Astrophile 15: Tentang Chandra dan Senja

25 2 0
                                    

Astrophile 15: Tentang Chandra dan Senja

Jika diibaratkan senja yang indah di awal, tapi hilang di akhir. Apakah kamu sama sepertinya? Karena kamu indah, apakah hanya kepergian yang akan kamu tinggalkan di aku nantinya? Lantas, jika aku tak mengatakan kamu indah, apa tetap ada kamu di sampingku selamanya? 

Cukup, cukup senja saja yang seperti itu, kamu jangan. Kamu indah dan kamu akan menetap selamanya. Tak akan ada perpisahan maupun kepergian yang hadir di antara kita. Meski senja yang memiliki keindahan, memamerkan jingganya pada manusia, ditakdirkan untuk pergi, maka kamu tidak seperti itu. Akan aku cegah berbagai hal yang menuntun kita pada perpisahan. Sebisaku, akan kucegah hal itu.

****

Masih bergelut dengan pemeran yang sama, Silla dan Chandra. Tapi tempat yang mereka singgahi kali ini berbeda. Setelah menghabiskan waktu di sekolah dengan jadwal pelajaran yang sangat padat, mereka memutuskan mencari udara segar untuk menjernihkan kembali otaknya. Ketika langit mulai petang, tak gentar membuat mereka hengkang dari tempatnya.

Puluhan burung berkepak mengitari belukar yang menjulang tinggi meski tak menyentuh gemintang. Sambekala mulai menajamkan warna kemerahannya. Jalanan pula menuju sesak dipenuhi lalu lalang kendaran manusia yang lelah bekerja. Sebentar lagi, batas antara petang dan malam akan dikumandangkan, tapi keadaan taman justru bertambah ramai.

Pupil mata Silla melebar dengan sempurna, itu respons pertama yang diberikan ketika kita menatap hal yang disukai. Senja di tombak cakrawala sana membuatnya candu untuk terus dinikmati. Lengkung sabit di wajahnya juga terbit dengan tipis. "Bagus banget ya senjanya. Serius, gua suka banget!"

"Iya, cantik banget." Chandra ikut bergumam. Sosoknya juga menikmati belaian indah sang senja pada netra pekatnya.

"Udah lama gak liat senja, padahal bisa diliat setiap hari. Ternyata emang sebagus itu ya," ujar Silla masih dengan tatapan yang lurus ke depan. 

Anila berhembus dengan damai, menerpa helaian rambut yang saling bertabrakan helai demi helainya. Suara kicauan burung bersahutan di udara seolah mengusir halus para manusia untuk pulang ke rumahnya. Tapi, suasana ini terlalu tenang. Ketika tiga hal yang disukai Silla berada di tempat yang sama. Langit, senja, dan Chandra. Dia membersamai ketiganya di waktu yang bersamaan.

Dipeluk erat oleh langit merah, diusap pelan oleh surya sang petang, dan ditemani oleh sosok baik hati bernama Chandra. Indah, saat apa yang disukainya bisa dia pertemukan secara bersamaan.

"Tapi arti senja itu sakit, La," ujar Chandra dengan tatapan hampa. Suaranya yang serak kini melemah.

Sontak saja Silla langsung menoleh ke arah Chandra. Menatapnya dengan bingung. "Iya? Emang apa artinya?"

Suara hembusan napas nan kasar terdengar samar. Chandra melipat kedua tangannya di dada. "Yakin nanya gitu?"

"Yakin, emang kenapa? Ada yang salah dari pertanyaan gua?" tanya Silla. Dia masih menatap lelaki itu meski tak ada balasan dari tatapannya.

Diam sejenak. Chandra tak langsung menjawab pertanyaan Silla. Dia memusatkan netranya untuk terus melihat fenomena alam yang hanya terjadi dalam sekejap. Seolah hari ini adalah hari senja yang paling melekat seumur hidupnya. Warna jingganya lebih tajam dan menyala. Ditambah dengan hembusan angin dan kepakan sayap burung di angkasa yang turut serta merayakan hari senjanya.

Tak hanya mereka berdua saja, bahkan hampir seluruh penghuni taman juga ikut menikmati keindahan Tuhan yang candu untuk dinikmati. Pancaran sinarnya membutakan mata, membuat manusia mengabaikan apa yang ada di sekililingnya. 

Ephemeral 293 [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang