Astrophile 42: Rasa Bersalah Mencintai

19 1 0
                                    

Astrophile 42: Rasa Bersalah Mencintai

Yang katanya, luka tersakit hadir dari seseorang yang kita anggap tidak akan menyakiti. Sebenarnya, aku memiliki ekspektasi jika kamu tidak akan melukaiku. Atau mungkin, kamu memang tidak pernah melukaiku, hanya aku saja yang dikhianati oleh harapanku sendiri.

Luka yang kamu tinggalkan, memang luka yang paling susah sembuhnya. Luka yang tak mudah untuk sembuh karena cukup dalam sakitnya. Tapi, luka ini adalah luka yang dengan senang hati aku terima. Luka termanis dengan banyak memori di dalamnya. Luka yang akan aku abadikan selamanya.

****

Chandra benar-benar tidak tega melihat perempuan di depannya ini. Menangis tersedu-sedu karena dirinya. Bajingan memang! Bisa-bisanya dia membuat seseorang yang menyukainya terluka hingga seperti ini. Harusnya, dia tak membuat Silla merasakan sakit yang begitu hebat.

"Maafin gua, La. Stop, jangan nangis lagi. Hati gua sakit, La," pinta Chandra pelan. Pipi milik lelaki itu pun sama basahnya saat ini. Dihujani air mata kesakitan seperti Silla.

Seolah tak memiliki hati nurani, semesta terus mencambuk mereka dengan luka. Menendang akal sehat dua insan itu hingga hanya rasa kalut yang tersisa. Bahkan ketika raga mereka mulai melemah, tak kunjung juga dunia menyudahi perbincangannya.

Mungkin sebelum mereka benar-benar mati, tak akan juga semesta membuat malam ini berakhir. Bahkan seolah ia sudah mengatur strategi sedemikian rapi, tak ada satu hambatan pun yang menghalangi. Jalanan hening, tak disuguhi riuhnya lalu lalang kendaraan. Taman kota juga tentram, tak digeluti bisingnya ocehan manusia. Benar waktu yang pas bukan? Semesta sepertinya memang sudah mengatur malam ini dengan begitu baik. Yah, dan kita ucapkan bahwa rencana semesta untuk malam ini sangatlah berhasil. 

"La, harusnya kita emang gak usah kenalan ya? Semua ini gara-gara gua juga awalnya. Mungkin kalau kita gak kenalan, lo gak bakal kayak gini, La. Gua mau tetep stay sama lo, tapi gua gak ada alasan untuk itu," lontar Chandra begitu beratnya. Tangan kanannya dia gunakan untuk meremat dadanya yang terasa sesak. Sedangkan tangan kirinya, dia kepalkan begitu kuat.

"Nyesel lo kenal gua, Chan? Apa harus ada alasan buat tetep tinggal?" tampik Silla dengan angkuhnya. Kedua matanya yang berlinang cairan bening, dia tajamkan ke arah Chandra.

Lelaki itu menggelengkan kepala tiada tenaga. Bukan itu yang dia maksud dari ucapannya. Mungkin salahnya juga karena tidak ada penjelasan setelahnya, jadi membuat Silla salah paham. "La, gua gak pernah nyesel kenal lo."

Silla tertawa hambar. Entah, perempuan itu  terlalu enggan untuk mempercayai ucapan Chandra kali ini. Bahkan, dia saja sedang tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. Menatap Chandra dengan angkuhnya. "Terus? Kalau gua kasih tau alasannya, apa lo bakal tetep tinggal?"

"Apa alasannya, La?" tanya Chandra tanpa memberi jeda pada Silla setelah mengucapkan kalimatnya. Laki-laki itu menatap intens ke depan dengan retina yang sudah lelah.

"Buat apa? Kalau keinginan pergi aja hadir dari lo sendiri," sentak Silla dengan tajam. Salah satu tangannya mengibaskan poni panjangnya yang sudah lepek ke belakang. Terpampanglah jelas wajah Silla yang sudah benar-benar tak berenergi.

"Keinginan belum tentu bisa dicapai." Chandra masih tetap mempertahankan argumennya. Dia tak ingin pikiran negatif Silla semakin membuat keadaan ini menjadi runyam.

Mungkin malam ini adalah malam paling berat yang pernah mereka lalui bersama. Karena biasa mereka menghabiskan waktu kurang dari 120 menit untuk membahas perihal perasaan, tetapi kali ini berkali lipat lebih daripada itu. Mungkin, semesta ingin keduanya menyelesaikan permasalah ini dalam satu waktu sekaligus. Karena selama ini, mereka hanya menunggu titik terangnya saja, tanpa ada usaha untuk mencari.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang