Astrophile 11: Pertanyaan atau Pernyataan? (Confess)
Sejak kutemui ketenangan di dalam sorot matamu yang teduh, tak lagi aku mencari ketenangan lain. Dari sana, aku menghentikan diriku untuk berkelana mencari ketenangan dari berbagai tempat. Karena sudah aku menemukan rumah yang tepat. Dari riuhnya malam, aku berteduh di netramu. Dari bisingnya kendaraan siang, aku bernaung di gelap bayangmu; mendekapnya.
Tanpa aku ketahui, tanpa aku menanyakan, "Apa kamu baik-baik saja dengan itu?", "Apa aku merepotkan bagimu?", atau pertanyaan, "Apakah aku diterima di hidupmu?". Hanya dengan lancangnya aku terus bersemayam bak benalu di hidupmu. Maaf, lagi-lagi aku bertindak sesuka diriku, egois.
****
Tiba di jam istirahat terakhir, kedua insan yang salah satunya terjebak zona cinta bertepuk sebelah tangan itu, menghabiskan waktunya di gazebo yang letaknya tak jauh dari kelas mereka. Lengkap dengan camilan ringan serta minuman ber-cup berbeda rasa yang mereka pesan bersama.
Keduanya saling menatapi pemandangan di depan, tak ramai tak juga sepi, lebih ramai di kantin tadi saat mereka mampir lebih dulu ke sana sebelum memutuskan untuk menghabiskan waktu di tempatnya kini.
Silla merenung dalam diamnya, tapi tidak dengan pikiran yang terus bergelut di kepala. Seolah saat ini, dia mendapatkan keberanian dengan tekanan penuh di dalam dirinya. Hal itu memicu Silla untuk kembali membahas perihal perasaan yang belum juga menemukan titik terangnya. "Chandra, masih inget waktu gua bilang, ada orang yang gua suka waktu itu?"
"Inget, waktu di pinggir lapangan, 'kan? Kenapa emangnya?" tanya Chandra tanpa menolehkan wajah ke arah Silla.
"Gua mau bahas itu, Chan. Gak papa?" Silla menjawabnya dengan pertanyaan kembali. Dia butuh persetujuan dari Chandra lebih dulu.
Bahu Chandra menurun, napasnya berhembus kasar. Dengan raut wajah yang tak begitu bersemangat, dia menoleh ke arah Silla. "Kalau emang nantinya lo gak akan ngasih tau juga, buat apa dibahas? Gua capek, La ribut terus."
Alis Silla tertarik sedikit ke atas. Dia menggigiti bibir bawahnya setengah cemas. Dia paham, dia juga tidak ingin ada keributan lagi di antara keduanya. Tapi, entah mendapat keberanian dari mana saat ini, Silla hanya ingin mengutarakan perasaannya pada Chandra. "Chan, kalau misalnya suatu saat nanti gua suka sama lo, gimana?"
Chandra diam. Tidak ada raut wajah terkejut atau reaksi pertama yang dia berikan. Dia hanya diam sembari menatap lekat lawan bicaranya. "Apanya yang gimana?"
"Yah, gimana kalau nantinya gua suka sama lo?" Mata Silla berkedip dengan cepat beberapa kali dalam hitungan detik. Tenggorokannya terasa kering. Tangannya juga bergetar dengan samar. Jangan lupakan jantungnya yang berdegup dengan kencang.
Chandra menyunggingkan senyum tipisnya. Kedua matanya sedikit memicing tajam. Dia terlihat sangat santai, berbeda dengan Silla yang bersikap sebaliknya. "Gak papa, La. Lo kan bilang baru misalnya, bukan beneran, dan itu pun nanti, bukan sekarang."
Kali ini Silla yang terdiam. Jawaban yang dia dengar dari Chandra sungguh di luar dugaannya. Entah, sebenarnya memang dia berekspektasi seperti apa dari jawaban Chandra? Ah tapi, ini benar-benar di luar dugaan. "Chan, lo tau, 'kan kalau besok aja bisa dikatakan nanti?"
"Ya terus kenapa, La? Ya kalau emang lo suka sama gua, ada yang salah? Gua rasa setiap orang berhak menyukai orang lain. Lagian masih bisa dicegah juga, 'kan?" tanya Chandra dengan kalimat akhir yang membuat Silla semakin terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romance[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...