Astrophile 33: Bertanya Perihal Kabar

17 1 0
                                    

Astrophile 33: Bertanya Perihal Kabar

Aku berkali-kali ditampar oleh kata-kata yang berisi tentang melepaskan ketika dia sudah mencintai orang lain. Perihal bagaimana harus dengan ikhlas membiarkannya pergi ketika dia sudah menentukan pilihannya sendiri. Bukan karena tidak ingin aku melepas dia, tapi perasaan aku bagaimana? Meskipun aku tahu cinta ini bertepuk sebelah tangan, tapi aku ingin lebih lama membersamai cinta sendirian ini.

Aku juga ingin mengukir banyak kisah bahagia dengannya, seolah dia akan menjadi milikku. Memang itu adalah seni menyakiti diri sendiri tapi, aku juga ingin memiliki kenangan indah tentang kisah cinta. Setidaknya jika aku memiliki itu, aku bisa menghidupi diri sendirilah dengan kenangan yang telah aku ukir dengannya. Aku tidak egois semesta, aku hanya ingin memiliki ingatan indah perihal cinta. Itu saja.

****

Tak terasa sudah memasuki waktu siang menjelang sore, barulah Silla terbangun dari tidurnya yang tidak terlalu nyenyak. Badannya terasa sakit serta sendi-sendinya yang terasa ngilu. Perutnya yang belum diberi asupan makanan berat sejak pagi, kini meronta-ronta ingin disuapi. Dia melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 12.49 WIB. Pantas saja dia kelaparan, ternyata waktu sudah memasuki pukul siang.

Sebisa mungkin dia bangkit perlahan dari tidurnya. Dengan kepala yang serasa menghantamnya dengan kuat, serta anggota tubuh lain yang terasa lemas. Silla berhasil bangkit dari posisinya. Menyenderkan punggungnya yang rimpuh ke kepala ranjang.

Tangannya terulur memijat pelipisnya sendiri. Rasa pening yang dia rasakan sejak pagi, tak kunjung juga menghilang. Rasanya ingin sekali dia membenturkan kepalanya sampai rasa pusing itu menghilang. "Pusing banget anjir. Udah cinta sendiri, ngurus diri juga sendiri. Mandiri amat gua."

"Sil, udah enakan?" Pertanyaan tiba-tiba langsung saja menyerobot obrolan Silla yang tengah bermonolog sendiri. Sontak perempuan itu langsung saja menoleh dengan terkejut.

Athala memasuki kamar Silla tanpa permisi yang memang tidak terkunci pintunya. Sengaja Silla buka dengan lebar agar udara bisa masuk meskipun dia tak membuka jendela kamarnya. Rasa sesak yang sudah bersemayam dengan begitu lama di dalam dirinya, memang sempat kambuh, dan biasa selalu kambuh ketika dia sedang jatuh sakit. Beruntungnya untuk kali ini tidak terlalu parah.

"Ngagetin aja lo," sungut Silla sedikit menyolot dengan suara lirihnya. "Bawa makanan gak, Ath? Laper gua...." Perempuan itu mengusap perutnya yang sudah tak sabar ingin diberi asupan makanan. Dia sedikit membuat jarak dengan kepala ranjang, tidak lagi bersandar. Matanya melongok, melihat kantong kresek hitam yang berada di tangan Athala.

Lelaki itu mengangkat tangan kanannya. Menunjukkan kresek hitam yang sudah tertangkap basah oleh netra Silla yang sayu. "Mie ayam nih, kesukaan lo."

Kedua alis Silla yang berkedut pening sejak tadi, kini bertaut samar. Dia menatap heran ke arah Athala, terlebih karena buah tangan yang dibawanya itu. "Kok mie ayam? Orang sakit biasanya tuh dibawain bubur ayam tau."

"Susah nyari bubur ayam di siang bolong gini. Tadi gua sempet ke tukang bubur yang deket sekolah, tapi udah abis. Masih ada sih, cuma tinggal kerak bubur sama kacangnya doang. Lo mau gua bawain kayak gitu?" tampik Athala menjelaskan kejadian apa yang sudah dia alami untuk mendapatkan bubur ayam yang meskipun akhirnya tetap mie ayam yang dia beli.

"Oh, yaudah gak papa deh. Gua makan sini mie ayamnya, laper Ath. Dari pagi belum makan tau." Silla menadah tangannya ke hadapan Athala. Meminta lelaki itu agar segera menyerahkan makanan yang dia bawa untuknya.

