Astrophile 44: Tak Ada Alasan Bertahan

15 1 0
                                    

Astrophile 44: Tak Ada Alasan Bertahan

Ketika kita menggenggam sesuatu dengan sangat erat, maka kita juga harus siap kehilangannya dengan begitu sakit. Kita tidak bisa memaksakan suatu hal untuk terus membersamai kita. Setiap hal memiliki kebebasannya sendiri. Jika kamu berpikir bahwa cinta akan berhasil dengan kamu terus mengikatnya dalam hidupmu, maka pikirkan kembali setiap hal yang terluka juga karenanya. Apa yang dipaksakan itu tidak baik. Maka, biarkanlah cinta itu sendiri mengalir dengan bebas. Biarkan cinta itu hadir dengan murni. Setiap orang berhak mencintai, berhak juga dicintai, dan setiap orang berhak mendapatkan porsi cintanya masing-masing.

-Kata Langit, 1000sky.

****

Kejadian di taman kota memang sudah selesai yang ditutup dengan bisikan menenangkan dari Chandra. Tapi, malam melelahkan ini masih saja berlanjut untuk Silla. Perempuan itu meneruskan kembali kegiatan tangisnya di kamar bernuansa biru miliknya. Ditemani Athala yang tak hentinya mencemaskan perempuan itu.

Dengan sabarnya Athala menunggu perempuan itu sampai merasa tenang. Setelah menceritakan apa yang terjadi di taman bersama Chandra, justru Silla langsung menangis tersedu-sedu karenanya. Ketika dia sadar jika ucapan yang dia lontarkan selalu menampik argumen Chandra dengan jahatnya. Silla terbawa emosi, dia saja bahkan seolah tak sadar saat melakukan itu.

Waktu yang menunjukkan sudah hampir masuk tengah malam, tak mampu membuat dua insan itu mengistirahatkan tubuhnya di rumah masing-masing. Sungguh, benar-benar malam yang panjang dengan rasa sakit yang luar biasa.

Sudah lebih dari 15 menit untuk Silla melangsungkan tangisannya. Kepalanya mulai terangkat perlahan. Bahunya yang sedari tadi menurun berat, dia coba tegakkan. Matanya yang sudah memerah dan membengkak, dia arahkan tatapannya pada Athala. Hatinya tersayat pedih melihat keadaan Silla yang kacau seperti ini. Sangat tak tega dengan kondisi sepupunya yang menyedihkan di matanya.

"Sil, hubungan antara dua manusia emang kadang bikin bingung. Sebentar, kayak paling deket banget, tapi besoknya, udah asing lagi seolah gak saling kenal. Dari sini lo paham, 'kan harusnya gimana sama chandra?" tanya Athala. Matanya juga menatap balik perempuan itu dengan penuh intimidasi.

Silla mengangguk lirih. Berdeham sebentar agar suaranya yang serak kembali normal. "Paham kok, Ath. Gua harus sabar, iya, 'kan?"

Athala menyanggah itu dengan gelengan kepala yang tegas. Tak akan lagi dia membiarkan Silla berlarut dalam cinta sendirinya ini. Mungkin memang sudah saatnya untuk diakhiri, dan Athala juga sudah mencapai batasnya untuk berhenti mendukung. "Enggak, lo harus pergi, Sil."

"Atau harusnya, gua sadar ya, Ath?" tanya Silla masih enggan menerima kenyataan yang sudah jelas terpampang di depannya. Dia memang masih belum ingin melepaskan Chandra. Sosok lelaki yang sudah dia cintai sejak lama.

"Dari dulu juga lo kan sadar, Sil. Sekarang emang udah beneran tiba saatnya lo buat pergi dari Chandra," lontar Athala menegaskan kembali ucapannya. Kali ini, dia akan berusaha mematahkan argumen Silla yang terus mengatakan ingin mencintai Chandra. Tidak, kali ini sama sekali tidak akan lelaki itu memberikan dukungannya. Sudah cukup bagi kedua insan itu saling menyakiti satu sama lain.

Perempuan itu tetap mengabaikan perkataan Athala yang memiliki tanggapan berlawanan arah dengannya. Meskipun tadi di taman dia dengan jahatnya menuntut Chandra dengan ucapannya, tetapi tak ada sedikit keinginan pun untuk melepaskannya. "Atau gua harus lebih sabar lagi, Ath?"

Tetap saja gelengan kepala yang akan menjadi jawaban dari Athala. Lelaki itu memang sudah menegaskan pendiriannya. Tak akan mampu diruntuhkan oleh Silla sekali pun. "Sila, udah habis waktunya buat sabar atau pun sadar. Udah habis masanya."

"Enggak, Ath. Jangan nyuruh gua buat pergi atau ngelepas Chandra dulu. Gua masih sanggup nunggu Chandra, gua masih butuh dia. Ucapan gua yang bilang seolah pengen berhenti, enggak, Ath! Bohong, gua bohong soal itu. Gua gak pernah mau buat ngelepas Chandra." Silla dengan tegasnya menggelengkan kepala. Mematahkan argumen Chandra dan ucapan dia yang sebelumnya seolah memiliki maksud untuk meninggalkan pujaan hatinya.

"Lo butuh dia, tapi dia gak butuh lo. Dia bisa bahagia tanpa lo, Sill. Bahagianya dia gak butuh lo. Malu dong sama dia yang biasa aja tanpa lo. Sedangkan lo malah bertingkah gak jelas kayak gini. Sadar lagi, lo itu perannya mencintai, bukan dicintai. Seingin apa pun lo tetep ada di sisi Chandra, belum berarti dia juga menginginkan hal yang sama," kilah Athala dengan perkataan yang sungguh menyayat hati Silla. Itu demi kebaikannya juga. Jika Athala terus saja mendukung hubungan Silla dan Chandra, maka perempuan itu akan terus merasakan sakit yang berkepanjangan setiap waktunya.

Benar, perkataan Athala memang berhasil menusuk tepat ke sasaran. Silla juga tak menyalahkan itu. Terlalu munafik ketika dia menyangkal perkataan yang sudah benar adanya. Tapi, hanya saja Silla enggan untuk membenarkannya. Sehingga dia terus saja melihat ucapan Athala dengan tanggapan ketidaksetujuan. "Kalau bukan karena mampunya gua nunggu Chandra, apalagi yang bisa bikin gua buat tetep bisa di deket dia, Ath? Perasaan gua? Gak bisa, gua udah ditolak."

Athala tanpa bosan terus menggelengkan kepalanya dengan tegas. Akan terus dia lakukan hal itu hingga Silla menyuarakan keputusan yang lelaki itu inginkan. "Enggak ada alasan lagi. Lo emang udah seharusnya ngelepas Chandra. Denger, lo gak tau perasaan Chandra yang sebenernya, 'kan? Meskipun di mulut dia bilang gak menginginkan kepergian lo, tapi kita gak tau hatinya. Lo sendiri yang bilang kalau dia selalu punya dua tanggapan yang berbeda."

"Tapi, Ath. Setelah gua ngelepas Chandra, apa yang bakal terjadi? Gua gak mau kita jadi asing, seolah dua orang yang gak saling kenal sebelumnya. Gua benci hal itu kalau sampe terjadi di antara kita berdua. Kurang puas apa dunia bikin gua se-sakit ini? Belum puas juga bikin gua selalu gagal dalam masalah percintaan setelah sebelumnya berhasil bikin gua trauma buat jatuh cinta lagi?" Menyedihkan memang. Siapa yang menginginkan kegagalan dalam mencintai? Setiap manusia selalu ingin memiliki kisah yang berhasil dalam memperjuangkan seseorang.

"Percaya, Sil. Setelah lo dengan ikhlas ngelepas Chandra, akan ada seseorang yang bisa mencintai lo dengan tulus, sama halnya seperti lo tulus mencintai Chandra," jelas Athala menenangkan.

Gelengan lirih Silla berikan sebagai jawaban. Silla tak percaya akan hal itu. Terlebih karena dia selalu berangan jika seseorang itu memiliki kesamaan persis seperti Chandra, yang padahal dia sendiri tahu jika Chandra tak ada duanya. Dengan ini paham, bukan? Silla tidak menginginkan orang lain selain Chandra. "Enggak, Ath. Lo pikir gua gak berusaha buat liat orang lain selain Chandra? Gua berusaha, Ath. Tapi apa? Gua selalu berharap jika orang itu adalah Chandra. Gua selalu ngeliat wajah Chandra di setiap orang yang mau coba gua cintai. Gak bisa, Ath. Yang gua mau itu Chandra, bukan orang lain."

Athala juga paham. Tidak mudah menghapus perasaan pada seseorang yang sosoknya kita cintai dengan sangat. Dia juga tahu bahwa se-sulit itu bagi Silla untuk melepas Chandra. "Lo gak bisa, karena lo-nya gak mau. Karena saat ini lo masih cinta sama Chandra. Gak ada keinginan dari lo buat ngeikhlasin Chandra. Susah jadinya, sedangkan dari diri lo sendiri aja nolak buat ngelakuin itu."

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang