Astrophile 27: Komunikasi Pagi Hari
Nanti, bila kabarku sudah menghilang dan kita sudah tak lagi sedekat ini. Satu hal yang ingin kukatakan adalah maaf. Maaf karena pernah dan masih mengharapkanmu sedalam itu. Maaf karena tidak bisa kukubur dengan cepat perasaan ini. Maaf karena telah memberikan kesan buruk selama mencintaimu. Sungguh, tidak ada niat untuk menoreh luka atau membuat kenangan tidak baik.
Untuk perasaanku padamu, kuucapkan terima kasih. Sikap diam, tidak peduli, atau egoismu pada perasaaku selama ini tidaklah salah. Itu wajar ditunjukkan pada seseorang yang serakah perihal cinta sepertiku. Aku yang hanya tidak memahami, jika langit haruslah tetap kupandang sebagai langit tanpa berharap bisa memeluknya.
****
Saat sang surya tengah berhasil membuat langit tenggelam, mengubahnya menjadi kelam. Bersamaan dengan itu pula, dua remaja yang sebelumnya saling bertukar kata, bercanda ria, menghabiskan banyak waktu bersama, telah kembali ke rumahnya masing-masing. Awan kelabu berhasil membuat mereka berpisah, menyudahi obrolan ringan tepat ketika langit jingga tenggelam.
Perempuan yang cintanya bertepuk sebelah tangan itu langsung merebahkan tubuhnya yang pegal di ranjang empuk kesayangannya. Matanya terpejam ringan seraya kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas dengan sempurna. Ingatannya menilik jauh kejadian tadi siang yang dia habiskan dengan pujaan hatinya.
Silla memang gemar mengingat-ingat kejadian yang menurutnya terlalu tak boleh untuk dilupakan begitu saja. Dadanya membuncah bahagia kala sosok Chandra begitu kuatnya melekat di ingatan. "Apa sih, kok gua jadi kayak orang gila gini. Senyum-senyum sendiri terus."
"Emang udah gila kan dari dulu," timpal seorang lelaki yang baru saja tiba di kamar Silla. Sosoknya langsung saja mendudukkan diri di samping perempuan yang tengah terkapar dengan perasaan gembiranya itu.
Sontak kepala Silla langsung menoleh ke arah samping ranjangnya yang terasa lebih condong karena diduduki oleh Athala. Mata Silla langsung memicing tajam menatapnya. Bibirnya berdesis pelan. "Dih, kabel lo? Nyamber mulu."
Wajah Athala terangkat bingung. Kedua alisnya bertaut heran. Dia duduk bersila menatap saudaranya itu yang sedang bangkit dari posisinya. "Kenapa lo? Seneng amat kayaknya. Pasti karena Chandra lagi nih, ketebak sama gua."
"Biarin aja kenapa sih! Lo mah gak bahagia amat liat gua seneng. Iri ya lo?" tampik Silla seraya badannya yang sudah tegap sempurna. Dia juga mengikuti gaya duduk Athala di posisinya saat ini. Kedua insan yang gemar bercekcok karena hal kecil, kini tengah saling berhadapan.
"Iri? Males amat iri. Kan siang tadi gua abis jalan sama pacar," jelas Athala menyinggung kembali ucapannya tadi siang. Mengenai pernyataan yang menurut Silla sangat tiba-tiba, tidaklah patut untuk dipercayai begitu saja.
Perempuan itu menunjukkan jari telunjuk serta jari tengah tangan kanannya secara bersamaan. Benar-benar bersumpah jika dia tidak percaya akan ucapan Athala meskipun lelaki itu sudah meyakinkannya beberapa kali. "Sumpah, gak percaya, asli. Lo beneran apa cuma sebatas bilang doang sih? Masa iya lo bisa punya pacar."
Athala membalasnya dengan jari telunjuk yang mengarah tegas ke arah Silla. Padahal sudah diyakinkan berkali-kali, tapi Silla seolah enggan percaya. Dasar, berbeda jika kepada Chandra, dia pasti langsung percaya. "Real anjir! Udah bilang berapa kali gua sama lo? Lagian, kisah cinta gua kan gak ngenes-ngenes amat kayak lo."
"Dih, tetep gak percaya gua. Masa iya orang kayak lo ada yang mau," sarkas Silla menohok. Matanya memutar searah jarum jam. Kedua tangannya saling melipat di depan dada dengan decakan pelan yang keluar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romance[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...