Astrophile 40: Permintaan Maaf

18 1 0
                                    

Astrophile 40: Permintaan Maaf

Langkah awal untuk melepaskan, katanya harus ikhlas. Tapi, ikhlas juga awalnya kita harus menerima. Menerima takdir dengan lapang dada, menerima kenyataan jika memang apa yang kita cinta, tak melulu bisa kita dapatkan.

Sebenarnya, setiap orang itu bisa ikhlas. Bisa juga menerima kenyataan. Tapi kadang, memang hanya belum ingin saja, atau mungkin memang tak ingin. Karena di saat kita belajar ikhlas, maka kita juga harus siap menerima kehilangan. Sampai sini, aku harap kamu paham mengapa aku belum sanggup juga untuk melepasmu.

****

Silla tiba lebih dulu di taman tepat ketika hari sudah menggelap. Lampu-lampu taman menyala menerangi malam yang hanya disinari rembulan dari binar cahaya bulan. Dengan wajah yang masih kusut seraya energi yang belum sempat terkumpul sepenuhnya, Silla terduduk letih di bangku taman.

Setelah berbagi cerita dengan Athala, perempuan itu menyempatkan diri untuk pulang ke rumahnya sebentar. Mengganti pakaian dan membenahi dirinya sendiri. Meskipun jejak yang ditinggalkan tangis pada kedua kantong matanya itu menjadi bukti jelas jika dia tengah menghabiskan masa-masa sakitnya sendirian.

Sosoknya dengan cemas menanti kedatangan Chandra. Masih menjadi tanya pada otaknya, mengapa Chandra meminta dia untuk menemuinya di waktu malam begini seolah tak ada hari esok saja. Perempuan itu sesekali mengerlingkan pandangan, berharap agar sosok Chandra dengan jelasnya tertangkap di penglihatan.

Saat siluet seorang lelaki berbadan tegap seolah tengah menghampirinya, langsung saja membuat jantung Silla detaknya bukan main. Dia menjadi lemas dibandingkan tadi. Kakinya bergerak gusar tak diam. Sosok Chandra dengan perlahan berjalan menghampiri Silla dengan langkah yang berirama senada. Hingga kaki panjang itu berhasil menghantarkannya pada tempat yang persis sekali di dekat Silla.

Saat lelaki itu sudah bersiap diri di tempatnya, dia menatapi wajah Silla tanpa jeda. Mengamati wajah Silla yang kusut, kantong mata yang membengkak, serta netranya yang memerah. Rambut berantakan, alis yang sayu, serta bibir yang memiliki bekas gigitan karena menahan tangis. Chandra terhenyak. Apakah dia telah menyakiti Silla sebegitu parahnya? Apakah perempuan itu benar-benar sangat merasa sakit?

"La...." Chandra mengawali pembicaraan dengan suara pelannya. Helaan napas terdengar panjang menandingi panjangnya kisah yang tak kunjung menemukan titik terangnya.

Silla tak menjawab. Perempuan itu memilih untuk tetap diam. Matanya juga tak menatap kepada Chandra. Menundukkan wajah adalah pilihannya saat ini. Biar saja, dia memberikan kebebasan pada Chandra agar menyeruakan isi hatinya.

"Maaf buat kejadian di sekolah. Gua tau egois banget, dan gua juga tau kalau ucapan gua nyakitin lo, La. Jadi, maafin gua. Lo tau, 'kan kalau mulut gua emang jadi gak sopan kalau kebawa emosi?" tampik Chandra melontarkan permintaan maaf perihal kejadian pagi tadi di sekolah.

Silla masih diam di tempatnya. Tak berniat untuk membalas ucapan Chandra dalam waktu dekat ini. Dia akan membalasnya ketika dia rasa waktunya memang sudah tepat untuk melakukan itu.

"Jangan diem, La. Jawab ucapan gua. Gua gak suka lo diem kayak gini. Kalau lo mau marahin gua, marahin aja. Tapi please, jangan diem," lirih Chandra dengan wajah yang memelas. Bukankah diamnya seseorang itu menciptakan kebingungan untuk kita? Maka karena itulah, Chandra tidak menyukainya.

Perempuan itu tetap menunduk pada posisinya. Kedua tangannya saling terkepal erat menahan rasa sesak yang kembali hadir di hatinya. Netranya juga mulai menggenangi bola mata itu dengan cairan bening yang seolah tak kehabisan stoknya.

Lelaki itu mengacak rambutnya dengan kesal. Silla benar-benar tak membuka suara sama sekali. Bahkan dehaman atau hembusan napas pun, sama sekali tak terdengar suaranya. "La, gua tau lo gak suka kalau gua bahas tentang dia di saat kita lagi berdua. Tapi tadi pagi, gua justru ngelakuin itu. Iya gua tau gua salah, La. Maafin gua."

Semakin sesak rongga pernapasannya ketika mendengar sosok cinta pertama ikut serta Chandra ucapkan. Silla meremat semakin kuat tangannya. Dia menarik napas hingga dadanya terasa sangat sakit. Menguatkan diri agar mampu membahas perbincangan yang cukup menguras tenaga malam ini. Perempuan itu dengan perlahan mendongakkan wajah.

Chandra tertegun tatkala melihat cairan bening yang sudah aktifnya membuat pipi tembam Silla menjadi basah. Lelaki itu terhenyak. Apakah Silla juga telah menghabiskan waktunya untuk menangis setelah pulang sekolah karena pembicaraan mereka sebelumnya? Detak jantung lelaki itu juga ikut serta berpacu tak normal.

"Chan...." Silla memanggil Chandra dengan suara yang begitu lirihnya. Sangat pelan dan begitu terdengar sakit. Suara yang terdengar begitu gemetar seolah tak sanggup untuk disuarakan.

Chandra memangut dengan lirih. Dia tak sedetik pun memalingkan wajah dari Silla. Perasaannya sudah tak karuan tak enak hati. Beberapa kali meneguk ludah dengan kasar. "Iya, La?"

Perempuan itu lebih dulu menarik napasnya panjang sampai rongga dadanya terasa sangat sakit. Kedua tangannya juga gemetar dengan samar tiada henti. Bahunya menurun dengan lelah. "Kalau gua sama persis kayak dia, apa lo bakal suka sama gua?"

Deg. Jantung Chandra mencelos begitu saja. Kepalanya seolah terasa dihantam bom yang begitu kuat. Hatinya semakin sakit bak ada ribuan anak panah yang menghujamnya. Ucapan Silla benar-benar menusuknya tepat di ulu hati. Dengan nada bicara yang begitu lirih, membuat sakitnya bertambah. "La, denger. Your special, jadi diri lo sendiri. Yang gua lakuin selama ini, karena gua sayang sama lo."

"Tapi gak cukup mampu ngebuat lo jatuh cinta sama gua, Chan. Lo sayang sama gua, hanya sebatas sahabat. Sedangkan gua? Karena gua jatuh cinta, Chan," ujar Silla dengan kedua alis yang saling bertaut jelas.

"La, gua pernah bilang, 'kan? Jatuh cinta itu butuh proses. Mungkin gua emang belum aja, kita gak tau gimana ke depannya nanti," timpal Chandra mematahkan pendapat Silla baru saja.

Silla tersenyum kecut. Tetes per tetesnya air mata itu terus membuat aliran sungai yang begitu deras. Angin sejuk malam hari di taman kota juga membuat nuansa sedihnya semakin terasa. Untung saja, orang-orang bertingkah acuh tak peduli, atau mungkin hanya berpura-pura tidak tertarik dengan perdebatan kecil mereka. "Entah butuh proses, belum saatnya, atau suatu saat nanti. Lo tau? Ucapan kayak gitu ngebuat gua semakin berharap lebih, Chan. Lo tau gimana susahnya gua nahan diri sendiri buat gak semakin berharap sama lo?"

Hembusan kasar terdengar begitu jelas. Kedua netra Chandra juga sudah dipenuhi binar air mata yang berlinang. Salah satu tangannya tak henti memukul paha kanannya sebagai bentuk pelampiasan rasa sakit. "La, sorry. Iya, gua bodoh banget karena bilang hal itu gitu aja tanpa mikirin perasaan lo."

"Gua capek, Chandra...." Silla sudah tak sanggup lagi mendongakkan wajahnya. Dia menunduk dengan lirih yang membuat air mata itu semakin bebas menetes dengan deras. Kedua bahunya naik turun sesenggukan. Salah satu tangannya dia kepal di depan dada.

Memang sudah seperti dugaan awal, bahwa perbincangan malam ini akan penuh dengan emosi campur aduk yang melanda. Mempertemukan kedua insan yang berbeda perasaan, membuat mereka menyuarakan pendapatnya masing-masing. Semesta seolah tengah mempermainkan keduanya. Membuatnya saling menyakiti dengan perasaan yang tak ingin.

Mereka terlalu kanak-kanak untuk menginginkan perdebatan. Ini hanya ulah semesta saja. Di saat keduanya sedang dilanda sendu, alih-alih memberinya pelipur lara, justru semesta semakin membuat hati keduanya saling terluka. Tak memberikan jeda untuk memulihkan nyeri yang menggerogoti. Dengan brutalnya semesta menghujam mereka tiada ampun dan acuh tak peduli.

****

Astrophile,
Adipati Chandra.

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang