Astrophile 46: Keyakinan Keputusan
Sepertinya, kita benar-benar sudah sampai di titik terakhir untuk bersama, ya? Lihat saja, ada begitu banyak tepuk tangan dan dukungan yang menyuruh kita agar sudah dengan cepat. Semesta sudah menyetujui kita untuk itu. Jadi, ayok kita ikuti saja maunya. Bukankah Tuhan memiliki jalan yang terbaik untuk kita?
Entah akan dipertemukan lagi atau tidak, entah akan dibersamakan lagi atau tidak nantinya, tapi aku akan tetap bahagia. Bukan bahagia karena kita berpisah, tapi bahagia karena mungkin jika tak ada opsi yang terpilih di antara keduanya, berarti itu memang sudah jalan yang terbaik untuk kita.
****
Setelah berhari-hari tak ada komunikasi dengan Chandra sesudah kejadian di taman malam itu, akhirnya dengan memberanikan diri, Silla meminta Chandra untuk menemui dirinya. Tempat yang dia pilih adalah taman kota. Tempat yang menjadi saksi bisu atas kejadian yang menyakitkan itu. Sempat awalnya Chandra menolak untuk bertemu di sana. Mungkin, karena tempat itu memiliki kenangan yang menyakitkan. Tetapi, dengan bujukan dari Silla, akhirnya Chandra menyetujuinya.
Silla sengaja tiba lebih lambat dari jam yang sudah dijanjikan. Dia ingin Chandra datang lebih dulu dibandingkan dirinya. Lewat sekitar 30 menit sudah, dan sesuai ekspektasi dirinya, bahwa Chandra memang sudah tiba di tempat yang dijadwalkan.
Terduduk tegas di tempat yang sama persis seperti malam itu. Wajah yang tak dia lihat beberapa hari ini. Dia merindukan wajah itu. Wajah dengan pahatan yang sempurna, dibalut dengan alis tebal serta sorot mata tajam yang meneduhkan.
Silla berjalan perlahan menuju tempat Chandra berada. Dengan senyum kaku yang coba dia normalkan seperti biasa, langkahnya dengan riang menghampiri Chandra. Lelaki itu tersentak saat bayangan seseorang berdiri tegap di depannya. Wajahnya langsung saja menoleh ke atas, tepat di mana Silla sedang menatapnya juga. "Hai, Chan!"
Sempat terkesiap sebentar karena sapaan riang yang Silla lontarkan. Tetapi, lelaki itu juga berusaha untuk bersikap seperti biasa saja. "Hai juga, La. Sini duduk."
Tanpa bantahan, perempuan itu segera mendaratkan dirinya di tempat yang Chandra siapkan. Benar-benar seolah mengulang kejadian malam itu, dari posisi dan tempatnya saja sama persis tiada berbeda.
Silla mengusap-usap telapak tangannya ke atas paha. Sedikit merasa canggung berada di dekat Chandra. Tapi, dia berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi rasa canggungnya. Gimana kabarnya, Chan? Baik-baik aja, 'kan?
Lelaki itu mengangguk penuh ragu. Meskipun sebenarnya mereka sama-sama tahu jika tak ada yang sedang baik-baik saja di antara keduanya. Mereka hanya sedang menutupi rasa canggung serta luka dari kejadian beberapa hari yang lalu. Tapi, mereka harua tetap mengatakan jika mereka baik-baik saja agar tidak membuat khawatir satu sama lain. "Baik, La. Lo sendiri gimana kabarnya?"
"Gua juga baik, Chan." Sudah tahu, mereka juga saling tahu jika itu hanya kebohongan semata. Seberapa meyakinkannya pun raut wajah mereka, tak mampu menutupi ketidakbaik-baik sajanya mereka.
Setelah jawaban itu, kedua insan itu saling terdiam. Silla tengah menyiapkan diri untuk mengutarakan perasaannya. Sedangkan Chandra, dia mewanti-wanti cemas mendengar perkataan yang akan menjadi pembahasan kali ini. Masing dari keduanya selalu berharap jika tak akan ada lagi rasa sakit yang tercipta hari ini. Mereka sudah lelah dengan fase yang terus membuat keduanya saling terluka.
Silla menghela napasnya berkali-kali dengan kasar. Dia sudah menyiapkan diri dari jauh-jauh hari untuk mengatakan ini. Sempat goyah perasaannya beberapa waktu yang lalu, tapi dia berhasil kembali membangun keyakinannya.
Dengan perlahan, kedua netra itu menatap retina pekat Chandra dengan tetap berusaha tenang. Senyum dia paksakan untuk terbit dengan tipis. Lagi-lagi dia terus mengulangi mantra penguat dalam hatinya. Meneguk ludahnya kasar terlebih dulu sebelum membuka suara. Setelah yakin, barulah Silla memulai perbincangan kali ini dengan ketangguhan dirinya. "Chan, buat tempo lalu di tempat ini, gua minta maaf ya karena selalu matahin argumen lo. Padahal seharusnya gua paham, kalau setiap orang berhak berpendapat."
"Gak papa, La. Gua paham kalau waktu itu kita lagi kesulut emosi masing-masing. Ditambah karena udah malem banget, jadi kita juga sama-sama capek," jelas Chandra memaklumi. Memang benar, tak pantas juga dia menyalahkan Silla sepenuhnya. Dirinya dan juga keadaan harus sama rata disalahkan.
Silla memangut paham. Ucapan Chandra ada benarnya juga. Setelah ucapan pembuka yang dia lontarkan, maka dia harus memulai ke pembahasan intinya. Rasa cemas tiba-tiba datang melandanya. Melihat wajah Chandra yang sepertinya sudah sangat penasaran dengan pembahasan kali ini, membuat Silla semakin ingin menyuarakannya. Tapi tak menyangkal, dia juga masih merasa ragu.
"Chan, lo sendiri juga tau tentang pembahasan yang kita obrolin waktu itu. Gak nyangkal Chan, malam itu malam tersakit yang pernah gua jalanin. Setelah kita pulang ke rumah masing-masing, gua terus berpikir ternyata emang apa yang gua lakuin selama ini adalah seni menyakiti diri sendiri dan orang yang dicintai," lontar Silla yang benar-benar memulai pembicaraan berat ini.
Dengan intensnya, Chandra mendengarkan setiap patah kata yang terus keluar dari Silla, membentuk kalimat rumpang yang masih butuh penjelasan.
Perempuan itu menarik napasnya sejenak. Benar-benar merasa berat untuk meneruskan perbincangan kali ini. Tapi, dia tak ingin keyakinan yang sudah teguhnya itu berdiri, menjadi percuma hanya karena tak disuarakan. "Gua gak tau, Chan. Apa kisah cinta sendiri di luar sana sama seperti kisah kita kayak gini. Atau mungkin, mereka gak saling membuat luka satu sama lain. Atau mungkin, pihak yang mencintai juga gak melulu merepotkan pihak yang dicintainya."
"La, gua kan udah pernah bilang waktu itu, kalau gu-" Belum sempat Chandra meneruskan ucapannya, tapi Silla lebih dulu memotong pembicaraan.
"Gua tau! Udah berkali-kali juga lo bilang hal yang sama. Tapi, semakin sering lo ngeyakinin gua, maka se-sering itu juga gua tertampar sama kenyataan. Gua gak pernah tau isi hati lo yang sebenarnya, Chan. Gua juga gak bisa terus-terusan ngeyakinin diri sendiri bahwa suatu saat nanti lo bakal bales perasaan gua. Terlebih, karena dengan tegasnya lo mencintai dia, dan dengan kokohnya juga lo ngebangun prinsip lo, Chan." Dua hal itu memang menjadi peran pendukung yang paling utama dalam alasan Silla untuk melepas Chandra. Dua hal itu yang tidak bisa diganggu gugat sedikit pun.
Chandra terdiam karena jawaban Silla yang benar-benar membuatnya mati kata. Dilihat dari seberapa siapnya perempuan itu berujar, Chandra bisa menebak jika ada keputusan besar yang tengah dia siapkan. Bukan tanpa alasan, Chandra sudah mengenal Silla sejak lama. Dia juga perlahan-lahan mencoba memahami tingkah lakunya. Jadi wajar saja jika Chandra bisa menangkap hal tersebut melalui tingkah laku Silla.
Tak ada kata yang ingin Chandra lontarkan sebagai tanggapan. Dia membiarkan Silla untuk menyuarakan semua unek-uneknya hingga selesai. Memberikan kebebasan pada perempuan itu untuk menyuarakan setiap katanya.
"Gua minta lo ke sini bukan tanpa alasan. Ada keputusan bulat yang harus gua bilang ke lo. Semua ini gak tiba-tiba, Chan. Udah gua pikirin dari jauh-jauh hari. Banyak hal yang harus gua pertimbangkan juga. Jadi, tolong ngerti ya. Kalau gua gak semudah itu buat bilang hal ini. Tolong, jangan ambil kesimpulan secepat itu nantinya," ujar Silla memberi peringatan lebih dulu.
Lelaki itu memangut pelan. Jantungnya bergemuruh cepat mendengar ucapan pembuka yang semakin mengarah pada intinya. Chandra mewanti cemas perihal keputusan yang dikatakan oleh perempuan itu. "Iya, La. Emang, apa yang mau lo bilang?"
Deg. Perempuan itu tak langsung menjawab pertanyaan Chandra. Dia lebih dulu meminimalisir jantungnya yang tak bisa diam. Serta kedua tangan yang ikut gemetar menahan gejolak perasaan dalam hatinya. Benar-benar membutuhkan keberanian untuk melakukan ini.
Matanya yang berwarna caramel, kini dia arahkan agar menatap Chandra dengan lekat. Berusaha menegaskan melalui sorot matanya, meskipun Chandra sendiri tahu jika perempuan itu sedang melawan rasa gugupnya setengah mati. Menarik napasnya dalam nan berat. Bibirnya terbuka dengan samar, hendak membuka kembali pembicaraan yang akan terkenang sampai kapan pun.
****
Astrophile,
Adipati Chandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romance[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...