Astrophile 29: Perubahan Sikap

13 1 0
                                    

Astrophile 29: Perubahan Sikap

Ketika aku mendekat, kamu memang tidak berlari menjauh. Tapi, ada benteng tak kasat mata yang dengan kokohnya berdiri mengelilingimu. Batas yang membuatku tetap berdiri pada tempatku saja. Aku cukup tahu diri perihal itu. Tidak ingin memaksa temboknya agar cepat runtuh meskipun dengan sangat aku menginginkannya.

Pintunya tidak akan terbuka jika bukan kamu yang membukanya. Meskipun temboknya akan roboh suatu saat nanti, tapi tak menjamin jarak antara perasaanku dan perasaanmu juga berlari mendekat tiada sekat. Aku juga sedang mencoba menyadarkan diri. Bahwa yang kamu mau bukanlah aku, dan mungkin orangnya tidak akan pernah menjadi aku.

****

Ucapan Chandra yang singkat membuat benih-benih harapan yang sedang damainya bersemayam, kini kembali tumbuh. Menciptakan angan-angan yang berusaha Silla tenangkan. Tak ada yang mampu menahan jatuh cinta jika seperti ini. Ah, mungkin orang lain bisa. Tapi, Silla tak bisa jika orangnya adalah Chandra.

"Sayang sama sahabat sendiri, gak papa, 'kan?" sarkas Chandra mematahkan harapan Silla yang hampir muncul betul sinarnya. Arunika itu kembali dibuat padam oleh kenyataan yang menyakitkan.

Benar, sahabat. Sudah sedekat apa pun mereka, tak menyangkal jika Chandra hanya menganggapnya sebagai sahabat saja. Silla juga harusnya tahu diri, dengan jaraknya yang semakin dekat dengan Chandra, tak menjamin hatinya juga ikut mendekat. Tak ada jaminan yang bisa menjanjikan jika kedua hati mereka menjadi tak berjarak. Tidak ada yang bisa melakukan itu, kecuali Chandra sendirilah yang membuka pintunya.

"Hah? Oh iya! Kita kan temenan, hehe. Wajar aja, gak papa...." Seruan Silla menutupi rasa sakit yang menyayat hatinya. Dengan semburat senyum yang dipaksakan, dia tetap menegarkan diri. Lucu memang, mengapa Silla harus merasa sakit jika dari awal hubungan mereka hanyalah sebatas sahabat saja. Tapi, karena itulah nyatanya, makanya Silla menjadi sakit.

"Temen? Gua anggap lo lebih dari temen." Lelaki itu bertanya dengan alis yang bertaut bingung. Hubungan yang dia anggap lebih dari sekadar teman, apa Silla tak beranggapan seperti itu juga?

Silla menampilkan wajah datarnya tanpa ekspresi. Dia tak mengerti dengan sikap Chandra yang seolah sedang menarik ulur perasaannya. Ditambah dia juga tak memahami diri sendiri membuat pikirannya sangat rancu.  "Sahabat."

Chandra menatap Silla dengan begitu lekat. Binar mata yang berlinang pada kedua netranya seolah sedang memancarkan pesona. Hembusan napas yang terdengar begitu lelah telah dia lontarkan berkali-kali. "Mau nyoba jadian?"

Deg. Perempuan itu terkesiap. Memastikan diri jika dia tak salah dengar dengan apa yang diucapkan oleh Chandra. Bibirnya terbuka sedikit, alisnya bertaut heran. Apakah perlu dia menampar Chandra untuk memastikan apakah saat ini dia tengah sadar dengan apa yang dia ucapkan. Meskipun memang dia berkata demikian hanya sekadar bercanda saja, tapi apakah dia sadar? Sekali lagi, apakah Chandra saat ini sadar? "Tiba-tiba lo nanya gitu, Chan? Ngajak jadian kayak ngajak makan."

"Emang kalau kita jadian ada yang berubah, La? Sama aja, 'kan? Cuma mengklaim lo milik gua, dan gua milik lo," tampik Chandra dengan begitu cepat. Netranya begitu kuat menghujam Silla di balik lensa kacamatanya. Tiba-tiba, keadaan menjadi serius. Tak ada tawa hambar atau pun kekehan ringan yang saling mereka lontarkan seperti tadi. Hawa di sekeliling mencekam mereka dengan kuat.

"Ada, Chan. Pasti ada aja yang bakal berubah, kayak bakal lebih sering overthinking, cemburuan, dan mungkin posesif juga," jawab Silla dengan dugaan yang dia perkirakan akan terjadi jika keduanya saling menjalin hubungan satu sama lain. Masih hipotesis memang, tapi tak ayal jika kemungkinan seperti itu pasti saja terjadi.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang