Astrophile 43: Pelukan Pertama dan Terakhir

15 1 0
                                    

Astrophile 43: Pelukan Pertama dan Terakhir

Aku sanggup menunggu berapa lama pun itu. Aku siap dengan rintangan yang terjadi ke depannya. Tapi ada juga yang membuatku ragu. Apakah jika aku sudah menunggu dengan begitu lama, akan menjadikanmu milikku pada akhirnya? Apakah dengan melewati banyak rintangan, kamu adalah hadiah yang akan aku dapatkan?

Tidak ada yang membuatku yakin perihal itu. Kamu juga tidak menjanjikan apa pun. Dengan hasil yang masih meragukan, aku tak bisa begitu saja memutuskan untuk menunggu. Bukan karena tak ingin, aku hanya takut jika kamu yang aku tunggu juga tengah menunggu seseorang yang bukan aku.

****

Netranya kembali terangkat. Menatap Chandra dengan kedua alis yang saling bertaut jelas. Tangannya dia taruh di depan dada. Meremat sakit yang tak kasat mata itu. "Gua selalu ngeyakinin diri sendiri kalau perasaan gua gak salah, Chan. Gua selalu optimis kalau nanti, gua bakal berhasil ngebuat lo jatuh cinta. Tapi apa? Ucapan lo kemarin berhasil nusuk gua. Ucapan lo yang jujur tentang gimana repotnya lo sama perasaan gua. Meskipun lo bilang perasaan gak ada yang tau gimana kedepannya, tapi rasanya gua udah gak bisa percaya lagi, Chan."

Suaranya terdengar sangat menyayat. Tersendat-sendat karena susahnya dia bernapas berdampak juga pada pita suaranya. Kedua matanya terpejam erat. Dadanya naik turun bergemuruh kasar. Meminimalisir rasa sakit. Tangannya kembali bergetar dengan hebat. Sial, panic attacknya seketika kambuh di waktu yang tidak tepat. Mengingat dia juga belum mengistirahatkan tubuhnya, semakin mendukung hal itu terjadi.

"Sakit, Chan. Gua nahan rasa insecure, patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan, dan risiko asingnya ini sendirian. Gua selalu ngerasa bersalah setiap harinya karena udah bikin lo kewalahan. Harusnya gua berenti dari lama, ya? Harusnya lo gak gua repotin sama perasaan ini."

Chandra semakin sakit dibuatnya. Jutaan panah seolah tengah menusukkan tajamnya ke setiap organ tubuhnya secara bersamaan. Panah-panah itu terus saja mengulangi hal yang sama sampai Chandra benar-benar mati di tempat. "Jangan gitu, La. Gua gak pernah ngerasa direpotin sama sekali."

"Lo tau? Setiap kali lo cerita tentang dia, gua selalu berpikir, 'Seandainya gua cantik, mungkin lo bisa suka sama gua. Atau seandainya gua gak selalu bertingkah konyol dengan otak bodoh, mungkin lo bisa suka sama gua,' Gua masih selalu bertanya, Chan apa alasan lo gak suka sama gua? Apa karena rambut gua pendek? Apa karena sikap gua yang konyol? Apa karena musik kita beda? Atau karena gua lebih suka nonton pororo dibandingkan berita?"

Terus saja perempuan itu menuntut Chandra dengan pertanyaan yang bahkan tak memberi waktu untuknya menjawab semua itu. Posisinya Chandra saat ini benar-benar sedang disudutkan. Silla bak perempuan yang tak memiliki perasaan melakukan itu. Malam ini, bukanlah Silla yang biasa Chandra temui.

"Waktu gua pikir lagi, mungkin karena emang perasaan lo yang gak pernah ada buat gua. Mungkin emang karena gua bukan dia. Lo pikir, ngelepas lo itu semudah kayak perkataan lo yang nyuruh gua buat berenti? Lo mikir gak Chan gimana sakitnya perasaan gua waktu lo bilang gitu? 'Apa perasaan gua se-salah itu ya? Apa harusnya gua gak pernah jatuh cinta lagi?' Sialan! Pertanyaan bodoh itu selalu bikin gua capek sendiri."

Chandra hanya diam. Mendengar ocehan menyakitkan yang keluar dari bibir Silla. Bukan karena tak peduli, tapi agaknya hanya akan menjadi sia-sia saja jika dia menyanggah ucapan perempuan yang tengah disulut api amarah itu.

Dadanya sesak. Ingin sekali dia berteriak dengan begitu lantangnya. Menampik semesta mengapa hal seperti ini harus terjadi pada keduanya? Kemarin waktu, mereka berdua dibiarkan untuk saling berbagi tawa. Bercerita dengan cerianya seolah perpisahan tak akan pernah ada. Tapi sekarang, dengan begitu ganasnya mereka dihujam rasa sakit dengan level tertinggi.

Mungkin sejak awal, semesta tak pernah berbaik hati padanya. Hanya saja, dia memakai topeng kebaikan. Membiarkan mereka menyicipi kebahagiaan yang fatamorgana itu. Setelahnya, mereka juga harus membayar dengan luka yang setimpal. Tidak, justru lukanya berkali-kali lipat lebih dalam. Semesta tidak adil!

Tatapan kalut keduanya saling beradu pandang. Sorot mata yang seolah berkata jika saat ini mereka sedang tidak menjadi diri sendiri. Wajah rancu yang menggambarkan jika mereka tak ingin dihadapkan dengan keadaan seperti ini. Jauh di dalam hati Chandra, ingin sekali memeluk tubuh ringkih milik perempuan itu. Tubuh yang sudah tak sanggup lagi meneruskan malam yang melelahkan ini.

"Kita ini sebenernya deket gak sih? Lo anggap gua apa, Chan? Apa gua doang yang beranggapan kita deket? Duh, kasian banget ya Silla karena terlalu percaya diri," ujar Silla menajam. Dia masih tak bisa percaya jika sosoknya termasuk peran penting bagi Chandra. Bukankah setiap manusia juga paham? Ketika kita menjadi pihak yang mencintai, agaknya terlalu mustahil mendapat perlakuan manis dari pihak yang dicintai.

"Kita deket, La. Bukan cuma lo yang beranggapan kayak gitu. Gua sahabat lo, dan gua sayang sama lo. Gua juga udah pernah bilang kalau lo itu penting buat gua," tegas Chandra tak merubah argumennya. Ucapannya sudah begitu kokoh. Dia berujar demikian bukan sebatas sebagai kalimat penenang saja.

"Ucapan lo waktu itu cuma kalimat penenang aja kali. Mungkin setelahnya juga lo sadar terus nyesel karena udah bilang gitu. Lagian, bukannya terlalu ribet nganggap gua sebagai orang penting di hidup lo? Lo kan emang gak suka hal yang ribet, Chan."

Lantas, jika sudah begini, perkataan setegas apa lagi yang harus Chandra ucapkan agar Silla memercayainya? Harus sekeras apa lagi usaha Chandra agar pikiran negatif itu tak terus menyerang Silla?

"Percuma, Chan. Mau lo bilang seribu kata yang berusaha buat ngeyakinin gua saat ini, gua tetep ga percaya. Hati gua udah sakit banget. Bahkan mau lo bilang peduli sama gua, sayang sama gua, atau bahkan cinta sama gua, ucapan kayak gitu gua anggap sebagai candaan sama seperti lo bilang lain di mulut lain di hati, kayak waktu itu."

Seolah hanya ada ingatan negatif yang melekat di ingatan Silla, perempuan itu melumpuhkan ingatannya untuk mengingat hal menyenangkan bersama Chandra. Pikiran negatif itu telah berhasil mengelabui Silla dengan begitu sempurna.

Lelaki itu hanya bisa pasrah dengan rentetan kata yang terus menyecari dirinya. Tak berbuat banyak, hanya terus berusaha meruntuhkan emosi Silla saat ini dengan tatapan teduhnya. Tenaganya juga sudah habis. Tengah mencapai detik-detik akan padam. "Maafin gua, La. Mungkin karena ucapan gua yang gak pernah berhasil bikin lo yakin, jadi lo hilang kepercayaan, ya? Tapi, La. Gua beneran tulus peduli dan sayang sama lo. Gak pernah bercanda. Percaya, La."

"Udah ya, Chan. Gua capek, kita udahan aja. Gua butuh istirahat, lo juga pastinya. Makasih buat hari ini. Selasa malemnya terlalu sakit. Semoga selasa selanjutnya, kita udah saling bahagia."

Mendengar ucapan yang dia rasa sebagai penutup hari ini dari Silla, sontak dengan tertatihnya Chandra menegakkan tubuhnya dari posisi. Berjalan dengan terseok mendekati Silla. Tanpa basa-basi lagi, dia menubruk tubuh Silla yang masih terduduk di tempat. Mendekapnya begitu erat tanpa ada celah sedikit pun. Melampiaskan perasaan campur aduk yang membuat mereka saling terluka.

Tanpa tenaga untuk meronta, Silla menyambut hangat dekapan Chandra. Pelukan yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Begitu hangat hingga membuat tangisan Silla semakin menderas sempurna. Perempuan itu meraung bak kehilangan akal.

Keduanya saling menyalurkan sisa energi yang mereka punya. Berbagi kehangatan di tengah dinginnya keadaan malam. Membiarkan keduanya saling merasakan dekapan hangat yang mungkin akan menjadi pelukan terakhir kalinya.

"La, denger ini. Gua gak pernah nyesel kenal sama lo. Gua seneng karena lo hadir di hidup gua. Jangan beranggapan bahwa cuma lo yang anggap kita deket. Kita deket, La, dan lo penting di hidup gua. Gua emang belum bisa bales perasaan lo buat saat ini. Tapi gua berharap, suatu saat nanti prinsip gua bisa runtuh. Gua sayang lo, La. Makasih karena selalu bisa ngertiin gua," Chandra berbisik pelan di telinga Silla. Kalimat tersebut benar-benar menjadi kalimat terakhir untuk malam yang begitu melelahkan ini.

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang