Astrophile 35: Awal Berakhirnya Perasaan
Meskipun aku sudah menyadarkan diri berkali-kali, pada akhirnya tetap saja aku selalu percaya diri seolah kita saling mencintai. Padahal hanya aku yang menyimpan rasa ini. Aku memang bukan satu-satunya orang yang selalu kamu lihat. Masih ada dia yang lebih sering kamu tatap matanya dengan hangat.
Entah sebenarnya aku adalah pilihan kedua atau tidak masuk dalam daftar pilihan, tapi rasanya hidupku sangat istimewa sekali jika di sampingku ada dirimu. Aku tidak pernah menyangka bahwa fatamorgana semesta sangat memabukkan seperti ini. Membuat aku bergantung hidup pada satu hal yang semu.
****
Kita memang membutuhkan seseorang yang mampu memahami kita. Dalam cinta, yang lebih kita butuhkan adalah komunikasi, bercerita, dan pemahaman. Bukan hanya sekadar kata yang mengungkapkan bagaimana besarnya rasa cinta itu. Karena cinta butuh tindakan yang nyata. Meskipun Silla tak mendapatkan itu dalam kisah percintaan yang berbalut kata saling, tapi Silla bisa mendapatkan itu dalam ikatannya dengan Chandra atas nama persahabatan.
Entah harus berapa rasa syukur yang dia ucapkan untuk membalas kebaikan Chandra padanya. Mengenal Chandra di hidupnya adalah hadiah paling istimewa selama dia hidup. Mengesampingkan akhir kisahnya yang tak tahu akan bahagia atau tidak, Silla hanya sedang ingin mensyukuri nikmat yang telah Tuhan beri.
"Gak usah malu, La. Lo bebas mau bertingkah apa pun di depan gua. Gua bukan orang asing, dan gua gak pernah beranggapan kalau lo sedang mempermalukan diri sendiri. Jadi diri lo sendiri di saat sama gua, La. Gua sayang lo," ujar Chandra memberikan penjelasan agar Silla memahami maksudnya. Chandra hanya ingin Silla menjadi dirinya sendiri. Menjadi pribadi yang apa adanya.
"Ini diri gua, Chan. Diri gua yang geblek kalau di depan lo," jawab Silla seraya tangan kanan yang dia taruh di depan dada seolah tengah menunjukkan bahwa ini adalah dirinya.
Meskipun beberapa orang mulai berdatangan memenuhi ruangan kelas, tetapi tak membuat Chandra pindah ke tempat duduk asalnya. Kedua insan itu masih menikmati pembahasan seolah tengah menebus waktu kemarin yang tak dihabiskan bersama.
Chandra menyunggingkan senyumnya dengan lebar. Kedua binar mata yang bercahaya seolah menghantarkan ketenangannya pada Silla. Silla tenggelam dalam pesona Chandra yang begitu kuatnya memikat. Jantungnya berdegup kencang, netranya juga mengeluarkan cahaya yang mengkilap berlapis air mata haru. Entah ada apa dengan hatinya, tapi rasanya dia sangat tersentuh dengan tatapan hangat itu. Seolah mata yang tengah dia nikmati indahnya kali ini, tak akan bisa lagi dia nikmati di lain hari.
Deg. Dengan tiba-tiba saja perasaan buruk menghampirinya. Rasa takut yang sempat terkubur sebentar, kini kembali hadir memenuhi rongga hati. Dadanya seketika sesak, entah perasaan apa ini yang tengah menghampirinya. Karena tak ingin merusak suasana, Silla memilih untuk menyemburkan tawa hambarnya. "Udah selucu ini, yakin gak cinta?"
"Belum bisa, masih jauh," jawab Chandra dengan tatapan yang masih lekatnya. Dia mengganti letak kaki kanannya, kini berpindah posisi menjadi kaki kiri yang menindih kaki satunya.
"Jauh kayak apa?" tanya Silla. Kedua alisnya menaik ke atas. Menuntut jawaban pada Chandra secara tidak langsung. Sedangkan sang empu yang ditatap, kini tanpa ragu juga membalas tatapan. Keduanya saling beradu pandang dengan tajam.
"Kayak jarak antara gua sama dia," lontar Chandra begitu ringannya. Tatapan Silla langsung berubah menjadi datar. Sudah hampir lama tak muncul pembahasan mengenai dia di antara mereka berdua. Tapi kali ini, Chandra kembali membahasnya. Benar, sosoknya memang tak pernah lepas dari ingatan Chandra. Tidak salah, hanya saja Silla mengakui jika dirinya tengah cemburu untuk saat ini.
Perempuan itu mengalihkan pandangan. Objek yang ditatap kali ini hanyalah lalu lalang para murid yang dia lihat dari dalam kelas melalui celah pintu masuk yang terbuka. "Nanti juga bisa deket."
Lelaki itu tertegun karena jawaban yang tak disangka keluar dari mulut Silla. Seketika Chandra berpikir, apakah jawaban yang dia lontarkan adalah kesalahan? Lagi, entah untuk ke berapa kalinya situasi canggung kembali menyelimuti keduanya. "Kalau dianya mau deket."
"Siapa tau nanti, takdir gak ada yang tau," timpal Silla dengan intonasi suara yang menaik sedikit. Bibirnya mencebik pelan. Suara decakan samar juga terdengar.
"Diem, La. Gua gak suka lo gitu," tampik Chandra tak senang. Terlebih karena raut wajah dan suara Silla yang mulai berbeda dari sebelumnya.
Perempuan itu menghembuskan napasnya. Dia menundukkan wajah. Padahal tadi pagi susana hatinya sedang begitu baik. Tapi entah kenapa, ketika Chandra membawa sosok cinta pertamanya dalam pembahasan mereka, tiba-tiba saja dia menjadi hilang semangat. Suasana hatinya berantakan. Yang padahal, dia tak pantas untuk cemburu. Dasar, yang katanya selalu sadar ada di mana posisinya, tapi tetap saja cemburu adalah hal yang tak bisa dihindari.
Bahu Silla menurun dengan pandangan yang masih menunduk ke bawah. Dia memejamkan matanya dengan erat. Tidak, dia tak ingin lagi menciptakan jarak dengan Chandra hanya karena sikapnya yang kekanakan. Tapi bagaimana? Perasaannya tiba-tiba saja menjadi rancu. Dengan tak karuan, wajahnya mendongak perlahan menatap Chandra. Dengan kedua mata sendunya memandang.
"Ajarin gua buat memadamkan perasaan, Chan," lontar Silla dengan lirihnya. Bibirnya gemetar dengan kedua tangan yang saling bertaut erat satu sama lain.
"Memadamkan perasaan? Pintu lo belum ditutup emang?" tampik Chandra seraya kedua alisnya yang saling bertaut bingung. Bulu mata yang lentik juga turut menukik dengan retina pekatnya yang menatap.
"Sekali pun pintu gua udah tertutup, bukan berarti perasaannya udah hilang." Pintu yang dimaksud bukan benar-benar pintu. Jika kalian membayangkannya seperti pintu rumah berwarna cokelat tua atau pintu kayu yang menjadi gerbang rumah gubuk, kalian salah. Pintu di sini memiliki makna konotasi. Chandra mengibaratkan pintu sebagai hati Silla.
Masih ingat dengan percakapan mereka tempo lalu perihal Silla yang akan memperkenalkan diri lagi ketika perasaannya sudah hilang? Sejak hari itu, Chandra mengartikan jika Silla memang sudah menutup hati untuk dirinya. Lagi-lagi, mereka memiliki pendapat yang berbeda, memunculkan kesalahpahaman baru.
Chandra mengusap gusar wajahnya. Helaan napas yang begitu kasar kini dia hembuskan dengan sekali napas. Membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. "Gua overthinking, La, sorry."
"Takut karena perasaan gua belum hilang? Iya, emang belum hilang. Tapi, gua lagi berusaha, Chan. Lo tenang aja," tampik Silla menyokong Chandra dengan ucapan yang cukup menyentak. Ditambah dengan mimik wajah yang mulai menajam.
Lelaki itu sangat terlihat campur aduk. Pagi yang semula mereka awali dengan canda tawa, kini harus berganti genre menjadi sebaliknya. Secepat itu semesta mempermainkan mereka? Secepat itukah kebahagiaan dan tawa mereka berlangsung? Tidakkah semesta membiarkan mereka untuk menikmati seruan canda lebih lama?
Perasaan tidak enak hati yang tadi dirasakan Silla, ternyata memang membawa petaka yang buruk. Seperti kejadian sebelum-sebelumnya, Silla pasti akan menyangka jika setelah ini akan kembali ada jeda di antara keduanya. Sialan, dia mengutuk pelan. Padahal baru kemarin dia dan Chandra diselimuti kecanggungan, tapi kali ini harus lagi?
Apa memang sebegitu tidak direstuinya kisah dia dengan Chandra? Apa memang akhir yang bahagia tak akan pernah diperuntukkan untuk mereka? Mungkin, masanya semesta berbaik hati kepada keduanya telah habis. Kini, ia akan menunjukkan takdir yang sebenarnya. Takdir yang seolah sudah menggarisbawahi kisah cintanya tak berjalan dengan manis.
****
Astrophile,
Adipati Chandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romance[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...