Athala mendekatkan dirinya pada Silla. Dia duduk di samping perempuan itu yang sudah siap untuk menyantap makanan. Dengan perlahan, Athala mengeluarkan styrofoam dari kantongnya. Membukanya dengan cepat. Aroma mie ayam yang membuat cacing di perutnya semakin meronta. Meskipun lidahnya sedang tidak jelas mengecap rasa, tapi perihal mie ayam tidak boleh terlewatkan.

"Tadi pagi juga gua bilang mau jagain lo, tapi lo kekeh sih nyuruh gua sekolah. Kayak gini, 'kan jadinya kelaperan. Udah gitu ditelpon gak aktif, di-wa centang satu. Sengaja banget ya lo bikin gua khawatir?" sentak Athala yang merasa kesal akibat Silla yang sulit dihubungi. Lelaki itu seketika menjadi pribadi yang banyak bicara dan cerewet. Yah sesering apa pun mereka bertengkar dan memiliki pendapat yang berbeda, tapi tetap saja keduanya adalah sesama saudara. Mana mungkin mereka tega membiarkan salah satu di antaranya terdampar begitu saja sakit.

Kedua pipi Silla yang menggembung sempurna berisi kunyahan mie ayam itu, mengangguk lirih. Meskipun lidahnya terasa pahit, tapi dia dengan lahapnya menyuap mie ayam tersebut ke dalam mulut. "Abis paketnya, Ath. Gua juga gak ada pulsa."

Bahu Athala menurun berat. Sekarang dia ketahui alasan mengapa Silla sangat sulit dihubungi tadi. Kepalanya memangut paham. Tidak ingin lagi dia mencecari Silla dengan ucapan yang menampiknya ketika dia sedang kurang sehat begini. "Tadi Chandra nanyain, katanya kenapa lo gak masuk hari ini."

Mendengar hal itu sontak membuat kedua netranya terbuka dengan sempurna. Dia menelan dengan paksa mie ayam yang masih butuh beberapa kunyahan lagi untuk halus. Tenggorokannya terasa sangat penuh. Dia menepuk-nepuk dadanya kasar karena kesulitan menelan. "Hah? Seriusan lo? Kok bisa sih dia nanyain gua? Terus lo jawab apa, Ath?"

"Jawab apa adanya. Bilang kalau lo gak bisa masuk sekolah karena sakit. Pas gua jawab gitu, mukanya rada berubah dikit. Kayak, ngerasa bersalah terus khawatir juga. Gak tau juga sih, muka dia kan susah ditebak," jelas Athala. Kedua bahunya menggedik tak yakin.

"Emang khawatir kayaknya. Apalagi kan ditambah kalau gua gak aktif wa, jadi mungkin dia emang beneran nyariin gua," tegas Silla mempertahankan dugaan Athala yang belum jelas adanya. Dasar memang, saking inginnya dicari oleh Chandra.

Athala mengangguk, mengiakan ucapan Silla yang kekeh berkata demikian. Mungkin bisa jadi memang dugaannya benar, secara kan keduanya kan memang bersahabat dekat. Apalagi setahu Athala, mereka berdua telah menghabiskan waktu bersama, dan tak sengaja juga kemarin Athala melihat Silla pulang dengan keadaan mata yang memerah sembab. Tanpa dia bertanya penyebabnya, itu sudah pasti karena Chandra. Apa lagi kalau bukan membahas perihal perasaan mereka yang tak kunjung menemukan titik terangnya.

Beralih ke perempuan itu yang sibuk menyendok suap demi suapnya mie ayam dengan senyum yang terbit. Meski rasa pening masih menerjang kepalanya, tak membuat senyum itu hengkang dari wajah. "Romantis banget, pake acara nanyain kabar segala. Anjir, baper banget gua!"

Dia senang untuk hari ini. Meskipun tidak bisa mengabari Chandra mengapa dia tidak hadir di sekolah, tapi Chandra ternyata menanyakan kabarnya pada Athala. Dia merasa bersyukur atas kepedulian Chandra yang tiada habisnya.

Meski tak menelan satu pil obat pun, rasanya kesehatan Silla mulai pulih perlahan. Dengan mendengar kabar bahwa Chandra menanyakan ketidakhadirannya di sekolah saja, sangat membuat Silla merasa senangnya bukan main. Mungkin terdengar berlebihan bagi sebagian orang, tapi percaya saja. Ketika kalian sedang jatuh cinta dengan seseorang, maka apa pun yang berhubungan dengannya, pasti akan membuat kalian kepalang senang.

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang