika gua bilang bahwa gua udah gak suka sama lo lagi. Sampai hari itu tiba, maaf karena gua bakal masih terus bikin lo repot."
Meski belum tertebak bagaimana ending dari cerita kedua insan itu, tapi Silla benar-benar ingin mengucapkan banyak kata maaf untuk Chandra. Mungkin Chandra memang sudah muak mendengarnya. Tapi, tak ada kata lain yang bisa dia ucapkan untuk menebus salahnya.
Akhir pekan yang Silla duga akan dibaluti oleh tawa kebahagiaan bersama Chandra, justru kini dua insan itu sama-sama menoreh luka di masing lawan jenisnya. Memang tidak ada yang tahu bagaimana skenario Tuhan berkerja. Meskipun begitu, tetap saja itulah jalan terbaik yang sudah ditetapkan untuk berkerja pada setiap hamba Tuhan yang tak pernah bisa menebak bagaimana kelanjutan alur yang berhenti di hari ini.
****
"Jika engkau mencintai sesuatu, bebaskan. Jika dia kembali padamu, itu milikmu selamanya. Jika tidak, maka sejak awal dia bukanlah milikmu." -Jalaluddin Rumi.
****
Astrophile,
Adipati Chandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Roman d'amour[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...