Astrophile 41: Saling Menoreh Luka
Yang aku takutkan setelah kepergian dan perpisahan, adalah asing. Benar, meskipun tak bisa dihindari, tetapi akan tetap terjadi. Entah siapa yang memutuskan pergi lebih dulu, pasti asing akan tetap terjadi.
Bagaimana jika kita akan asing setelah aku berhenti? Aku hanya takut kamu bertingkah seolah tak mengenalku ketika kita tak sengaja bertemu. Bukankah itu terlalu jahat? Karena bagiku, tak semudah itu untuk menganggap semua ini baik-baik saja. Tak semudah itu juga aku bisa segera sembuh dari luka setelah kita memutuskan untuk menyudahi ini.
****
Hembusan kasar terdengar begitu jelas. Kedua netra Chandra juga sudah dipenuhi binar air mata yang berlinang. Salah satu tangannya tak henti memukul paha kanannya sebagai bentuk pelampiasan rasa sakit. "La, sorry. Iya, gua bodoh banget karena bilang hal itu gitu aja tanpa mikirin perasaan lo."
"Gua capek, Chandra...." Silla sudah tak sanggup lagi mendongakkan wajahnya. Dia menunduk dengan lirih yang membuat air mata itu semakin bebas menetes dengan deras. Kedua bahunya naik turun sesenggukan. Salah satu tangannya dia kepal di depan dada.
Memang sudah seperti dugaan awal, bahwa perbincangan malam ini akan penuh dengan emosi campur aduk yang melanda. Mempertemukan kedua insan yang berbeda perasaan, membuat mereka menyuarakan pendapatnya masing-masing. Semesta seolah tengah mempermainkan keduanya. Membuatnya saling menyakiti dengan perasaan yang tak ingin.
Mereka terlalu kanak-kanak untuk menginginkan perdebatan. Ini hanya ulah semesta saja. Di saat keduanya sedang dilanda sendu, alih-alih memberinya pelipur lara, justru semesta semakin membuat hati keduanya saling terluka. Tak memberikan jeda untuk memulihkan nyeri yang menggerogoti. Dengan brutalnya semesta menghujam mereka tiada ampun dan acuh tak peduli.
"Gua harus gimana biar lo gak ngerasa capek, La?" tanya Chandra merasa frustasi. Dia bahkan tak tahu mesti bagaimana sekarang ini. Hiburan atau ucapan penenang juga agaknya tidak akan mempan untuk Silla. Melihat bagaimana kalutnya pertemuan itu saat ini.
Silla tertawa pelan dengan wajah yang masih menunduk. Dia menyunggingkan senyum tipisnya. Jika sanggup, dia pasti akan tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Chandra barusan. "Lo tau? Kemarin pertanyaan itu yang gua ajuin ke lo setelah lo bilang, 'Gua capek, La. Lo yang suka, gua yang capek,' inget, Chan?"
"La, lo kecewa ya sama gua? Lo benci ya sama gua?" Dua pertanyaan sekaligus Chandra lontarkan pada Silla. Perempuan itu mengusap air matanya dengan kasar. Pandangannya memburam, ditambah dengan cahaya taman kota yang tak terlalu jelas.
Wajahnya kembali mendongak. Adegan yang sama kembali terulang dengan orang yang berbeda. Jika tadi Silla menangis tersedu-sedu di hadapan Athala, tapi kali ini dia menangis di hadapan seseorang yang menjadi alasan utamanya. Hidung Silla sudah memerah. Matanya juga kembali sembab yang padahal sebelumnya saja masih membekas dengan jelas. Panca indera penciumannya sulit sekali bernapas. Bahkan dia harus menghirup oksigen melalui mulutnya.
"Kapan ya, Chan?" Pertanyaan Silla menggantung yang membuat Chandra mengernyit kebingungan. Lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya ke kiri.
"Kapan apanya, La?" jawab Chandra dengan mengajukan pertanyaan kembali. Tidak mengerti dengan ucapan Silla yang masih butuh keterangan lebih lanjut.
Perempuan itu menatap Chandra dengan penuh harap. Hatinya sudah tak bisa lagi dideskripsikan dengan rasa sakit, karena rasanya lebih dari pada itu. Entah kecewa, marah, benci, sedih, yang pada akhirnya memang semua terasa campur aduk. "Kapan gua bisa gantiin dia di hati lo, sedangkan gua sendiri tau kalau dia takkan terganti."
Mendengar hal itu, Chandra membulatkan matanya dengan sontak. Pupil matanya melebar dengan sempurna. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. Mengapa? Mengapa ucapan Silla terdengar sangat menusuk sekali? Mengapa rasanya seolah ucapan itu memiliki raga yang mampu menghujam manusia dengan nyata? Tanpa sadar, air mata Chandra juga ikut menetes, meski tak sederas yang terjadi pada Silla. "La, seandainya gua tau kalau jatuh cintanya gua bakal sama orang yang udah jadi milik orang lain, gua juga bakal cegah rasa itu. Ini pertama kalinya gua jatuh cinta sama orang, dan murni bukan karena apa-apa."
"Iya, gua paham. Pertanyaan gua terlalu nuntut, ya? Maaf, Chan...," lirih Silla dengan pelan. Kepalanya mulai merasa pening. Harusnya, dia saat ini memang tengah mengistirahatkan tubuhnya di kamar. Tapi alih-alih dari pada itu, Silla harus kembali bertempur dengan rasa sakit yang sedang ganas-ganasnya menganga.
"Enggak, La. Gua paham posisi lo gimana. Kan gua juga ngerasain hal yang sama," timpal Chandra setelah mendengar permintaan maaf dari Silla. Sebenarnya, dua insan itu sama-sama mengalami cinta sendiri. Hanya saja, pada orang yang berbeda, hingga mengakibatkan cinta segitiga di antara mereka terbentuk.
Tangan kanan Silla terulur ke atas. Menepuk-nepuk kasar dadanya yang terasa pengap. Merematnya dengan brutal tanpa ampun. Rasanya sangat sakit, hingga Silla sendiri merasa bahwa tubuhnya mulai melemah karena habis digerogoti. "Tapi, kenapa kali ini rasanya sakit banget?"
Lelaki itu meneguk ludahnya kasar. Rasa asin di lidahnya sedikit terasa karena air mata yang masuk lewat celah bibirnya saat terbuka. Chandra mengusap gusar wajahnya. Rambutnya sudah berantakan tak karuan. Beruntunglah saat ini, dia tak memakai kacamata biasanya, karena itu lebih memudahkan dia untuk mengusap air mata. "Mungkin karena kita terlalu sering ngabisin waktu bareng."
Silla terisak-isak. Bahunya gemetar dengan hebat. Masa bodoh dengan penampilannya saat ini, dia mengesampingkan rasa malu perihal penampilannya. Berkali-kali dia menarik napasnya dengan dalam hingga membuat jantungnya berdenyut nyeri. Kedua lengan Silla yang saling meremat satu sama lain, kini ikut bergetar dengan hebat. "Gua malu, Chan. Udah berapa kali gua ditolak sama lo? Tapi tetep aja terang-terangan ngejar."
"La, gua selalu menghargai setiap perjuangan lo. Jangan gitu, La. Jatuh cinta kan emang hal yang wajar. Lo gak perlu ngerasa malu," lontar Chandra agar Silla tak terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
"Gua ngerasa gak tau diri banget, Chan. Kayak perempuan murahan yang terus ngejar seseorang bahkan setelah ditolak berkali-kali pun. Kesannya gua agresif banget, Chandra," lontar Silla dengan akhir kalimat yang melemah. Dia menutupi kedua matanya yang sembab. Kali ini, Silla benar-benar menangis dengan derasnya di hadapan Chandra.
Untuk pertama kalinya, perempuan itu menangis tanpa malu dan tanpa sembunyi-sembunyi. Dia meluapkan rasa sakit yang tengah dirasakannya. Suara tangisannya begitu menyayat dan mampu membuat siapa pun yang mendengar seolah teriris sakitnya.
Chandra benar-benar tidak tega melihat perempuan di depannya ini. Menangis tersedu-sedu karena dirinya. Bajingan memang! Bisa-bisanya dia membuat seseorang yang menyukainya terluka hingga seperti ini. Harusnya, dia tak membuat Silla merasakan sakit yang begitu hebat.
"Maafin gua, La. Stop, jangan nangis lagi. Hati gua sakit, La," pinta Chandra pelan. Pipi milik lelaki itu pun sama basahnya saat ini. Dihujani air mata kesakitan seperti Silla.
Seolah tak memiliki hati nurani, semesta terus mencambuk mereka dengan luka. Menendang akal sehat dua insan itu hingga hanya rasa kalut yang tersisa. Bahkan ketika raga mereka mulai melemah, tak kunjung juga dunia menyudahi perbincangannya.
Mungkin sebelum mereka benar-benar mati, tak akan juga semesta membuat malam ini berakhir. Bahkan seolah ia sudah mengatur strategi sedemikian rapi, tak ada satu hambatan pun yang menghalangi. Jalanan hening, tak disuguhi riuhnya lalu lalang kendaraan. Taman kota juga tentram, tak digeluti bisingnya ocehan manusia. Benar waktu yang pas bukan? Semesta sepertinya memang sudah mengatur malam ini dengan begitu baik. Yah, dan kita ucapkan bahwa rencana semesta untuk malam ini sangatlah berhasil.
****
Astrophile,
Adipati Chandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romantik[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...