Astrophile 26: Tentang Jatuh Cinta

15 1 0
                                    

Astrophile 26: Tentang Jatuh Cinta

Meski sudah kau katakan alasannya, izinkan aku bertanya lagi. Apa karena orangnya adalah aku, itu membuatmu tidak jatuh cinta? Lantas, jika itu bukan aku, apakah kamu akan mencintai orang itu? Iya adalah jawaban yang tepat, 'kan? Apalagi, jika orang yang mencintaimu adalah dia, akan kamu cintai juga dengan sangat antusias, ya?

Jika aku menjadi orang lain, apa bisa membuatmu jatuh cinta padaku? Sekali pun itu berhasil, maka yang kamu cintai adalah aku di dalam diri orang lain. Sama saja, yang kamu tahu itu adalah orang lain, bukan aku. Seperti kemustahilan yang sudah ditetapkan, seolah kamu takkan pernah bisa jatuh cinta padaku. 

****

Bahu Chandra menurun seraya napasnya yang berhembus kasar. Karena sudah dia duga tak akan ada jawaban dari Silla, lelaki itu kembali berucap dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya. "La, kayak apa yang aku bilang. Kadang, apa yang dirasa gak semua harus diungkapin. Paham, ya."

Setelah sebelumnya diam, Silla menggerakkan wajahnya ke bawah. Mengangguk kecil sebagai tanggapan. Dalam hatinya, dia berteriak begitu senang karena ternyata pertanyaan yang selama ini dia nantikan,  jawabannya sudah terjawab. Ditambah, dengan jawaban itu sesuai harapannya. Meskipun wajahnya memang masih menunduk enggan terangkat, dia tengah tersenyum tipis. Senyum yang tak sebanding untuk menggambarkan rasa bahagianya saat ini. 

"Kenapa masih nunduk aja? Kan udah aku jawab pertanyaan yang udah kamu tanyain beberapa kali," tanya Chandra karena Silla tak kunjung juga mengangkat wajahnya untuk berbalas tatap dengan lelaki itu.

Silla tersentak pelan. Meneguk ludahnya kasar sebelum memilih untuk menyudahi kegiatan menundukkan wajahnya. Dengan ragu-ragu, dia berusaha menatap manik mata pekat milik Chandra. "Enggak nunduk nih."

"Tadi diem aja tuh. Giliran pas belum aku jawab, buru-buru pengen tau jawabannya. Giliran udah aku jawab, malah nunduk. Kenapa?" sergah Chandra tak hentinya menggoda Silla yang sudah memerah sekali pipinya.

"Gak papa tuh, emangnya kenapa?" tanya Silla berusaha menormalkan nada bicaranya. Jujur saja, saat ini dia tengah merasa gugup segugup-gugupnya. Tatapan dalam, suara mengintimidasi, serta aura Chandra yang seolah menggertak, cukup mampu membuat Silla tergagap sendiri.

Lelaki itu berdecak pelan. Kepalanya menggeleng lambat menanggapi tingkah Silla yang mengeluarkan sikap konyolnya. "Kamu tuh kocak tau, La. Ngeselin lagi."

Anggukan setuju ditunjukkan oleh Silla. Tidak ada alasan menolak pernyataan yang benar adanya. Justru jika dia berusaha menyangkal, terlalu menjelaskan bagaimana bodohnya Silla dalam mengelak. "Emang. Tapi, ngeselin-ngeselin gini juga suka sama kamu."

"Kentutlah anjir," tampik Chandra yang sudah tak heran lagi dengan jurus gombalan Silla di setiap saat. Kaki kanannya terasa kebas karena tak berpindah posisi sejak tadi. Dia angkat dan menumpangkannya di atas kaki kiri. Sedikit menghilangkan rasa kebas yang melanda.

"Menurut kamu, aku bilang gitu tuh settingan gak sih, Chan?" Silla menanyakan pendapat Chandra. Mungkin dia lupa, jika Chandra pernah menjawab pertanyaan itu sebelum-sebelumnya. Maklum, Silla memang begitu orangnya.

Lelaki itu mengangguk tanpa ragu. Kedua tangannya saling merenggang satu sama lain. Rasa pegal itu seolah menjalar juga ke tubuhnya. Chandra merenggangkan badannya sesaat. Mengusir kekakuan yang menerpa tubuhnya. Setelah selesai, barulah dia menjawab pertanyaan Silla. "Jujur, settingan sih."

Decakan halus terdengar dari Silla. Tanganya dengan begitu ringan memukul anggota tubuh Chandra yang paling mudah dia jangkau;  lengan bagian atas. "Dih, tapi murni tau. Beneran murni aku bilang gitu."

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang