Astrophile 45: Keputusan Akhir Mencintai

13 1 0
                                    

Astrophile 45: Keputusan Akhir Mencintai

Pada setiap hal yang hadir, kejadian yang terjadi, serta kenangan yang tertanam, aku selalu memiliki sisi baik yang kusimpan. Selalu memiliki hal yang akan kupelajari di setiap yang terjadi. Termasuk, ketika kita sudah selesai merajut kisah. Akan aku terimakasih segala pelajaran yang kamu tinggalkan di aku. Entah manis pahitnya hal tersebut, akan aku simpan dengan lapang dada.

Menyediakan tempat tersendiri untuk mengabadikan kenangan kita di dalam ingatan dan hatiku. Yang aku pastikan tak akan pernah bisa dikubur oleh kenangan-kenangan baru.

****

Athala juga paham. Tidak mudah menghapus perasaan pada seseorang yang sosoknya kita cintai dengan sangat. Dia juga tahu bahwa se-sulit itu bagi Silla untuk melepas Chandra. "Lo gak bisa, karena lo-nya gak mau. Karena saat ini lo masih cinta sama Chandra. Gak ada keinginan dari lo buat ngeikhlasin Chandra. Susah jadinya, sedangkan dari diri lo sendiri aja nolak buat ngelakuin itu."

"Lo tau akan hal itu, tapi kenapa masih nyuruh gua buat ngelepas Chandra? Lo tau kalau se-sulit itu bagi gua buat pergi dari Chandra, tapi kenapa lo masih tetep maksa gua, Ath?" tanya Silla tak mengerti dengan tindakan yang dilakukan oleh Athala.

"Coba pikir lagi apa yang terjadi sekarang. Liat pakai logika, pakai mata, jangan pakai hati, jangan pakai perasaan. Sadar, Sil. Lo ngerasain hal se-sakit ini, Chandra juga sama. Kalau lo terus ngelanjutin perjuangan lo, bakal se-sakit apalagi kalian berdua nantinya? Lo gak mikir kemungkinan yang bakal terjadi? Lo bisa mati rasa, dan Chandra bisa makin kokoh sama prinsipnya. Masih kemungkinan kecil buat lo bisa dapetin Chandra. Hal manis yang dia ucapin mungkin semata buat bikin lo tenang aja, mungkin dia cuma gak mau kehilangan sahabatnya. Tapi, dia gak pernah ngelarang buat lo berhenti berjuang buat dia."

Lagi-lagi, Athala berhasil membuat Silla berpikir dua kali atas tindakannya. Sebenarnya, sudah ada jalan menuju titik terang yang mestinya Silla lewati. Hanya saja, masalah itu ada pada diri perempuan itu. Dia terlalu enggan untuk melakukannya. Dia terlalu enggan melepaskan cintanya.

Silla terdiam. Membiarkan air matanya mengucur dengan deras. Detak jam dinding terus bertambah setiap detiknya, mengubah waktu menjadi semakin pagi. Padahal, rasa pening sudah melanda Silla dengan begitu ganasnya. Tapi, rasanya untuk mengistirahatkan tubuh sekarang ini, hanya akan membuat pikirannya mengganjal saja karena masih ada hal yang butuh penyelesaian. "Gua tau, Ath. Tapi, apa setelah gua ngelepas Chandra, ada kemungkinan besar buat gua masih bisa sahabatan sama dia?"

"Masih, tentu aja, Sil. Lagian, lo berhenti berjuang juga gak bisa maksa hati lo buat berhenti mencintai, 'kan? Meski emang iya, pasti bakal ada jeda yang entah berlangsung dalam waktu sebentar atau lama di antara kalian. Tapi hal itu wajar, Sil. Kalian juga butuh pulih dari perasaan masing-masing. Ngasih waktu buat istirahat dulu." Athala yang merasakan jika Silla mulai menuruti logikanya. Tak melulu egois akan perasaannya yang menginginkan kebersamaan dengan Chandra.

"Kalau Chandra ketemu sama orang baru, gimana, Ath? Apa dia bakal lupain gua? Apa dia bakal suka sama orang itu?" tanya Silla mempertanyakan kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Athala menghela napasnya. Pikiran Silla terlampau jauh memikirkan hal yang belum tentu terjadi. "Ketemu sama orang baru emang fasenya manusia, Sil. Gak bisa nolak juga. Entah Chandra atau pun lo, pasti bakal ketemu orang baru nantinya. Tapi, kalau Chandra aja se-susah itu buat buka hati ke lo, pasti dia juga ngelakuin hal yang sama ke orang baru."

Benar juga. Chandra kan sudah kokoh dengan prinsipnya. Silla juga tahu bahwa lelaki itu dengan sangat mencintai cinta pertamanya. Lantas, jika begitu, apa memang harus Silla melepaskan Chandra? Apa harus Silla menghentikan cinta sebelah pihak ini sekarang? Dalam setiap kejadian, pasti akan memberikan pengalaman. Akan ada sisi baik dan buruknya juga. Mungkin, jika Silla tak kunjung melepas Chandra, sepertinya hanya akan ada kemungkinan buruk saja yang terjadi.

Lagi pula, entah semesta, dunia, ataupun Athala, dan Chandra, sepertinya mereka telah menyuarakan persetujuannya pada Silla. Hal ini hanya tinggal menunggu keputusan dari diri Silla sendiri. Mereka hanya tinggal menunggu perempuan itu mengumumkan keberhentiannya untuk memperjuangkan Chandra.

"Udah, ya, lepasin Chandranya." Athala meraih tangan Silla yang terkepal begitu erat. Membawa tangan itu pada genggamannya. "Lepasin. Kalau lo terus nahan dia sekuat ini, yang sakit juga bukan cuma lo, tapi dia. Kalian bakal sama-sama sakit nantinya. Udah, Sil. Setiap orang ada masanya, dan setiap masa akan ada orangnya. Kalau emang lo akhirnya diperuntukkan buat Chandra, maka Tuhan juga akan mempertemukan kalian lagi, dan bisa jadi perpisahan saat ini cara Tuhan membiarkan kalian buat memperbaiki diri masing-masing dulu."

Silla menatapi tangannya yang dibuka dengan perlahan oleh Athala. Mengibaratkan seolah itu yang akan terjadi jika dia melepaskan Chandra nantinya. Memang, jika dia membiarkan Chandra untuk pergi, maka tak ada sakit yang menerpa keduanya.

Silla menundukkan wajahnya dengan muram. Menarik napas panjang hingga membuat jantungnya sakit sendiri. Kedua matanya terpejam dengan begitu kuat. Dia memikirkan ucapan Athala, kejadian di taman tadi, serta cuplikan memori yang telah dia ciptakan dengan Chandra.

Bibirnya seketika tersenyum lirih ketika mengingat di saat Chandra memarahinya karena memasak nasi goreng menggunakan air. Mengingat bagaimana cemasnya raut wajah Chandra ketika perutnya sakit. Mengingat bagaimana raut wajah Chandra yang tertawa karena lelucon anehnya. Mengingat bagaimana bahagianya wajah Chandra ketika menyantap kwetiaw kesukaannya. Masih banyak ingatan menyenangkan yang tak bisa Silla jabarkan satu persatu ingatannya.

Namun, bibirnya menjadi sendu seketika. Ketika dia mengingat saat raut wajah Chandra menjadi rancu karena perdebatan mereka perihal perasaan. Serta perkataan menyakitkan yang menyuarakan perihal seberapa merepotkannya diri Silla di hidup Chandra.

Sudah, tak ada yang ada alasan yang mampu membuat Silla yakin lagi untuk bertahan. Seribu kebahagiaan agaknya akan menjadi kenangan menyedihkan ketika ada banyak rasa sakit yang Silla torehkan pada Chandra. Sudah, Silla tak ingin lagi membuat Chandra diterpa derita karenanya. Chandra berhak bahagia. Dia tak pantas membuat Chandra repot seperti ini.

Sebelah tangan Silla yang bebas, kini dia taruh di atas tangan Athala yang tengah menampung lengan kanannya. Wajahnya terangkat perlahan menatap Athala dengan lirih. Bibirnya yang bergetar, dia paksakan untuk tersenyum. Dengan keyakinan yang dia harap tidak akan berubah ke depannya, Silla menegaskan diri. "Ath, gua mutusin buat ngebiarin Chandra bahagia. Gua bakal ngasih kebebasan buat Chandra nentuin pilihannya sendiri. Gua ... berhenti buat Chandra...."

Dalam setiap patah kata yang dia ucap baru saja, begitu banyak hal berat yang harus dia relakan. Tida semudah itu bagi Silla untuk mengungkapnya. Tapi, dengan tekad dan keinginan membuat Chandra bahagia, maka Silla rela melakukan itu.

Athala sungguh bernapas lega kala kalimat itu akhirnya terlontar dari mulut Silla. Senyum kebanggan dia tunjukkan pada Silla. Sungguh, akhirnya dia berhasil membuat Silla berpikir menggunakan logikanya. Akhirnya dia berhasil membuat Silla untuk memikirkan dirinya sendiri.

Meskipun bibirnya tetap mempertahankan senyum yang dipaksakan itu, tetapi matanya tak bisa menghentikan tangis. Silla sudah menggenggam erat keputusan di tangannya, dan keputusan itu hanya tinggal dia suarakan pada Chandra nanti. Seolah ada separuh beban yang berhasil luruh dari pundaknya, Silla sedikit merasa lega.

Tanpa basa-basi lagi, Athala memeluk sepupunya dengan erat. Melampiaskan rasa bahagia yang dia terima. Mengusap lembut bahu Silla agar merasa tenang. "Makasih, Sil. Setelah ini, gak cuma Chandra, tapi lo juga berhak bahagia."

Pada akhirnya, memang melepaskan seseorang terkadang menjadi pilihan yang terbaik. Ingat lagi, ketika kita sedang mencintai seseorang. Jangan membuat pihak yang dicintai juga terluka. Jangan memaksakan cintanya juga. Karena cinta berhak memiliki kebebasannya sendiri.

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang