Astrophile 30: Air Mata Sendu

16 1 0
                                    

Astrophile 30: Air Mata Sendu

Coba lihat lagi sekarang, sudah sejauh mana jarak kita saat ini? Entah ini aku yang memilih diam atau kamu yang sudah tak lagi peduli. Salah satu hal dari dua kemungkinan itu membuat hubungan kita terjeda. Aku yang tidak tahu harus bagaimana memulai obrolan denganmu, dan kamu, dengan perasaan yang tak kutahu isinya.

Aku berusaha mati-matian mencari kesibukan lain untuk melupakanmu, sedangkan kamu tidak perlu berusaha untuk itu. Kadang aku malu, malu denganmu yang bersikap biasa saja tanpaku. Sedangkan aku? Aku harus berusaha keras agar bisa tanpamu. Mungkin ini juga karena aku terlalu bergantung hidup padamu, ya? Tapi jujur, aku tidak bisa tanpamu.

****

Kepala Chandra sedikit condong ke kiri. Kedua alisnya menaik ke atas menciptakan guratan pada dahinya. Meneguk ludahnya dengan paksa pada tenggorokannya yang sangat terasa kering. "Emang gak mau gua jatuh cinta?"

Kali ini, tawa Silla benar-benar menyembur dengan sempurna. Apa yang dia dengar dari lelaki di depannya itu seperti lelucon untuk anak kecil. Hambar dan tidak lucu. "Apa sih, Chan, dasar...."

"La...." Dengan begitu lirihnya Chandra berujar. Dia benar-benar dibuat gila oleh tingkah Silla saat ini. Tak biasanya perempuan itu menampilkan sikap yang demikian.

Jika Chandra saja kebingungan dengan tingkahnya, Silla juga merasakan hal yang sama. Dia tak mengerti dengan dirinya sendiri. Pikirannya dengan rancu mencemooh otaknya dengan dugaan yang membuat hatinya sakit sendiri. Dia ingin percaya pada ucapan Chandra yang mengatakan jika dia memang menyayangi dirinya, tapi Silla juga takut. Takut merasakan sakit jika dia mempercayai hal itu.

Bukan, bukan karena dia tidak mempercayai Chandra. Hanya saja, dia takut jika Chandra mengatakan itu setengah tidak sadar. Dia lelah, lelah karena mempercayai apa yang membuatnya sakit. Silla sadar posisi jika saat ini dia tengah mencintai sendiri. Sama ketika Chandra mengatakan hal semanis itu dengan tiba-tiba, maka hal yang sakit akan bisa dia dapatkan tanpa aba-aba juga.

"Lo kenapa sih? Mulai suka ya sama gua, aduh...," lontar Silla berusaha menormalkan kembali raut wajahnya. Mencoba menepis rasa canggung yang tengah menyelimuti keduanya.

"Gak sih, biasa aja tuh," jawab Chandra dengan intonasi yang bercanda. Berniat untuk mengembalikan keadaan seperti semula, penuh senda gurau. Tapi, Silla mengartikan itu dengan tanggapan lain. Heran, Silla itu membingungkan. Ketika Chandra mengatakan hal baik yang condong pada perasaannya seolah mendapatkan sedikit respon, dia tak percaya. Tapi, jika Chandra mengatakan suatu hal yang menyakiti dirinya, dengan begitu saja dia percayai.

Kedua mata Silla memicing menanggapinya. Penuh selidik menatap Chandra. Wajahnya memangut-mangut seraya terus mengamati lelaki itu. Kedua tangannya dia lipat di depan dada. "Lain di mulut, lain di hati tau."

Salah satu alis Chandra terangkat bingung. Dia juga menatap Silla dengan netra yang sama memicingnya. Butuh penjelasan mengenai ucapan yang baru saja dia dengar. "Jadi, selama ini yang lo bilang itu lain di mulut lain di hati?"

"Kalau soal perasaan, cinta, dan suka ke kamu, itu sama kok," jelas Silla menjawab kebingungan Chandra. Perempuan itu berkata dengan penuh keyakinan.

"Kalau kata Dilan, 'Aku belum mencintaimu, tapi gak tau nanti, mungkin sore.' gitu katanya." Chandra mengucapkan sepenggal cuplikan dari film yang sempat tren itu. Film bernuansa remaja dengan gaya percintaan ala anak sekolah.

Perempuan itu meletakkan kedua tangannya di atas paha setelah sebelumnya saling melipat satu sama lain. Matanya tak lepas sedikit pun dari wajah teduh lelaki itu. Silla menghirup rakus oksigen di sekitarnya. Menyejukkan kepalanya yang terasa memberat perlahan. "Kalau kamu kapan cinta aku?"

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang