Astrophile 37: Monolog Rasa

7 1 0
                                    

Astrophile 37: Monolog Rasa

Katanya, melepaskan juga bagian dari mencintai. Jika memang begitu, apakah aku harus melepasmu karena aku mencintaimu? Mengapa episode cinta yang aku rasakan selalu perihal kepahitan? Tak pernah ada cinta yang bisa aku bersamakan sampai akhir. Lantas, yang kali ini juga harus berakhir?

Tidak, aku berkata demikian bukan karena aku menyesali perkenalan kita. Hanya saja aku bertanya, apakah setiap kisah yang mulai dengan sungguh-sungguh dan sederhana, harus berakhir setiap kalinya? Aku juga bisa lelah dan mati rasa. Bahkan kadang, menunggu membuatku muak dan ingin menyerah saja. Tapi, itu sama sekali tidak merubah perasaanku yang sudah tumbuh cukup dalam.

****

Sejak perdebatan yang cukup membuat otak dan hati memanas, kedua insan itu tidak saling berkomunikasi. Memilih saling diam sama seperti yang dilakukan kemarin hari dan hari-hari sebelumnya. Silla memutuskan untuk menyendiri sementara waktu. Kini, sosoknya tengah terduduk di gazebo sekolah seorang diri. Matanya menatap kosong ke depan dengan bahu yang menurun berat.

Perkataan Chandra tidak semudah itu dia lupakan begitu saja. Raut wajah yang rancu itu dengan jelas terputar di ingatan Silla. Perasaannya diselimuti rasa bersalah dengan begitu pekatnya. Hatinya mencelos tak enak.

Jadi, ternyata memang se-merepotkan itu perasaan yang dia miliki. Ternyata, se-lelah itu Chandra menghadapi tingkah laku Silla yang terlalu kanak-kanak. Harusnya, Silla menyadari itu lebih awal. Bodoh sekali perempuan itu, membiarkan Chandra kerepotan dengan perasaan yang dia miliki. Perempuan tidak tahu malu.

"Bodoh banget lo, Sil. Lo nutup mata seolah Chandra gak papa sama perasaan lo. Bego, egois lo, Silla!" rutuknya pada diri sendiri. Begitu jelasnya ekspresi penyesalan dan merasa bersalah yang terpampang di wajah.

"Gua capek, La. Lo yang suka, gua yang capek."

"Apa yang lo harepin dari gua? Lo juga tau kalau cinta pertama dan terakhir gua adalah dia."

"Lo pikir bahas perasaan kayak gini gak bikin kepala gua puyeng?"

Napas Silla mendesah dengan begitu berat. Retina cokelat itu mengkilap oleh binar air mata. Jantungnya berdegup tak karuan. Serta kedua tangan yang saling meremat dengan kuatnya.

Jika jatuh cintanya Silla hanya membuat seseorang terluka, maka dia dengan pasrahnya menyerahkan diri agar dibuat mati hatinya. Cinta yang suci itu dia nodai oleh tindakan dan kata-kata yang tak pantas. Silla tak pernah memiliki niat untuk melakukan hal yang menyakiti Chandra seperti ini. Silla telah membuat nama cinta sendiri itu menjadi buruk.

Namun, bolehkah dia jujur? Bukan sekadar untuk mendapatkan pembelaan, hanya saja dia ingin semesta tahu perihal perasaannya. Meskipun sebelumnya dia pernah merasakan jatuh cinta hingga memiliki cinta pertama, tapi jatuh cinta yang dia rasakan pada Chandra itu berbeda. Yah, awalnya mungkin sama, perihal egois dan ingin memiliki memang tak hengkang. Tapi entah, seolah Chandra memiliki cahayanya tersendiri. Silla mendapatkan timbal balik dari apa yang dia lakukan. Meskipun perasaannya memang bertepuk sebelah tangan, tapi Silla mendapat peduli.

Dari Chandra juga, banyak pelajaran yang didapat. Perasaannya sudah tidak se-egois dulu. Mungkin sudah saatnya ya dia melepaskan? Jika ditanya ingin atau tidak, mau atau tidak, siap atau tidak, sanggup atau tidak, maka tidak adalah jawaban yang tak pernah berubah. Tapi sepertinya, semesta mengharuskan dia untuk melakukan itu.

"Ini udah tiba waktunya apa buat gua ngelepas lo, Chan? Gua gak dikasih waktu sedikit lebih lama lagi?"

Sebenarnya, sejak dia memutuskan untuk jatuh cinta pada Chandra, tak pernah sekali pun dia berpikir akan melepaskan Chandra suatu hari nanti. Bukankah penjuru alam semesta juga tahu seberapa antusiasnya Silla memperjuangkan Chandra? Seberapa semangatnya dia menceritakan perihal Chandra? Seberapa inginnya perasaan itu terbalas? Semesta juga tahu akan hal itu. Jadi, mana mungkin dia se-sukarela itu melepas pujaan hatinya?

Cerita ini terlalu singkat untuk mendapat akhir yang tidak bahagia. Masih banyak hal yang ingin Silla ukir bersama Chandra. Masih ada senja yang ingin dia lihat bersama, masih ada pantai yang ingin dia datangi bersama, masih ada permen kapas yang ingin dia habiskan bersama, masih ada hal lainnya yang belum sempat dia lakukan bersama. Jadi, apa secepat itu semesta menyuruhnya agar berakhir? Pada titik yang sudah benar-benar mencapai lelahnya, apa semesta tak juga mengizinkan dia agar bahagia untuk kisah asmaranya?

Silla mengusap kasar air mata yang menetes dengan tak sopan membasahi pipi. Sial, rasanya sangat sesak sekali. Rongga pernapasannya seolah penuh karena rasa sakit yang dia terima. Bahkan dia masa bodoh dengan ada di mana posisi dia saat ini, perempuan itu sesenggukan tanpa tahu malu.

"Sakit banget sialan. Sakit banget...."

Bukankah baru kemarin hari dia berbahagia? Menikmati mie ayam dan susana taman kota di pagi hari. Melihat ramainya lalu lalang anak kecil sembari memakan beberapa tusuk telur gulung. Apakah tak diizinkan untuknya membuat kenangan lebih banyak agar bisa dia cetak dengan jelas di ingatan?

Silla juga ingin memiliki kisah asmara yang menyenangkan seperti orang lain. Tapi, mengapa dia tak pernah mendapatkan itu? Dia pikir, Chandra adalah seseorang terakhir yang diperuntukkan untuk menjalin kisah bahagia bersamanya. Tapi, bagaimana jika itu benar? Maksudnya, orang terakhir tapi tidak untuk menjalin kisah bahagia bersama. Semesta jahat sekali ya.

Apakah Chandra akan merasa ada yang hilang di hidupnya setelah Silla memutuskan untuk berhenti? Atau, lelaki itu akan tetap menjalani kesehariannya seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa? Sebenarnya wajar saja, karena memang Chandra tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Harusnya memang begitu, bukan? Chandra terus melanjutkan hidup dengan bebas tanpa ada lagi Silla yang merepotkan di hidupnya.

"Iya Chan, gua juga tau kalau perasaan gua bikin lo capek. Tapi, gua juga sama sakit. Gua juga sama bingungnya. Kadang, ucapan lo terlalu jahat buat gua denger."

Bohong jika dia mengatakan bahwa ucapan Chandra tidak membekas di hati. Dia juga manusia yang memiliki perasaan, masih bisa merasakan sakit di hati. Hanya saja, dia kembali berpikir. Chandra bertingkah seperti itu juga karena ulahnya. Jadi, dia tak ingin sepenuhnya menyalahkan Chandra. Semua dimulai juga karena dia yang tak tahu diri.

Masih dengan dugaan yang sementara saja, hatinya sudah sesakit ini. Apalagi jika nanti dia benar-benar melepas Chandra dengan hati yang tak ingin. Entah berapa kali lipat yang mesti dia tanggung sakitnya seorang diri.

****

"Kamu harus tahu bahwa kamu tidak akan pernah memperoleh apa yang tidak ditakdirkan untukmu." - Ali bin Abi Thalib.

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang