Astrophile 12: Cerita Confess Pertama

27 3 0
                                    

Astrophile 12: Cerita Confess Pertama

Mencintaimu adalah hal yang tak aku duga sebelumnya. Menjadikanmu sebagai pelabuhan hatiku juga tidak ada dalam rencanaku. Semuanya Tuhan yang atur. Bukankah begitu konsep dari jatuh cinta atau pun mencintai? Meskipun memang bukan, aku tetap bahagia.

Meski aku tahu, perasaan ini hanya aku yang punya. Meski aku sadar, memilikimu adalah kemustahilan yang nyata. Bahkan setelah aku paham bahwa kita adalah ketidakmungkinan, aku tetap membersamai ketidakmungkinan itu. Aku egois dalam mencintai. Jika itu kamu maka akan tetap kamu, dan hanya kamu. Sampai keadaan itu membuat diriku sendiri takut. Nantinya, akan sesakit apa jika sudah tiba waktunya melepaskan ketika saat mencintainya saja sedalam ini?

****

Kedua insan yang masih berhubungan darah itu sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Hening, kesunyian menyelimuti keduanya. Athala tengah sibuk dengan ponselnya, sedangkan Silla masih saja berkutat dengan pikirnya mengenai kejadian siang tadi.

Iya, tidak semudah itu untuk menganggap kejadian tadi siang bukanlah peristiwa yang besar. Tatapan Silla kosong ke depan, melamun. Hanya deru napas yang berat menjadi pertanda jika dia masih dikatakan makhluk hidup.

Tekanan keberaniannya sangat beda dengan siang tadi. Jika beberapa jam sebelumnya Silla adalah manusia yang penuh dengan energi, sedangkan untuk malam ini, seperti makhluk yang hanya sekadar bernapas saja.

Dia mengeluhkan napas kasar untuk kesekian kalinya. Bahunya menurun lemas. Tatapannya benar-benar kosong. "Ath, kalau suatu saat nanti gua suka sama lo gimana?"

"Hah? Bilang apa lo barusan?" Athala bertanya untuk memastikan bahwa apa yang dia dengar tidak salah. Meski pertanyaan Silla dia dengar dengan begitu jelas tadi.

Silla menoleh ke arah Athala dengan lemas. Matanya berkedip dua kali dengan lelah. Berdeham sebentar sebelum menjawab pertanyaan Athala. "Kalau gua suka sama lo, gimana?"

Tanpa basa-basi, Athala memukul geram pundak Silla yang lebih dekat dengan jangkauan tangannya. Kedua matanya memelotot dengan lebar sempurna. Alisnya juga ikut mengerut kesal. "Bego! Istigfar anjir, sodara kita, sodara! Lo apaan sih, Sil? Ngawur lo!"

Silla memangut paham. Wajahnya menunduk ke bawah, lesu. Bisa-bisanya dia memasang wajah seperti itu di saat sudah berhasil membuat Athala membelalak dengan lebarnya. Jakun Athala naik turun menahan emosi yang ingin sekali meledak dengan bebas.

"Menurut lo, kalau gua bilang gitu termasuk confess enggak?" tanya Silla tak bersemangat. Sudah dikatakan, energinya 0% untuk saat ini. Karena siang tadi dia sudah menguras habis energinya untuk bercakap perihal perasaan dengan Chandra.

"Ya bisa jadilah! Maksud lo apaan sih? Jelasinlah biar gua paham anjir. Lo emang ngeselin sih anjir, ngomong setengah-setengah," sungut Athala yang termakan kekesalannya sendiri. Ingat lagi, itu pun karena ulah Silla.

Silla kembali menatap Athala dengan raut wajah yang masih sama, tapi kali ini lebih serius. Sorot matanya juga menjadi lebih intens lagi. Salah satu tangannya menekan dadanya dengan kuat. "Ath, gua bilang gitu ke Chandra, tadi siang, di gazebo. Athala! Gua confess anjir! Athala sialan!"

Mulut Athala terbuka sedikit. Untuk kali ini, dia tidak bisa langsung mencerna apa yang dikatakan oleh Silla. Otaknya berpikir lebih lambat kali ini. Ditambah ucapan Silla yang terdengar mentah, membuat Athala memutar otak untuk memahami. "Gimana? Jadi lo bilang ke Chandra kalau lo suka sama dia? Atau lo bilang kalau lo suka sama gua? Hah? Anjir gimana sih?"

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang