Astrophile 20: Kembali Berkomunikasi
Aku pikir jatuh cinta padamu adalah hal yang mudah pada awalnya. Tapi ternyata, membuatmu tersenyum saja aku tak bisa. Berapa banyak usahaku untuk itu, tetap saja aku kalah. Berbeda dengan dia, yang ketika diamnya saja bisa membuatmu tersenyum dengan begitu hangat. Dengan diamnya juga mampu membuatmu jatuh cinta dengan sangat.
Seolah semesta mengatakan dengan tidak langsung jika takdirmu bukanlah bersamaku, dan takdirku hanya bisa sampai pada batas mencintaimu saja. Layaknya titik pusat dan keliling, meskipun berdampingan, tapi tidak diperuntukkan untuk bersama. Jadi, aku hanya bisa diam di tempatku, melihatmu mencintai dia yang begitu banyak lebihnya dariku.
****
Setelah kesalahpahaman yang mereka duga berhasil diluruskan, keduanya kembali saling bersama satu sama lain lagi. Seperti biasa, mereka duduk di tempatnya Silla. Meski masih ada sisa-sisa kecanggungan yang melanda, sebisa mungkin keduanya memperbaiki keadaan. Apa salahnya mencoba seperti kemarin.
Chandra menatap Silla yang masih diam di tempatnya. Berdeham pelan, lalu memutuskan untuk angkat bicara. "Sarapan gak tadi?"
Silla tersentak pelan. Membalas tatapan Chandra dengan ragu-ragu. Menggeleng samar. "Enggak."
"Bagus, gak usah makan aja sekalian sampe minggu depan. Mau bilang gak laper, 'kan? Sakit perut? Iya udah, gak usah makan aja sampe nanti," sungut Chandra memicingkan kedua matanya tajam.
"Atuh mati gua, Chan. Tega lo mah," protes Silla mendengar jawaban Chandra yang terdengar kejam.
Chandra berdecak. Napasnya berhembus kasar. Mendekatkan posisi duduknya ke arah Chandra dengan menggeser kursi tanpa dia berdiri lebih dulu. "Ya lagian, disuruh makan susah banget anjir, heran gua."
Silla merengutkan bibirnya. Salah satu tangannya terulur menepuk perutnya dengan pelan. Mengambil posisi seolah tengah menunjukkannya pada Chandra. "Nih, ini perut gak laper, Chan. Masa iya gua harus jejelin nasi ke mulut?"
"Gih, gak ada yang larang juga. Sok mangga, jejelin tuh nasi sampe keselek kalau bisa. Ikhlas gua teh," cibir Chandra menanggapi.
Tunggu, ucapan ketusnya Chandra ini sebenarnya bermakna apa? Kepedulian berkedok kesal atau memang kesal yang benar adanya? Tapi dilihat dari intonasi dan ekspresinya, seperti tengah menunjukkan kepedulian. Ah tidak tahu, Chandra terlalu sulit untuk ditebak. Terlebih, lelaki itu memang jarang sekali menyampaikan perasaan yang dia rasakan sebenarnya.
Silla memanyunkan bibirnya seraya kedua pipi yang menggembungkan udara. Mungkin di bayangannya, ekspresi seperti itu terlihat lucu, padahal nyatanya lebih mengarah ke najis. "Dih, lo mah gitu. Jahat sama gua."
"Dih, najis anjir. Fuck you, baby!" lontar Chandra merasa geli sendiri melihat raut wajah Silla yang demikian. Kan, memang Silla ini tidak ada lucunya sama sekali.
"Fuck you too, darling!" Silla membalas ucapan Chandra dengan intonasi yang sedikit dinaikkan. Bibirnya mencebik kesal beberapa kali.
Chandra menatap horor ke arah perempuan itu. Benar-benar kesabarannya kembali diuji olehnya. Satu kata saja, bisa membuatnya menerbitkan sikap percaya dirinya itu. "Babi maksudnya, salah nyebut aja tadi."
Silla menendang kaki meja yang lebih dekat dengannya. Melampiaskan rasa kesal yang mulai mendidihkan otaknya. Beruntung saja bukan kaki Chandra yang dia tendang. "Dih, ngeselin banget lo, Chan."
"Tapi suka, 'kan?" tampik Chandra dengan kalimat tanya yang tanggung. Salah satu alisnya terangkat ke atas seolah turut bertanya.
"Suka apa?" Silla mengajukan pertanyaan juga. Karena kalimat Chandra yang menggantung, membuatnya tak memahami maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral 293 [sudah terbit]
Romansa[CERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM WRITING MARATHON YANG DILAKSANAKAN OLEH CAKRA MEDIA PUBLISHER] Sejak aku menyadari perasaan ini tertuju untukmu, aku juga menyadari pada jarakmu yang cukup jauh. Di saat mata ini tak lagi melihatmu dengan tatapan bi...